Manusia mampu membuat dan berbuat sesuai keinginanya karena memiliki daya pikir. Daya pikir manusia diolah di LAD atau Language Aquitition Divice. Alat ini dimiliki manusia sejak lahir, sebagai modal olah pikir dan olah bahasa. Oleh sebab itu, manusia telah memiliki keinginan dan mengkomunikasikan keinginnanya sejak bayi. Seiring dengan pertumbuhan hidupnya, berkembang pula kebutuhan dan keinginan berkomunikasinya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, manusia tidak mungkin tanpa mitra atau orang lain yang akan diajak berkolaborasi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari proses berkolaborasi ini manusia memulai memanfaatkan LAD-nya untuk mewujudkan keinginan atau karsa, mengungkapkan persaannya atau rasa, dan mengkomunikasikan idenya atau cipta. Ketiga aktivitas tersebut jika diungkapkan dengan urutan yang lebih akrab ditelinga orang Jawa, yakni cipta, rasa, karsa.
Berdasarkan ketiga hal tersebut manusia membangun jatidiri (eksistensi) di antara mitra kolaborasinya dengan bantuan bahasa sebagai alat komunikasi. Dalam konteks keseharian, cipta, rasa, karsa yang bersemayam di LAD atau di alam pikir akan dapat dipahami oleh mitra kolaborasi jika sudah ditransformasikan ke bentuk tuturan atau dibahasakan. Ide atau gagasan dituturkan dan disampaikan ke mitra untuk dipahami dan direspon sesuai kehendak penutur berdasarkan kemampuan pemahaman mitra tutur.
Dengan alat yang berupa bahasa manusia mampu mengolah rasa atau pikiran menjadi sesuatu yang berwujud atau cipta. Selanjutnya, sesuatu yang dihasilkan dari olah rasa dan olah cipta tersebut akan digunakan untuk mencukupi kebutahannya atau karsa. Berangkat dari prosedur ini, manusia tidak mungkin tumbuh dan berkembang menjadi manusia berbudi pekerti luhur (akhlakhul karimah) dan adidaya, tanpa bahasa. Dengan kata lain, bahasa akan membangun jatidiri manusia pemakainya, sesuai dengan seleksi bahasa dan penerapannya yang telah dikonstruk di otak manusia sesuai dengan rasa, dan karsa.
Sebait tembang Jawa yang sangat populer dapat dijadikan sarana menjelaskan fenomena di atas. “Mingkar mingkuring ukara, akarana karenan mardisiwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kertarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji”.
Mingkar-mingkuring ukara merupakan suatu proses mengolah pikiran/ide manusia menjadi tuturan yang akan dikomunikasikan ke mitra atau publik. Mingkar-mingkar artinya mencoba menata kalimat sebaik mungkin agar dapat dipahami dengan baik oleh mitra setelah ditransformasi ke bentuk kalimat/tuturan. Penataan tuturan (kalimat) dilakukan sebaik mungkin dengan pertimbangan bahwa tuturan (kalimat) tersebut akan digunakan untuk mendidik anak-anak, yaitu akarana karenan mardi siwi. Ide (gagasan) harus dikemas dalam bahasa yang komunikatif, santun, indah, adiluhung/bermutu isinya seperti yang tertuang dalam ungkapan sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta.
Pengolahan ide yang sangat hati-hati tersebut, diharapkan mampu menyampaikan pesan mulia sampai kepada siwi atau anak didik dengan sempurna, dan diterapkan sesuai dengan aturan main yang berlaku yang empan papan. Hal itu sejalan dengan ungkapan yang tertuang dalam potongan tembang Jawa: kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji. Dalam praktiknya, aktivitas untuk menerapkan ilmu harus sesuai dengan kaidah atau hukum yang berlaku di suatu wilayah, misalnya tanah Jawa.
Uraian singkat ini mudah-mudahan mampu menggugah kesadaran pikir bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jauh dari itu, bahasa sebagai wahana pembentuk manusia untuk sadar menjadi manusia, atau alat nguwongke uwong. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila orang Jawa selalu mengingatkan agar manusia tidak asal ucap atau aja waton ngucap, karena ajining dhiri saka lathi.
(Prof. Dr. Endang Nurhayati, M.Hum. adalah Dekan dan Penanggung Jawab Kegiatan Dies ke-55 FBS UNY)