REFORMASI ADMINISTRASI HARUS BERKELANJUTAN DAN MEMILIKI TUJUAN YANG JELAS

Reformasi administrasi merupakan perubahan administratif yang dapat mencakup perubahan struktural besar-besaran atau dapat berupa perubahan nilai dan teknologi. Salah satu komponen paling penting dari reformasi administrasi adalah bahwa reformasi itu harus berkelanjutan dan bukan suatu hal yang muncul sesaat dan kemudian dilupakan. Selain itu, reformasi administrasi harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu peningkatan kinerja sektor publik. Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Jalil Bin Mohamed Ali saat memberikan kuliah tentang “Paradigms of Public Sector Reform” di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY). Kuliah diikuti oleh mahasiswa Jurusan Administrasi Publik (AP) FIS UNY.

Prof. Dr. Abdul Jalil Bin Mohamed Ali merupakan salah satu dosen di Faculty of Administrative Science and Policy Studies, Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia. Ia dihadirkan di FIS UNY dalam kegiatan visiting professor yang dilaksanakan selama dua minggu yaitu pada tanggal (1 -13/3/2019). Kepala Unit Urusan Internasional dan Kejasama (U2IK) FIS UNY,Utami Dewi, MPP, yang juga merupakan dosen AP menerangkan bahwa kegiatan sudah dirancang sedemikian dimana Prof. Jalil memberikan seri perkuliahan selama rentang waktu tersebut kepada mahasiswa AP. Harapannya seri perkuliahan ini dapat memperdalam pengetahuan mahasiswa AP dan memberikan kesempatan mahasiswa untuk berdiskusi dengan Prof.Jalil mengenai materi yang disampaikannya.

Pada kesempatan tersebut, Abdul Jalil menjelaskan bahwa banyak definisi  reformasi administrasi yang dikemukakan para ahli salah satunya adalah Caiden (1991) yang mendefinisikan reformasi administrasi sebagai peningkatan secara sistemik kinerja operasional sektor publik. Definisi ini menyiratkan bahwa reformasi administasi harus memiliki tujuan diantaranya efisiensi dan efektifitas; pengurangan kelemahan seperti korupsi, favoritisme, dan sebagainya; peningkatan akuntabilitas pegawai negeri; dan peningkatan keadilan sosial dalam penyediaan barang publik.

“Ada tiga paradigma dalam reformasi sektor publik menurut Michael Barber (2007). Paradigma pertama adalah command and control yang diterapkan pada saat pengambilan keputusan penting dan didorong dari atas (top down management approach). Paradigma kedua adalah devolution and transparency dimana pelayan publik diberi kewenangan mengelola sumber daya dan meningkatkan akuntabilitas. Ketiga adalah quasi markets yang berkaitan dengan model hubungan kontraktual yang dikembangkan, contohnya agensi memberikan layanan atas nama pemerintah.” jelasnya.

Paradigma ini, lanjut Abdul Jalil, didukung oleh tiga fungsi pokok yang terdiri dari kapabilitas, kapasitas, dan kultur; manajemen kinerja; dan arahan strategis. Ketiga fungsi pokok tersebut dapat digunakan untuk menguji proses dan dampak reformasi public sector serta untuk mengetahui bagaimana fungsi-fungsi tersebut secara bersama-sama mentransformasikan public sector supaya tetap kompetitif. (Eko)