1/.
Alkisah, ketika Sang Prabu Dremamikukuhan, raja negeri Medhangkamulan atau Purwacarita, sedang berembug tentang ketenteraman negeri bersama dengan Patih Jakapuring, Maharsi Brahmanacrita, dan seluruh ponggawa kerajaan, tiba-tiba kedatangan tamu Sang Hyang Narada yang akan memberikan bibit padi, pisang, kelapa, serta biji-biji jenis pala kapendhem, pala kasimpar, pala gumandhul, dan pala adeg. Bibit dan biji tersebut supaya segera ditanam di seluruh pelosok negeri Medhangkamulan agar negeri menjadi murah pangan.
Untuk mengecek apakah bibit dan biji-bijian yang sudah diberikan kepada negeri Medhangkamulan benar-benar sudah ditanam atau belum, Sang Hyang Guru mengutus Sang Hyang Pritanjala dan Sang Hyang Tantra, yang keduanya berubah wujud menjadi burung emprit. Sesampainya di Medhangkamulan, kedua burung emprit tersebut merusak tanaman padi, tetapi segera dipanah oleh Patih Jakapuring sehingga keduanya kembali ke wujud semula: Sang Hyang Pritanjala dan Sang Hyang Tantra yang kemudian kembali ke kadewatan.
Suatu hari, ketika Sang Prabu Dremamikukuhan dan prameswari Dewi Darmastuti sedang menerima laporan Patih Jakapuring, tiba-tiba terjadi kegaduhan di luar istana karena ada seekor celeng (babi hutan) yang mengamuk. Binatang tersebut dipanah oleh Sang Prabu dan beralih rupa sejatinya, yakni Kala Gumarang yang kemudian kembali ke asal muasalnya: belantara Krendhayana. Tidak berjarak waktu lama, Sang Hyang Endra datang dan memberi hadiah gamelan Surendra.
Di bukit Andaga, Puthut Jantaka sedang berembug dengan anak-anaknya yang semuanya berwujud hewan. Karena kelaparan, mereka akan pergi ke Medhangkamulan untuk mencari makan. Kedatangan mereka yang merusak seluruh tanaman di wilayah Medhangkamulan dilaporkan oleh Patih Jakapuring kepada Sang Prabu. Patih Jakapuring diutus ke dusun Dhadhapan untuk minta tolong kepada Bagawan Kandha. Sang Bagawan memerintahkan kedua putranya, Raden Sengkan dan Raden Turunan, agar menyertai Patih Jakapuring untuk menumpas hama perusak tetanaman. Kedua remaja padusunan tersebut dibekali mantra dan perkakas. Mantra tersebut berbunyi: hong wirineh, wirihoyeh, masrana, maswaha; sedangkan perkakasnya berupa kenthongan dan thowok. Di samping itu, Bagawan Kandha juga menyertakan dua abdinya, yakni Kyai Wayungyang dan Kyai Candramawa.
Sesampainya di Medhangkamulan, mereka langsung menuju lahan-lahan pertanian yang dihuni dan dirusak hama di bawah kendali Puthut Jantaka. Ketika seluruh hama yang ditantang keluar dari persembunyiannya, Raden Sengkan dan Raden Turunan membaca mantra sambil membunyikan kenthongan dan thowok, sedangkan Kyai Wayungyang mengeluarkan pengabaran yang membuat datangnya berjuta anjing; Kyai Candramawa mengeluarkan pengabaran yang membuat datangnya berjuta kucing. Seluruh hama kalah, dan Puthut Jantaka pun marah besar, lalu mengamuk. Akhirnya Puthut Jantaka ditaklukkan dan minta perlindungan bagi anak-anaknya yang masih hidup. Permintaan Puthut Jantaka dikabulkan, tetapi anak-anaknya yang berwujud sapi dan kerbau harus mau dipelihara oleh petani dan mau menjadi sarana bagi kaum tani. Puthut Jantaka sendiri diminta pergi ke rimba Lokapala. Tancep Kayon.
2/.
Lakon Mikukuhan seperti diringkas seringkas-ringkasnya di atas merupakan salah satu contoh lakon sastra wayang yang begitu populer di kalangan masyarakat agraris yang masih ngugemi tradisi yang turun-temurun. Pada masanya, lakon tersebut setiap tahunnya digelar dalam rangkaian upacara ruwat bumi. Masyarakat petani tradisional meyakini bahwa dengan menggelar pertunjukkan wayang dengan lakon Mikukuhan dan yang sejenisnya, seperti lakon Sri Mulih, upaya mereka sebagai among nara kisma akan selamat dan membuahkan hasil: benih yang disemai, tanaman yang tumbuh, akan memberikan hasil panen yang memadai, cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga musim tanam dan panen di tahun berikutnya.
Sastra wayang semacam itu merupakan sarana manifestasi ingatan kolektif mereka untuk selalu menunaikan imperatif utama sebagai petani: merawat bumi. Mengapa? Karena, bagi mereka, bumi adalah (sumber) hidup: apa sing mle-bu bakale se-mi. Dengan selalu mengingat bahwa apapun yang mlebu bakale semi, kesadaran yang lebih bersifat spiritual-transendental pun akan tumbuh dan terpelihara. Merawat bumi bagi mereka berarti merawat kehidupan. Mereka sadar terhadap sangkan paran mereka; sangkan mereka adalah tanah, paran mereka juga tanah; sing asale saka lemah bakal bali dadi lemah. Mereka pun menjadi selalu ingat akan proses penjadian yang semuanya berasal dari Sing Maha Urip lan Nguripi, yakni dzat transendental, Sang Maha Pencipta yang menciptakan bumi berikut isinya, sing murba lumahing bumi lan kurebing langit..
Dalam kaitannya dengan paparan di atas, seorang maestro sastra karawitan, Ki Narto Sabdo, juga menciptakan sebait syair yang menyertai gending Ketawang Ibu Pertiwi, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut ini.
Ibu Pertiwi,
Paring boga lan sandhang kang murakabi,
Peparing rejeki manungsa kang bekti,
Bu Pertiwi… Bu Pertiwi,
Sih sutresna mring sesami,
Bu Pertiwi
Kang adil luhuring budi,
Ayo sungkem mring Ibu Pertiwi
Syair tersebut juga mengingatkan kepada kita agar selalu merawat bumi dengan baik (ayo sungkem mring Ibu Pertiwi) karena bumi selalu adil (sih sutresna mring sesami) dan berbudi luhur (kang adil luhuring budi) serta sudah memberikan kepada kita sandang dan pangan yang bermanfaat (paring boga lan sandhang kang murakabi). Jika kita mau merawat bumi dengan baik (sebagai manungsa kang bekti), niscaya bumi juga akan memberi kita rizki (peparing rejeki).
Bumi yang sudah menyediakan dan memberikan berbagai kebutuhan hidup niscaya “bisa marah” apabila tidak dirawat sebaik-baiknya. Bumi yang hanya dieksploitasi dengan semena-mena bisa saja berhenti menjadi sumber penghidupan manusia, bahkan sebaliknya, bumi pun menjadi sumber bencana, sumber gara-gara. Dalam sastra wayang perihal akibat penelantaran bumi juga diungkapkan. Cobalah kita simak dua kutipan ada-ada yang sering dipergunakan oleh para dalang wayang kulit menjelang adegan gara-gara berikut ini.
Isine kang gara-gara
Bumi langit gonjang-ganjing
Horeg obah kang prakempa
Lindhu ping pitu sahari
Umob kang jalanidhi
Gumaludhug guntur ketug
Solahing para jalma
Pati-pati ambentusi
Sirna larut
Kataman ing gara-gara
Eka bumi
Dwi sawah
Tri gunung
Catur maruta
Panca taru
Sad pangonan
Sapto pandhita
Astha tawang
Nawa desa
Dasa ratu
Pada kutipan yang pertama digambarkan tanda-tanda ketika bumi (dan langit sebagai pasangannya) marah (bumi langit gonjang-ganjing): gempa sehari tujuh kali (lindhu ping pitu sahari), mendidihlah air samudra (umob kang jalanidhi), petir pun sambar-menyambar (gumaludhug guntur ketug). Akibatnya apa? Manusia pun panik dan gelisah karena semuanya bakal larut dalam bencana (Solahing para jalma/Pati-pati ambentusi/Sirna larut/Kataman ing gara-gara). Seluruh dimensi kehidupan manusia pun menjadi kacau balau. Kutipan kedua bernuanasa kurang lebih sama dengan kutipan pertama, mendeskripsikan seluruh bidang kehidupan akan tertimpa bencana jika bumi tidak dirawat: sawah, gunung, angin, dedaunan, penggembalaan, pendeta, langit, dewa, raja.
3/.
Pada masanya, sastra yang merawat bumi yang terhimpun dalam sejumlah lakon wayang berikut narasi dan atau syair pengiringnya (baik berupa sendhon, suluk, pathetan, ada-ada, maupun cakepan-cakepan dalam karawitan), secara regeneratif menyampaikan kearifan dan kebijakan tertentu. Kisah-kisah heroik menjadi sarana utama dalam membentuk kebajikan, watak, dan perasaan masyarakat, serta membangun berbagai kesadaran, termasuk kesadaran terhadap pentingnya merawat “bumi” tempat mereka hidup. Pemuliaan dan perembesan fungsi sastra semacam itu merupakan sesuatu yang lazim dalam tradisi-tradisi lisan. Masyarakat beranggapan bahwa sastra mampu mendidik rakyat-warga, menjadikan mereka lebih baik dan lebih berguna karena kearifan dan petuah bijak yang disampaikannya. Cerita-cerita tersebut benar-benar memaparkan tindakan dan peristiwa yang mendidik.
Akan tetapi, peran tradisional dalang dan pencerita sebagai sumber utama pengetahuan dan kearifan kemudian bergeser dan diambil alih oleh “agen” lain bersamaan dengan terjadinya transformasi budaya, yakni transformasi tradisi lisan ke dalam tradisi tulisan. Akibatnya, pengetahuan dan kearifan sebagai warisan dan tradisi beralih menjadi persoalan penelitian dan kritik. Dalang dan pencerita yang berperan mentransmisi warisan tradisional dari satu generasi ke generasi lain, diganti oleh para peneliti dan kritikus yang menampilkan fungsi baru pengkajian kritis. Fungsi sosial yang secara tradisional begitu luas, bergeser menjadi fungsi yang terbatas sebagai pemberi hiburan dan kenikmatan semata.
Jauh sebelum pergeseran fungsi pertunjukan tradisi terjadi, dan sastra wayang yang merwat bumi termasuk di dalamnya, terdapat mata rantai persambungan antara “cerita” dan khalayak penikmat. Sebagaimana para dalang dan pencerita yang terinspirasi, bahkan sering terkesan kerasukan, sehingga merasa menjadi bukan benar-benar dirinya sendiri, anggota masyarakat penikmat juga demikian: mereka berhenti menjadi diri mereka sendiri ketika mereka disedot dan dirasuki oleh kekuatan yang terpancar secara teaterikal dan literer melalui proses-proses pengidentifikasian diri. Oleh karena itu, pertunjukkan sastra semacam itupun mendatangkan kebermanfaatan teraputik, yakni terbukanya katup-katup diri warga masyarakat yang sebelumnya mengalami penyumbatan psikologis.
Fungsi sastra dan seni tradisi selalu bersifat culture-bound. Dalam masyarakat tradisi, dalam kurun waktu yang cukup lama, fungsi intrinsik dan fungsi ekstrinsik sastra dan seni selalu berkelit kelindan. Bagi mereka, yang penting adalah bahwa karya-karya hendaknya mampu membangkitkan kesadaran, membentuk watak, menyuarakan kata-kata arif, dan mampu menetapkan patokan perilaku. Dalam hubungan ini, konteks pragmatis-lah yang menentukan apakah sastra dan seni tradisi berfungsi intrinsik ataukah ekstrinsik. Karena setiap konteks pragmatis melekat pada konteks budaya, perbedaan di antara kedua fungsi tersebut bergantung pada seberapa tinggi relevansinya dengan konteks budaya itu.
Walaupun semua karya sastra dan seni tradisi hanya merupakan kenyataan-semu karena kesatuan dan realitasnya hanya imitatif, status ontologisnya di kalangan masyarakat tetap dihargai tinggi. “Bumi” dengan seabreg gejala alamiah yang ada di atasnya adalah ciptaan Tuhan, yakni Tuhan yang kehadirannya diterima sebagai “Seniman Agung.” Diam-diam, pada masa lalu terdapat analogi antara fungsi artistik dan fungsi kreatif ketuhanan itu sehingga peranan sastrawan/seniman dan karya-karyanya pun diakui. Fungsi mimetis sastrawan/seniman ditransformasikan dari sekada juru-tiru yang membuat tiruan tidak nyata dari hal-hal yang nyata, ke profesi terhormat yang menciptakan hal-hal ideal, yang bahkan lebih baik atau lebih sempurna dibandingkan hal-hal nyata. Sastra dan seni tradisi pun diperhitungkan sebagai sumber yang memberikan nilai fungsional dalam kehidupan manusia karena mampu menjembatani kesenjangan atau keretakan yang diakibatkan oleh pembelahan jagat moral dan wilayah bumi. Dalam perspektif Kantian, wilayah bumi diarahkan oleh kaidah-kaidah kepastian yang natural, sedangkan jagat pengalaman moral diarahkan oleh kaidah-kaidah kebebasan moral.
Antara jagat kebumian (yang sensible) dan jagat kebebasan (yang supersensible) terdapat sebuah jurang besar. Jurang tersebut tidak mungkin dilampaui hanya dengan penalaran karena keduanya bukan merupakan dua jagat yang benar-benar terpisah. Jagat kebebasan merupakan sarana untuk mengaktualisasikan tujuan yang dimaksudkan oleh kaidah-kaidah dalam jagat kebumian. Konsekuensinya, bumi juga harus diberdayakan sedemikian rupa agar sesuai dengan kaidah pembentukannya, untuk menyesuaikan kemungkinan tujuan yang sesuai dengan kaidah-kaidah kebebasan.
Fungsi penjembatanan atas retakan dapat terlaksana melalui pemberdayaan kemampuan pengalaman estetis. Masih dalam perspektif Kantian, wilayah bumi itu termasuk kemampuan pengetahuan, sedangkan wilayah moralitas termasuk kemampuan kehendak. Kemampuan yang mengarahkan pengalaman estetis, terletak di antara kemampuan pengetahuan dan kehendak. Lokasi strategis pengalaman estetis ini mampu menjembati wilayah kepastian dan wilayah kebebasan secara kritis.
Pengalaman estetis adalah magi universal bagi penyembuhan semua keretakan sistematis: bentuk-isi, pikir-rasa, jiwa-raga, merdeka-terindas. Ketika religi dirasakan tidak lagi menyediakan jenis penyelamatan yang mampu berfungsi mengatasi keretakan-keratakan, sastra dan seni tradisi berperan sebagai pengganti religi bagi “dunia tanpa-tuhan” itu. Pengalaman estetis memiliki kekuatan untuk menyelamatkan kehidupan manusia dari lautan derita dan kekecewaan yang mendalam. Seseorang mampu memerdekakan dirinya sendiri dari telikung kehendak dan perasaan subjektif dan mencapai keselarasan hanya dengan merenungkan keindahan. Sastra dan seni tradisi merekonsiliasikan yang subjektif dan yang objektif, yang internal dan yang eksternal. Dalam masyarakat tradisional yang budaya mitisnya masih kuat, sastra dan seni tradisi dimuliakan karena dipandang memiliki otoritas melalui keindahan yang terdapat di dalamnya, yang sekaligus membawa serta kekuatan superhuman berikut kebenaran dan kearifannya. Sastra yang merawat bumi ada di sana.
4/.
Di tengah sergapan budaya perkakas seperti sekarang ini, pembicaraan fungsi pragmatis sastra dalam kaitannya dengan upaya merawat bumi, bisa saja dipandang sebagai sesuatu yang anakronistik. Kini, hal-hal yang dikemukakan dalam sastra bisa saja dipandang tidak relevan dan tidak signifikan. Beragam “narasi pemikiran” yang menuntut pengalaman hidup kita dipindah dan disimpan tidak lagi dalam cerita atau lakon-lakon yang ditulis dan kemudian “dituturkan,” tetapi disimpan dalam mesin-mesin, yakni mesin yang memiliki signal-signal dan bukan huruf-huruf atau satuan-satuan lingual yang selama ini kita kenal sebagai sarananya. Cara komunikasi semacam itulah yang kini dipandang, dan memang dalam kenyataannya, lebih efektif, efisien, dan universal.
Harus diakui, untuk menjadikan masyarakat literat, seharusnya lebih diperkenalkan hal-hal yang menjadi sumber pengetahuan yang bersifat primordial, dan bukannya lebih diorientasikan pada perkakas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, yang diutamakan bukan lagi buku-buku cerita yang dibaca secara individual, lakon-lakon yang dipentaskan, atau dongeng yang dituturkan pada kesempatan tertentu, melainkan perkakas-perkakas praktis. Hiburan bagi semua orang, terlebih-lebih anak-anak, telah dan agaknya akan terus dikerjakan dan diperoleh melalui produk-produk budaya perkakas. Periode alfabetik dalam sejarah manusia bisa saja menjadi singkat hidupnya. Akan tetapi, kita juga sah untuk menduga dan berharap bahwa budaya susastra, baik lisan maupun tertulis, akan hidup terus di kantong-kantong budaya tertentu karena kenikmatan dan keuntungannya.
Kecemasan tersebut bukannya tidak beralasan. Bahwa budaya perkakas (pandang-dengar) lebih mudah dikendalikan, dimanipulasikan, dan didegradasikan oleh kekuasaan, semua orang memahaminya. Ia berbeda dengan kata-kata tertulis (yang kemudian dikomunikasikan secara lisan) dalam hal, misalnya saja, kerahasiaanya menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian mengenai hati nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-simbol literer. Di sejumlah tempat, karya-karya sastra sering mewujudkan dirinya sebagai benteng terakhir kebebasan. Cerita-cerita sastrawi memberikan ruang bagi penggelandangan imajinasi, menajamkan sensibilitas, dan membangunkan pikiran-pikiran kreatif. Cerita-cerita sastrawi menyekemakan imaji-imaji manusiawi, yang lifelike, secara simbolis atau alegoris, sehingga dengan membaca atau mendengarkannya dengan baik, kita pun akan mendapatkan raut muka kita sendiri. Yang jelas, pengaruh budaya perkakas tidak pernah menjadi sebanding dengan cerita sastrawi dalam hal pengaruhnya pada kejiwaan manusia, terlebih manusia yang sedang tumbuh berkembang. Pengaruh produk budaya perkakas berlangsung hanya sebentar saja, karena fantasi dan pikiran pengunanya begitu minimal dibandingkan dengan intelek dan fantasi para pembaca buku atau penikmat sastra yang dituturkan dalam situasi komunikasi bersemuka. Karenanya pula, kita mestinya tidak berpikir bahwa kekalahan buku-buku sastra oleh perkakas-perkakas praktis akan benar-benar terjadi. Hakikat kebudayaan, baik alfabetik maupun audio-visual, baik yang bebas maupun yang diperpudak, faktor yang menentukannya tetaplah pada sikap kultural kita. Menanamkan kembali cerita-cerita sastrawi, sastra yang merawat bumi khususnya, menjadikannya sebagai salah satu “narasi” dalam pikiran, dengan demikian, dapat dijadikan salah satu imperatif yang musti ditunaikan dalam kerangka strategi kebudayaan kita. Warisan tradisi lisan yang salah satu bentuknya berupa sastra yang merawat bumi ibaratnya adalah sekawanan binatang buas yang berjalan mondar-mandir di tengah keramaian kota. Artinya, warisan tradisi tersebut bisa saja menjadi objek yang menarik, tetapi sekaligus menyebalkan; mempesona, tetapi sekaligus mencurigakan. Dan kita mengetahui hal itu.
Salam.