Bedah Buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik

2
min read
A- A+
read

Bedah buku Ratu Adil

Sindhunata tampil sebagai pembicara dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial, Hukum dan Ilmu Politik (FISHIPOL) UNY. Acara ini sekaligus sebagai peluncuran buku karya penulis Jawa Timur tersebut yang bekerja sama dengan penerbit mayor, Gramedia. Acara bertajuk ‘Bedah Buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Pahlawan Wong Cilik’ ini diselenggarakan di Ruang Ki Hajar Dewantara, Lantai 4 Dekanat FISHIPOL UNY.

Bedah buku di FISHIPOL ini adalah bedah buku kedua sejak penerbitannya pada awal 2024 lalu. Buku ini merupakan hasil disertasi Sindhunata sewaktu menempuh studi doktoral pada tahun 1992 di Hochshule fur Philosophie, Philosophische Fakultat di Muenchen, Jerman. Buku “Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik” sendiri adalah terjemahan dari disertasi Sindhunata setelah naskahnya mangkrak selama 30 tahun. “Saya sendiri heran mengapa setelah 32 tahun baru saya terjemahkan. Mungkin ini kekuatan waktu, seperti yang dikatakan alam Ramalan Joyoboyo, waktu menerapkan pada dirinya apa yang dia buka. Buku ini datang diwaktu yang pas sebab Ratu Adil bukan datang sebagai person, tetapi pendekatan realitas demokrasi saat ini,” ujar Sindhunata.

 “Sejarah memang harus didekati dari berbagai sisi.” ungkap Sindhu ketika ditanyai tentang proses penulisan buku Ratu Adil tersebut. Ia kembali bercerita, penulisan buku berawal dari profesinya saat menjadi wartawan senior Kompas yang fokus pada wong cilik. “Wong cilik itu nir-aksara (tanpa tulisan atau tanpa dokumen), sehingga awalnya sangat sulit menuliskannya dan juga mendalaminya karena kekurangan literatur,” ungkapnya. Namun setelah bergulat dengan sejarah, melalui pendekatan sastra, dan tradisi kebatinan, Sindhu menemukan kekayaan implisit dari wong-wong cilik.

Buku ini juga mengecoh Eka Ningtyas dimana awalnya menganggap bahwa buku tersebut dilatarbelakangi oleh agama. “Ternyata buku ini mengklaim, Romo Sindhu sendiri mengatakan, bahwa di buku ini wong cilik bukan dilihat dari agama, tapi kebudayaan. Pandangan kebudayaan dapat menggerakkan pola pikir dan api semangat dari wong cilik dengan caranya sendiri,” ucapnya. Dosen Ilmu Sejarah ini juga berfokus kepada cover buku dengan cover ayam jago. Ayam jago sendiri merupakan simbol yang kuat terutama dalam kancah perpolitikan. Di dalam politik, wong cilik tidak memiliki ruang berekspresi sehingga hanya bisa melakukan perlawanan secara simbolisme. Salah satu gerakan protes melawan kolonialisme yang begitu besar adalah lewat sabung ayam jago. Dimana disana rakyat kecil berkumpul dan merasakan perasaan ‘desir-desir’ kalah dan menang seperti dalam medan perang. Selain pada covernya, dosen FISHIPOL ini merasa heran mengapa banyak kata ‘pemberontakan’ di dalam buku ini karena jika memang memiliki keberpihakkan pada wong cilik, kata ini mengarah kepada power atau kekuasaan.

Menanggapi apa yang disampaikan Eka, Sindhunata mengatakan bahwa pemilihan kata ‘pemberontakan’ merupakan varian-varian dari protes dan ‘pemberontakan’ memiliki daya dobrak dari perlawanan. Rakyat kecil tidak sekedar melawan, tetapi mereka berani berkorban walaupun kalah untuk menunjukkan bahwa harapan sangat berharga.

 Yang lebih menarik lagi, Suminto A. Sayuti menjudulkan buku tersebut dengan nama “Ratu Adil: Heroisme Orang Kalah”. Hal itu disebabkan karena selama ini sejarah selalu berorientasi orang-orang yang menang dan dominan. ‘Heroisme Orang Kalah’ juga mengartikan bahwa kemarin dan esok adalah hari ini. Artinya wong cilik seperti jiwa, kalau diusir maka derita dan harapan mereka menjadi satu. Menurutnya, isi seluruh buku ini telah dirangkum dalam pembukanya yaitu puisi Senandung Ratu Adil. Pada puisi tersebut, Dosen Bahasa dan Sastra itu melihat Ratu Adil dalam sudut pandang yang berbeda, yaitu sosok yang dapat bertanya dan menjawab. Di bagian epilognya, penulisan menggunakan metode narrative inquairy menjadi penting ketika menuliskan sejarah. Hal tersebut terlihat dari cerita tentang Pak Bowo dan jagonya.

Romo Sindhu menanggapi tentang istilah ‘wong cilik’ yang menggambarkan rakyat miskin dan menderita. Wong cilik memiliki spirit heroik, sayangnya banyak yang dibutakan dan ditindas. Kebudayaan yang dimiliki wong cilik adalah satu-satunya yang membuat mereka berani melawan. Penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin ini juga menjelaskan bahwa temuannya mengenai Ratu Adil merupakan khasanah lokal yang memiliki dasar universal. Ratu Adil dapat direfleksikan sebagai sebuah harapan. Secara histori, perlawanan semacam ini juga ada di Vietnam, Filipina, Myanmar, bahkan di Barat ini dikenal dengan ‘Perang Petani’. Ia mengungkapkan meneliti wong cilik memiliki nilai humanisme dan pengharapan universal yang layak direalisasikan. 

Penulis: Lia Ika Agustin, Vicky Sa’adah

Editor: Dedy

IKU
IKU 4. Praktisi Mengajar di Dalam Kampus