Saya ingin mengingatkan kita semuanya. Karena banyak yang belum merasa bahwa kita sudah masuk pada era kompetisi, era persaingan, dan bukan hanya masyarakat ekonomi ASEAN saja. ASEAN Economic Community. Bukan hanya itu, silakan Bapak/Ibu lihat di gambar tayangan, Kepala Negara/Pemerintahan di ASEAN bergandengan tangan, namun apabila kita lihat secara mendalam, selain teman mereka juga pesaing-pesaing kita.
Inilah era kompetisi, era persaingan. Ini baru yang namanya kita masuk ke masyarakat ekonomi ASEAN. Padahal ada blok yang lain, yaitu bloknya Amerika Trans Pacific Partnership (TPP), blok China RCEP. Blok itu sudah ada hanya kita belum memutuskan dan perlu kalkulasi yang cermat. Dalam waktu dekat saya harus memutuskan, dengan mengkalkulasi keuntungan dan kerugian. Tapi yang jelas, kalau kita tidak masuk, contohnya blok Amerika (TPP), garmen dan tekstil akan dikenai pajak 15 sampai 20%. Yang sudah masuk Malaysia, Vietnam, Singapura, Brunei tidak dikenai pajak. Sehingga kita tidak bisa bersaing. Waktu ketemu Presiden Obama saya sampaikan, bahwa Indonesia bermaksud akan bergabung dengan TPP. Itu saja di dalam negeri sudah ramai. Padahal baru bermaksud “akan”, belum diputuskan. Tapi dalam waktu dekat akan segera dikalkulasi.
Inilah tugas Perguruan Tinggi oleh Bapak/Ibu Rektor. Mohon FRI untuk membantu mengkalkulasi, masuk atau tidak kita ke dalam blok tersebut. Jangan sampai sebelum dikalkulasi, sudah ngomong di pasar, kita akan dikuasai mereka. Padahal produknya beda dari Amerika. Dan tidak perlu takut disaingi produk-produk mereka. Tetapi kalau saya tidak akan berlama-lama untuk memutuskan. Kalau iya, apa yang harus kita perbaiki. Kalau tidak, apa juga yang harus kita perbaiki. Karena dua-duanya ada resiko.
Memang kita sudah masuk dalam era persaingan itu. Kita harus meningkatkan produktivitas, etos kerja, daya saing dan efisiensi. Tidak bisa lagi kita dengan pola-pola lama. Apabila tradisi- tradisi lama masih kita pakai atau salah memutuskan, atau kita salah memutuskan dan kita tidak masuk pada produktivitas, etos kerja, daya saing dan efisiensi maka kita bisa menjadi pecundang. Dan sulit memenangkan kompetisi itu. Inilah perubahan karakter yang harus kita lakukan dengan cara membangun sistem.
Banyak orang yang tidak percaya dulu BKPM untuk mengurus ijin ada yang enam bulan, tujuh bulan bisa juga delapan bulan. Saya perintahkan tahun yang lalu, semua Kementerian ijin-ijinnya masuk ke BKPM. Ada yang siap, ada yang belum siap. Karena itu menyangkut kue, saya tahu, sehingga maju mundur maju mundur takut kuenya hilang. Ini perintah. Akhirnya 21 Kementerian masuk semua ke BKPM. Masuk dulu tidak apa-apa. Izin masih seperti itu. Yang penting masuk dulu, ini merubah mentalitas, karakter yang tidak mudah. Oleh sebab itu sistemlah yang harus menghandle ini. Berjalan… berjalan… berjalan, ada maju mundur… maju mundur. Saya minta saat itu izin selesai dalam hitungan hari, tidak mau hitungan bulan lagi saya. Ternyata enam hari selesai, tahun yang lalu. Saya nggak mau enam hari….nggak mau. Lalu saya minta dalam hitungan jam. (saya katakan) Kalau kamu nggak punya sistemnya, maka saya yang akan menyiapkan. Saya tidak pintar programmer atau aplikasi lainnya…. saya gak tahu, tapi akan saya siapkan, saya tantang. Sampai tiga tahun mungkin harus dilakukan seperti itu terus. Tiga minggu yang lalu muncul sistem di BKPM dan Bapak Ibu nanti bisa langsung ke sana. Karena saya sudah saya suruh dua orang pengusaha untuk check benar apa tidak hal itu. Sekarang sudah tiga jam selesai untuk delapan izin. Delapan izin selesai dalam tiga jam, artinya apa? Kita bisa merubah karakter dan merubah mentalitas…ini masalah niat, mau atau tidak mau. Kita mempunyai daya saing, kita mempunyai kecepatan dalam melayani, kita mempunyai produktivitas, kita ada etos kerja di situ. Kalau tidak jangan punya harapan untuk memenangkan pertarungan ini.
Saya berikan contoh lagi ngurus yang namanya pembangkit listrik. 70 tahun kita hanya bisa mencapai 53.000 megawatt…. Itu selama 70 tahun. 10 tahun kemarin bisa mencapai 6.100 megawatt. Ini lima tahun saya sampaikan kepada Menteri. Saya minta 35.000 MW. Angka ini saya dapatkan lewat perhitungan pertumbuhan ekonomi kekurangan di industri kekurangan di provinsi-provinsi dan kabupaten/kota, bukan awur-awuran. Kelihatannya sangat sulit sekali karena memang hanya dalam kurun waktu lima tahun. Setelah saya pelajari permasalahannya mengapa dalam 70 tahun kita hanya memperoleh segitu? Ternyata masalahnya hanya ada dua. Yang pertama adalah izin yang terlalu banyak yaitu 59 izin untuk mengurus pembangkit listrik. Yang kedua masalah pembebeasan lahan. Ada menteri yang menyampaikan bahwa tidak mungkin mencapai target itu. Tapi saya yakin bisa tentu dengan meminta menteri berusaha mencapai target tersebut. Investasi di Dubai, UEA, saya mengurus izin dengan membawa dokumen yang diperlukan, saya masukkan persyaratan ke satu meja dan setetlah itu ke kantor notariat di sebelahnya, lalu izinnya selesai di meja yang pertama tidak lebih dari satu jam. Setelah saya lihat, ini sistem dari Jerman. Sekali lagi ini mentalitas karakter yang harus diubah saat itu saya check dan di bulan depannya saya minta dikurangi separuh. Alhasil tinggal 22 izin.
Kenapa sih dengan kita? Mengapa kita ruwet? Ternyata kita mempunyai 42.000 aturan atau regulasi. Banyaknya aturan ini untuk apa. Ini kembali lagi, inilah yang harus kita ubah. Ada 3.000 Perda yang bermasalah. Cabut saja semuanya, karena bertolak belakang dengan undang-undang yang ada dan menyusahkan rakyat. Artinya kita memerlukan kecepatan merespon, karena dunia berubah begitu cepat. Dulu kita takut akan krisis Yunani, depresiasi Yuan, kenaikan suku bunga the FED, BI Rate, harga minyak yang anjlok. Kalau mentalitas kita masih suka dengan yang mengenakkan seperti subsidi maka akan berbahaya sekali di era kompetisi. Maka saya ingin mengajak Forum Rektor Indonesia dengan kata-kata yang disampaikan oleh Rektor UGM “Supaya perguruan tinggi tidak hidup dalam lamunan sendiri”. Artinya kalau kita melakukan sebuah riset, maka riset itu harus bisa diimplementasikan di lapangan dan bisa memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Saat ini kita sedang memprioritaskan pembangunan infrastruktur, karena kuncinya ada disitu dan saya minta jangan Java Sentris lagi, tapi harus Indonesia Sentris. Baik pembangunan jalan tol, pembangunan jalur kereta api, airport, dan lainnya.
Beberapa kasus seperti Lapindo, pembebasan lahan untuk pembangunan bendungan di NTT, semua persoalan rakyat harus diselesaikan. Contohnya di NTT, untuk menuntaskan masalah kemiskinan, kita membangun tujuh bendungan, karena memang persoalannya adalah air. Begitu pula dengan pembangunan pelabuhan besar untuk konektivitas agar biaya logistik kita tidak mahal. Pelabuhan di Makasar dan di Kuala Tanjung di Sumatra memang harus dibangun. Di Wamena harga-harga sudah sangat mahal. Maka saya minta agar jalan 240 km segera dibuat untuk menembus kota-kota lain.
Oleh sebab itu saya ingin mendorong perguruan tinggi untuk mengembangkan riset dan hilirisasi yang kompetitif untuk menjawab kebutuhan pasar, kebutuhan industri, menjawab kebutuhan dengan persaingan dan kompetisi kita yang tadi saya sampaikan. Saya sangat menghargai saya sangat mengapresiasi yang sudah melakukan hilirisasi baik di agroindustri, kesehatan, farmasi manufaktur, rekayasa, teknologi informasi energi baru terbarukan dan seni budaya. Hal-hal konkrit yang bisa kita buat dan perbanyak yang dibutuhkan oleh rakyat. Hal seperti itulah yang kita inginkan dari perguruan tinggi. Riset-riset yang memperkuat inovasi dan memperkuat daya saing bangsa harus terus dilakukan. Perguruan tinggi juga harus memperkuat manajemen yang responsive dan mampu untuk mencari pendanaan kreatif, bisa saja kita pertemukan dengan kementrian BUMN, bisa saja yang berkaitan dengan biofuel dengan Pertamina. Ada banyak cara yang bisa dilakukan asal hasil riset itu konkrit dan bermanfaat bagi rakyat dan negara.
Perguruan tinggi dapat bermitra dengan pemerintah dengan BUMN, dunia industri dengan dunia usaha, itulah harapan ke depan. Hal-hal yang berkaitan dengan daerah tertinggal, daerah terpencil dan terdepan daerah perbatasan, desa-desa, ini memerlukan dukungan dari Perguruan Tinggi dalam memperbaiki manajemen mereka, baik dalam melakukan pendampingan. Sehingga kita betul-betul bergerak dan dan bekerja bersama-sama dan menghasilkan sebuah daya saing produktivitas, etos kerja semuanya bisa berubah. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Pidato Presiden RI Ir. Joko Widodo dalam Konferensi Nasional Forum Rektor Indonesia di Auditorium UNY, Jumat, 29 Januari 2016.