Mengapa isu kebangsaan belakangan ini seringkali dimunculkan dalam forum seminar? Bagi Indonesia ini sangat relevan, dan mungkin akan selalu relevan, mengingat kondisi sosial kita yang sangat plural dan potensial munculnya konflik serta segregasi sosial. Judul di atas merupakan refleksi kekhawatiran saja, mungkin saja bukan sebuah potret realitas. Namun membaca wacana di medsos, khususnya seputar pilkada DKI, berbagai letupan pendapat dan sikap emosional begitu menyolok. Sejak awal berdirinya para pendiri bangsa sangat sadar bahwa masyarakat nusantara ini sangat majemuk dan sungguh tidak mudah untuk merawatnya. Makanya dimunculkan motto sebagai panduan perjalanan anak-anak bangsa menapaki hari depannya: Bhinneka Tunggal Ika.
Indonesia sebagai entitas bangsa ýang utuh dan solid bukanlah warisan turun-temurun, tetapi merupakan cita-cita dan mimpi bersama yang belum jadi sehingga mesti diwujudkan dan diperjuangkan dari generasi ke generasi. Jadi, kata Indonesia dalam konteks ini mengandung kata kerja, yaitu mengindonesia. Apa yang disebut bangsa Indonesia masih dalam proses pembentukan (formation) dan pendewasaan (maturitation), tetapi kita berbangsa dan bernegara ini tidak mulai dari titik nol, tidak dari situasi masyarakat yang primitif. Di Indonesia tidak dikenal semacam suku Aborigin di Australia yang tersisihkan setelah negara hadir. Jadi, di Indonesia ada semacam konvensi tentang cultural right. An obligation to maintain and nurture the plurality of cultures and religions.
Jauh sebelum merdeka 17 Agustus 1945, di nusantara ini sudah muncul peradaban agung yang dikembangkan dan dijaga oleh pranata sosial dan institusi negara berupa kerajaan dan kesultanan. Oleh karenanya, dalam motto Bhinneka Tunggal Ika terkandung penghargaan, pengakuan dan komitmen untuk menjaga pluralitas budaya dan agama yang ada, sehingga Indonesia merupakan tamansari kebudayaan, bukan saja tamansari kekayaan hewani dan nabatinya yang sedemikian kaya dan memikat. Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini muncul teori dan penemuan arkeologis-antropologis bahwa sesungguhnya di bumi nusantara pernah tumbuh peradaban agung yang jauh lebih tua dibanding negara-negara sub-tropis.
Salah satu alasannya cukup simple, mudah dimengerti. Bumi Nusantara yang melimpah dengan cahaya matahari, pertanian dan pepohonon yang subur, air yang serba berlebih, hewan mudah ditemukan di mana-mana, lautan yang luas dengan ikannya yang mudah ditangkap, kesemuanya itu membuat penduduk nusantara tidak perlu berjuang mati-matian menaklukkan ganasnya musim dingin ataupun musim panas. Penduduk nusantara serba disayang dan dimanjakan oleh alam sehingga banyak waktu untuk berkreasi seni dan melakukan ritual keagamaan. Makanya kita mewarisi karya seni sangat tinggi baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Tarian dan nyanyian nusantara sangat kaya, mencerminkan kebhinekaan karya seni yang berkualitas dan klasik. Namun, kata ahli, bangsa yang tidak ditempa dan diseleksi oleh ganasnya alam, mentalnya jadi lembek.
Membangun Jati Diri Bangsa
Dengan modal kekayaan peradaban dan alamnya, sudah semestinya Indonesia memiliki jati diri dan identitas kebangsaan dengan peradabannya yang unggul. Para pendiri bangsa sangat cerdas, bijak dan visioner telah meletakkan dasar bernegara yang terumuskan dalam Pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Kalau dianalogkan dengan formula Alqur'an, keduanya merupakan surat Alfatihah yang menjadi pembuka, induk atau ringkasan seluruh ajaran yang dikandung dalam kitab suci Alqur'an. Dalam konteks perjalanan dan perjuangan bangsa, isi Pembukaan UUD 45 dan Pancasila merupakan panduan dan acuan nilai- nilai dasar perjuangan bangsa, siapapun dan kapanpun pemerintahnya.
Hiruk-pikuk sosial politik belakangan ini sangat menyakitkan dan mengkhawatirkan jika cita-cita berbangsa ìni dikhianati. Beberapa dekade silam pernah ada upaya mendirikan Negara Islam yang tidak sejalan dengan ideologi kebangsaan. Lalu menyusul pemberontakan komunisme. Belakangan muncul gagasan mendirikan kekhalifahan. Sejauh ini kita lulus mengatasi berbagai turbulensi dan tragedi berbangsa meski dengan ongkos teramat mahal. Namun ternyata berbagai persoalan dan tantangan tak pernah surut. Tantangan yang muncul sekarang ini karakternya berbeda. Terdapat pengaruh dan kekuatan multinasional baik dalam aspek ekonomi, politik maupun ideologi. Sementara itu munculnya gelombang demokratisasi yang diikuti desentralisasi kekuasaan dan ekonomi tidak diikuti kesiapan mental dan wawasan bernegara secara rasional sehingga yang mengemuka adalah hiruk pikuk menyuarakan hak kebebasan tanpa dibarengi ketaatan pada hukum. Apa yang disebut sense of citizenship dan sense of civility dikalahkan oleh bising suara kerumunan massa, terutama kebisingan di media sosìal, yang penuh cacian dan saling hujat.Kalau dulu ada istilah floating mass, massa mengambang, maka sekarang ada floating political party. Partai politik yang mengambang, ke bawah tidak berakar kuat, ke atas tidak jelas prestasi pemikiran, karya dan kader-kader terbaiknya. Bahkan banyak yang jadi penghuni penjara.
Munculnya fenomena benua maya yang melahirkan a global networking society yang cair dan tanpa batas menjadi tantangan lain yang serius bagi agenda pembangunan jati diri bangsa. Logika pasar dengan kalkulasi untung-rugi secara material menjadi dominan. Sekelompok orang lebih merasa perlu pada passpor dan kartu kredit ketimbang Kartu Tanda Penduduk. Jaringan internet telah menjadi kebutuhan vital layaknya kita menghirup udara atau ikan menghajatkan air. Menghadapi ini semua, sesungguhnya masyarakat Indonesia dikenal sangat mencintai budaya dan tanah airnya. They are very much attached to their land and families. Hal ini ditopang oleh kekayaan budaya, sumber alam dan bahasa nasionalnya. Menjadi persoalan, dan juga agenda, adalah bagaimana membangun kebanggaan berbangsa terutama bagi generasi mudanya. Kebanggaan akan muncul jika banyak role model dan prestasi yang diakui dunia. Bangsa ini haus prestasi yang membanggakan, tidak seimbang dengan aset yang dimiliki.Tapi, lagi-lagi, yang mengemuka di media sosial, wacana politik yang paling dominan, namun tidak produktif, sementara biaya tinggi.
Agama di Ruang Publik
Relasi agama dan negara di dunia Islam belum selesai, dan entah kapan akan selesai. Kemunculan Perda Syariah (Islam), misalnya, di beberapa wilayah telah menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian warga Indonesia. Bahkan umat beragama non-muslim bisa jadi terinspirasi untuk memberlakukan perda syariah seseuai dengan aspirasi dan ajaran agama mereka. Bayangkan, jika aspirasi keagamaan yang bersikap ekslusif didukung oleh institusi negara, dikhawatirkan akan menimbulkan segregasi sosial berdasarkan sentimen dan identitas keagamaan. Lebih lanjut lagi bisa menggerogoti kohesi nasional sebagai negara bangsa (nation state). Daerah-daerah tertentu akan diatur dengan perda syariah masing-masing agama.
Belakangan ini wacana yang menyangkut SARA, suku, agama, ras dan antar golongan mengemuka lagi dan bergerak merengsek ke panggung politik kenegaraan. Negara ditata dan diatur secara rasional di atas sekat-sekat SARA, sementara ruang publik dan media sosial dipenuhi emosi suku dan keagamaan lalu didesakkan naik ke panggung kenegaraan dengan momentum menjelang pilkada atau pemilu. Pilkada DKI adalah satu kasus yang m enarik dicermati dan sekaligus memprihatinkan. Masing-masing pendukung paslonnya secara gencar memanfaatkan medsos untuk saling menjatuhkan lawan politiknya. Bahkan hoax dan fitnah bermunculan, entah siapa persisnya yang membuat. Ekses pilkada DKI yang menggelindung begitu jauh. Keharmonisan hubungan antar sesama teman dan keluarga rusak gara-gara pilihan paslon yang berbeda.
Sekali lagi, ini mesti diantisipasi, jangan sampai keharmonisan sosial politik yang telah kita bangun dan jaga dari waktu ke waktu akan rusak berantakan, sehingga ekonomi, politik dan budaya kita mundur. Gara-gara sepercik api bisa membakar rumah bangsa yang sedemikian besar dan indah. Salah satunya karena diblow up media massa, yang kemudian ditelan mentah-mentah oleh masyarakat.
Dalam masyarakat yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan koperatif sangat diperlukan demi kepentingan yang jauh lebih besar, menjaga keharmnisan berbangsa dan mensejahterakan rakyat. Dalam sebuah pilkada, misalnya, ada yang melihatya friendly competition, ada yang menghayatinya sebagai zero-sum game. Padahal, siapapun yang ikut bertanding adalah mitra bagi lawannya, dan siapapun yang kalah sesungguhnya secara moral dia telah berjasa mengantarkan lahirnya sang pemenang.Makanya dalam sebuah kejuaraan, pemenang kedua juga layak mendapatkan hadiah. Ketika sentimen SARA mengemuka, pendekatan rasional akan dikalahkan oleh sentimen emosional yang berakar pada suku, agama dan kelas. Kesemuanya itu sangat bisa dipahami untuk konteks Indonesia, asalkan terkendali dan tidak menghancurkan aset dan prestasi yang ada.
Satu hal yang saya khawatirkan adalah jika kita tidak sadar tengah main api, hal ini sangat potensial mencabik-cabik mozaik kebhinekaan Indonesia. Sekali sudah tercabik dan melebar, maka butuh waktu lama untuk merajutnya kembali. Jika merujuk pengalaman di Timur Tengah, bahkan tidak saja robek kohesi sosial yang sudah lama terbangun, malahan pecah berantakan dan sebagian sulit dirajut kembali. Kekuatan asing terlibat masuk dengan dalih membantu atau menolong, padahal sangat mungkin mereka memancing di air keruh. Mereka jualan senjata untuk mendukung industri senjata sebagai sumber devisa negaranya. Bahkan ada yang menjadikan perang sebagai proyek politik dan ekonomi. Pengalaman baru yang saya temukan belakangan ini, rupanya umat Islam doyan dan mudah sekali diadu domba dengan umpan perbedaan mazhab dan tafsir keagamaan sehingga tiba-tiba sesama muslim rusak hubungan harmonisnya.
Kemitraan Sejajar
Di saat ekonomi dunia melemah, posisi Indonesia termasuk yang mampu bertahan. Kenyataan ini membuat Indonesia menarik investor asing dan pangsa pasar yang menggiurkan bagi negara industri untuk menjual produknya. Kondisi ini bisa jadi ada negara-negara yang kemudian merasa terancam dan tidak happy melihat Indonesia damai, rukun, maju dan secara ekonomi berusaha mandiri. Catatan lain yang juga menimbulkan kekhawatiran adalah semakin terbukanya iklim kebebasan untuk berunjuk rasa secara massiv bagi mereka yang selama ini merasa terdesak dan terpinggirkan dalam persaingan ekonomi dan politik. Sementara itu terdapat sekelompok kecil etnis namun menguasai mayoritas kue dan aset nasional. Kenyataan ini menimbulkan kecemburuan sosial dan kecemberuan kelas yang potensial jadi amunisi keresahan sosial.
Jadi, menghadapi situasi dan dinamika lokal, nasional dan global yang saling berhimpitan, tugas negara memang berat, mesti tegas dan bijak. Satu-satu pangkal keresahan diurai dan dicarikan solusinya. Adapun ormas dan parpol, khususnya yang mengambil peran oposisi, salah satu agendanya adalah melakukan kritik. Tetapi kritik yang rasional. Bagi ormas keagamaan yang selama ini aktif mengkritik pemerintah, perlu dipertimbangkan untuk mendirikan partai politik saja agar lebih jelas dan legal kiprahnya lalu ditawarkan pada rakyat visi dan programnya. Dalam sejarah nusantara, ummat Islam punya andil besar dalam melahirkan dan membangun republik sebagai negara hukum sehingga implikasi moral politiknya ummat Islam juga harus berdiri paling depan dalam menjaga dan mengawal tegaknya hukum. Bernegara itu berkonstitusi, konsekuensinya kita mesti dukung supremasi hukum dan mentaatinya.
Makalah Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Seminar Nasional & Temu Kangen Alumni UNY Sabtu 18 Maret 2017 di Yogyakarta