Tujuan utama kemerdekaan kebangsaan Indonesia di bawah pimpinan suatu pemerintah negara yang berdaulat, dirumuskan dengan singkat tetapi padat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk menilai apakah perjalanan bangsa dan negara ini selama sekian dasa warsa masih berada di atas rel yang benar atau sudah melenceng, harus diukur dengan empat tujuan kemerdekaan itu. Tidak boleh menggunakan parameter lain, karena pasti menyalahi, jika bukan mengkhianati, tujuan suci cita-cita kemerdekaan itu.
Dalam bacaan saya, semua pemerintah negara Indonesia sejak proklamasi telah mencoba merealisasikan keempat tujuan itu, tetapi karena bermacam alasan, belum satu pun yang berhasil secara optimal, bahkan ada yang justru semakin memperparah keadaan dengan menggadaikan kedaulatan bangsa kepada pihak asing atau via agen-agen domestiknya. Penyebab pokoknya terletak pada masalah kepemimpinan nasional. Saya hanya akan mengulas kepemimpinan dan kerja sama Soekarno-Hatta yang tidak bisa bertahan lama, karena hal itu sangat krusial bagi perjalanan sejarah modern Indonesia. Di ujung era 10 tahun kemerdekaan pecahlah kongsi antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang puncaknya terjadi pada akhir tahun 1956, dengan mundurnya Hatta dari posisi wakil presiden. Gaungan peristiwa ini sungguh dahsyat dirasakan, pilar-pilar kebangsaan seolah menjadi rapuh. Ketika itu terbetik pertanyaan ini: akankah persatuan dan keutuhan Indonesia bisa diselamatkan?
Perpecahan kepemimpinan nasional ini berakibat sangat serius bagi perjalanan bangsa dan negara muda yang baru merdeka ini. Pergolakan daerah yang berdarah-darah yang meledak pasca mundurnya Hatta dengan korban yang tidak sedikit bertaut rapat dengan kejadian itu. Nyaris saja Indonesia sebagai bangsa dan negara pecah berantakan. Sekiranya kepemimpinan dwi-tunggal itu bisa bertahan 10 tahun kemudian, Indonesia tidak akan rusak parah seperti sekarang ini. Jika nasib buruk itu tidak terjadi, maka fundamental kultur politik Indonesia tentu akan jauh lebih kuat dan stabil. Pemimpin yang datang kemudian tinggal meneruskan saja karena fondasi tempat berpijak sudah disiapkan dengan mantap. Sungguh sangat dahsyat akibat yang ditimbulkan oleh perpecahan pemimpin. Terjadi polarisasi yang tajam antara Jawa dan Luar Jawa. Semangat Sumpah Pemuda 1928 saat itu berada dalam taruhan. Dua karakter yang sama-sama kokohnya ternyata berbenturan. Negara Indonesia muda saat itu menjadi sempoyongan.
Soekarno-Hatta adalah simbol pemersatu semua suku bangsa Nusantara yang jumlahnya ratusan itu. Jika diibaratkan gas dan rem pada sebuah mobil, maka Soekarno adalah gas, Hatta adalah rem. Kualitas intelektual kedua pemimpin itu seimbang, sekalipun secara emosional Hatta tampaknya lebih stabil, tetapi Hatta agak kaku dalam memegang dan mempertahankan pendirian. Keduanya belum mengenal kecenderungan sub-kultur masing-masing, sehingga rentan untuk retak, dan bahkan pecah. Sub-kultur Jawa yang dilambangkan huruf Jawa semestinya terus dipangku, sedangkan sub-kultur Minang selalu ingin masuk dari pintu depan dengan sikap serba terbuka, sesuatu yang tidak elok dirasakan dalam kultur Jawa. Hatta tidak faham ungkapan ini: “Tiyang Jawi menawi dipun dipangku pejah.” Pengalaman pahit mereka dalam pembuangan kolonial rupanya belum mampu menyatukan hati keduanya untuk berada dalam sebuah sistem kekuasaan negara merdeka dalam tempo yang agak lama. Ini amat disayangkan, tetapi itulah fakta keras dan pahit yang harus kita terima dan warisi.
Sekiranya Hatta sedikit mau mengerti dan menghayati nilai sub-kultur Jawa yang canggih itu, dwi-tunggal tidak akan cepat berubah menjadi dwi-tanggal untuk beberapa tahun kemudian, demi persatuan dan keutuhan Indonesia. Belakangan kejadian yang mirip juga berlaku pada B.J. Habibie berhadapan dengan Presiden Soeharto atau Jusuf Kalla berhadapan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah memicu gesekan dan salah faham di antara mereka. Baik Habbie mau pun Jusuf Kalla tampaknya belum sempat belajar dari kasus perselisihan Soekarno dan Hatta.
Tetapi perlu dicatat bahwa hubungan pribadi antara Soekarno dan Hatta tidaklah putus di tengah perbedaan pandangan politik yang tajam dan berseberangan itu. Keduanya masih berkomunikasi. Hatta masih berkirim surat pribadi kepada sahabatnya itu. Ini patut dijadikan contoh oleh bangsa ini, betapa pun perbedaan politik sedang meruncing, hubungan kekeluargaan tidak boleh dibiarkan terbawa rusak. Fenomena psikologis semacam ini penting untuk dihayati oleh pemimpin-pemimpin bangsa dan kita semua yang datang kemudian. Dalam proses pendidikan karakter yang dirasa lemah saat ini, corak hubungan Soekarno-Hatta perlu dikaji dengan sungguh-sungguh dan obyektif, diwarisi sisi mana yang positif dan dikesampingkan sisi-sisi mana yang dinilai negatif. Tokoh proklamator ini adalah ikon puncak dari sikap anti kolonialisme dan imperialisme yang harus kita kenal dengan baik dan seksama melalui karya-karya tulis mereka yang berani dan inspiratif.
Sekalipun kita resmi telah merdeka, di dunia pendidikan, ciri kolonial tidak segera hilang, yaitu mental amtenarisme dalam format serba PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang menjadi tujuan utama yang hendak diraih oleh anak didik kita. Sistem pendidikan kolonial telah melahirkan “manusia yang penurut, tertib, tidak mampu berinisiatif dan selalu menunggu perintah atau petunjuk atasan serta tidak mau memikul risiko.” Situasi mental semacam ini terus berlanjut sampai hari ini, sehingga ruang tampung pegawai negeri yang sangat terbatas itu menjadi rebutan dengan segala sistem pencaloannya yang kumuh. Semangat untuk mandiri lemah sekali. Akibatnya, jumlah penganggur terdidik makin membengkak dari tahun ke tahun. Fenomena TKI yang bermasalah di luar negeri semakin mengiris batin bangsa ini. Karena alasan ekonomilah mereka harus menyabung nyawa ke negeri orang. Dalam negeri mereka menderita, di luar negeri sebagian mereka sengsara dan diperkosa.
Jika memang demikian faktanya, maka tuan dan puan tidak perlu terlalu berharap dari rahim sistem pendidikan nasional kita akan lahir manusia dengan karakter merdeka dan mandiri. Adapun jika ada perkecualian, bukan karena didapat melalui sitem pendidikan formal, tetapi lebih banyak ditentukan oleh faktor di luar itu dengan inisiatif sendiri. Inilah tragedi sistem pendidikan nasional Indonesia yang gagal melahirkan manusia-manusia merdeka, mandiri, dan punya harga diri dengan semangat kebangsaan yang tinggi. Sistem pendidikan kolonial yang membentuk manusia jongos yang pengecut masih berlanjut di era kemerdekaan.
Bagi saya, situasi kedaulatan bangsa yang semakin rapuh adalah indikator kuat dari gagalnya pendidikan karakter pada semua jenjang pusat-pusat pendidikan. Kurikulum kita tidak diarahkan untuk memantapkan karakter manusia Indonesia. Apa yang dikemukakan Bung Karno dalam Pidato Nawaksara, saat kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1966 masih relevan dengan situasi kita sekarang ini: “Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari dalam ekonomi.” Trilogi ini adalah inti dan ruh cita-cita kemerdekaan Indonesia, sekalipun penciptanya belum berhasil meraihnya karena alasan-alasan sub-kultur dan godaan kekuasaan yang disinggung di atas.
Dengan demikian, cita-cita untuk mencetak manusia merdeka yang bermoral dan bermartabat tetap saja menjadi pekerjaan rumah dunia pendidikan Indonesia sepanjang zaman. Sistem pendidikan yang mampu melahirkan anak didik dengan karakter kuat dan mantap adalah jawaban satu-satunya yang bisa menyelamatkan hari depan bangsa ini agar terhindar dari status “bangsa kuli,” seperti Bung Karno telah mengingatkan kita semua.
(Disarikan dari Pidato Dies Natalis ke-50 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei 2014)