Salah satu pengalaman berharga kita di masa lalu, dan mungkin dirasakan hingga hari ini, ketika merambah tahap demi tahap “pembangunan,” ialah bahwa perubahan sosial-budaya dengan ideologi pembangunannya secara hakiki selalu dikendalikan, digerakkan, dan atau diarahkan oleh sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan. Wacana kekuasaan menjadi wacana yang mengarahkan perubahan sosial yang terencana itu (lihat: Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1993).
Dari sudut bahasa, kata “pembangunan”—dan bukannya kata “perubahan”—selalu dianggap sebagai sebuah kata yang meniscayakan nilai-nilai positif. Oleh karena nilai positifnya itu, ia selalu diandaikan mengandung dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Maka, ia boleh jalan terus tak henti. Perubahan sosial-budaya yang diarahkan oleh nuansa “pembangunan” hampir tidak pernah diperhitungkan implikasi negatifnya terhadap kehidupan masyarakat yang dibangunnya itu. Apabila timbul dampak begatif, dampak itu dianggap sebagai suatu hal yang wajar, sebagai dampak pembangunan, pembangunan memang memerlukan pengorbanan, jer basuki mawa beya (Umar kayam, 1999).
Anggapan semacam itu sebenarnya merupakan one-sidedness, kesepihakan. Karena, dalam kenyataannya sebagian besar kepentingan masyarakat hampir selalu terpinggirkan. Berbagai persoalan yang terkait dengan pembangunan hampir tidak pernah dilihat “dari bawah,” tetapi dilihat lewat perspektif segelintir manusia yang memiliki kekuasaan, yang dengan mudah dapat pula atau merasa berhak mengatasnamakan rakyat banyak dan merasa dirinya lebih pintar daripada rakyat itu sendiri. Itulah sebabnya, kepincangan dan atau dampak negatif tidak pernah muncul ke permukaan.
Secara hakiki, misalnya saja dipandang dari sudut pandang human capital theory, pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang berencana, dan oleh karena itu, pasti bertujuan. Tujuan yang ingin dicapai melalui pembangunan adalah tertingkatkannya kualitas hidup manusia, baik kualitas yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Perencanaan itu sendiri disusun dan dilaksanakan oleh manusia. Oleh karena itu, manusia itu sendiri adalah pendukung dan penggerak rencana tersebut. Hal itulah yang oleh HAR. Tilaar (1990) disebut sebagai hakikat semua upaya pengembangan SDM.
Sebagai penggerak pembangunan, manusia harus memiliki kualitas tertentu dalam kecakapannya untuk melaksanakan rencana tersebut. Jadi, faktor manusia memainkan peranan yang begitu strategis dalam pembangunan karena mansuialah yang merupakan faktor produktif yang menggerakkan jalannya pembangunan, dan pada saat yang bersamaan manusia itu jugalah yang menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian, manusia adalah alat sekaligus tujuan.
Manusia yang memiliki kualitas hidup yang lebih baik, lebih berdimensi, dan lebih kaya dalam arti material dan spiritual, adalah manusia sebagai tujuan direncanakan dan dilaksanakannya pembangunan, bukan sebaliknya. Dalam hubungan ini, pengembangan SDM lebih mengacu pada pengertian mobilisasi dan pemanfaatan potensi manusia dalam suatu proses yang meliputi aspek-aspek ekonomi dan sosial secara menyeluruh guna mencapai taraf hidup manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya yang lebih berkualitas.
Dalam konteks tersebut, sudah selayaknya pengembangan SDM tidak hanya berhenti pada sekedar peningkatan produktivitas manusia sebagai alat produksi atau sebagai sarana ekonomi. Hal inilah yang disebut oleh HAR Tilaar (1990) sebagai konsep pembangunan yang menyeluruh yang bertumpu pada pengembangan SDM. Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa kemajuan hanya merupakan hasil pembangunan ekonomi, merupakan pandangan yang harus dipertimbangkan kembali.
Sebaliknya, pandangan yang melihat kemajuan sebagai hasil interaksi antara alat dan tujuan, antara dimensi-dimensi sosial dan ekonomi dalam konteks pengembangan SDM merupakan pandangan yang layak diperhitungkan. Itulah sebabnya kita mendambakan konsep pembangunan yang berpijak pada pendekatan pengembangan SDM sebagai pembangunan yang berdimensi kemanusiaan.
Dalam kaitannya dengan berbagai persoalan masyarakat yang muncul, para sastrawan kita pun mencatatnya, sebagai reaksi kemanusiaan. Baca saja ungkapan-ungkapan dalam sajak-sajak Rendra: Aku melihat darah di langit. Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang. Yang kuasa serba menekan. Yang marah mulai mengeluarkan senjata. Bajingan dilawan secara bajingan. Ya! Inilah kemungkinan yang mulai menggoda orang (“Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon”); Gunung-gunung menjulang, Langit pesta warna di dalam senjakala, Dan aku melihat, protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam (“Sajak Sebatang Lisong”).
Tentu saja contoh-contoh semacam itu dapat diperpanjang lagi karena Rendra tidak sendirian. Kita dapat membaca sajak-sajak Darmanto Yatman, Afrizal Malna, Emha Ainun Najib, Taufik Ismail, Sutarji C. Bachri; cerpen-cerpen Umar Kayam, Mochtar Lubis, dan Seno Gumira Ajidarma; novel-novel Pramudya, Ahmad Tohari, dan Ayu Utami; naskah-naskah Putu Wijaya, Rendra, Arifin C. Noor, Nano Riantiarno, dan Ratna Sarumpaet.
Istilah “pembangunan” itu sendiri, setelah sekian lama dipergunakan, akhir-akhirnya lebih menjurus berubah menjadi sebuah “penjara makna” tanpa kita sadari, atau memang kita dibuat tidak sadar terhadap hal itu (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1993). Kita harus mengartikannya sebagai perubahan kebudayaan dan selalu bersifat positif. Akibatnya, ia dianggap sebagai kata yang mencerminkan satu-satunya kebenaran karena tidak ada pembangunan yang negatif. Ia menjadi begitu hegemonik karena tidak memberikan peluang buat tawar-menawar.
Siapapun yang mencoba “menahan” laju pembangunan, dalam arti tidak sejalan dengan garis pemerintah yang berkuasa dengan cara memberikan alternatif dan tanggapan kritis, akan dituduh sebagai “penghambat pembangunan” dengan berbagai resiko yang harus ditanggungnya, baik yang bersifat sosial, politis, ekonomis, maupun kultural.
Gambaran selintas seperti dikemukakan di atas, menunjukkan kepada kita bahwa dalam sejarahnya, yakni ketika kritik tajam dibungkam di media massa, ketika budaya akal sehat dikebiri, ketika waskat (pengawasan melekat) digalakkan bersamaan dengan korkat (korupsi melekat)—pinjam istilah Umar Kayam—ketika berbagai hal dibuat univokal dan polifoni diharamkan, ketika kebhinekaan dan pluralitas dibuat tidak berdaya, maka daya kreatif maujud lewat dan dalam seni. Oleh sebab itu, sastra bisa dan mungkin saja akan bersifat menggugat, tetapi gugatan yang sekaligus menyodorkan alternatif, yang bisa saja bersifat kritis, konseptualis, negatif, dan terapis.
Kutipan teks sajak Taufik Ismail dapat dijadikan salah satu contoh yang tipikal. Sajak yang berjudul “Kembalikan Indonesia Padaku” itu diciptakan penyairnya pada tahun 70-an, tahun ketika kita sedang “galak-galaknya” melakukan tahapan pembangunan, beberapa tahun setelah lepas dari kekuasaan Orde Lama. Di dalam kutipan tersebut telah dibayangkan bagaimana nasib dan masa depan bangsa kita. Orang boleh berbeda pendapat, apalagi kekuasaan yang hegemonik, terhadap persoalan yang diisyaratkan dalam dan lewat penggalan teks sajak Taufik tersebut. Tetapi, orang juga tidak dapat menyangkal, bahwa apa yang dibayangkan Taufik waktu itu ternyata memiliki kedekatan dengan realitas yang sesungguhnya. Ada homologi struktural antara realitas estetis-literer dan realitas formal.
Pada sisi lain, kekuasaan, kenyataannya, dan ini diyakini dalam waktu yang cukup lama, lebih merupakan sekumpulan teknik untuk mengelola kehidupan publik (lihat: Nirwan Dewanto, 1996). Bahkan, seringkali ia melegitimasikan dirinya menjadi satu-satunya penjaga moralitas publik. Untuk itu, kesenian pun, sepanjang dapat ikut mendukung legitimasinya, diberi kesempatan, bahkan diberi ruang gerak seluas-luasnya. Dalam hubungan semacam ini, aspek sastra dalam seni pertunjukan tradisional kita mencatat sejarahnya sendiri. Bagimana para dalang wayang kulit pada suatu waktu disibukkan untuk membuat lakon “Semar mBabar Jatidiri” dalam berbagai gagrak (Ngayojakartan, Surakartan, Banyumasan, Semarangan, dan seterusnya) merupakan bukti nyata untuk itu, di samping lakon-lakon pesanan seperti “Wahyu Waringin Kencana,” “mBangun Pura Kencana,” sebagai lakon-lakon “politis.”
Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa ada sastra yang diperhatikan, tetapi ada juga yang harus disingkirkan, diacuhkan, dan dipasung hingga mampus, merupakan realitas yang pernah kita hadapi. Cukup lama bagi sastrawan semacam Rendra, Mochtar Lubis, dan Emha Ainun Najib untuk dapat menikmati “kemerdekaan” dirinya buat menyuarakan nurani kemanusiaan lewat karya-karya kreatifnya. Sejumlah buku sastra mengalami “pengguntingan” dan pelarangan.
Pemiskinan kreativitas lewat cekal dan sensor adalah bukti nyata dari kecerdikan kekuasaan dalam memanfaatkan sastra sebagai faktor kontributif legitimasi keberadaannya. Itulah sebabnya, politik juga akan menjadi berarti: sehimpunan teknik untuk memadukan dan menyatukan berbagai perbedaan dan keberagamanan yang ada di kawasan masyarakat sipil. Maka, kebudayaan pun, bagi sastrawan sejati, adalah sebuah arena: sebuah panggung bargaining untuk menguji dan memperbaiki mutu dan perilaku kekuasaan.
Sastrawan sejati selalu menyadari bahwa prinsip-prinsip moral dalam kehidupan bermasyarakat harus selalu dirawat, apalagi ketika pemerintahan dijalankan oleh angan-angan segelintir manusia, dan bukan berdasarkan aturan hukum yang telah disepakati bersama; ketika pertumbuhan organisasi-organisasi kewargaan ditekan, dan bukannya disemai; ketika perbedaan pendapat dibungkam, dan tidak diberi ruang yang cukup (lihat: Anwar Ibrahim, 1998). Satrawan sejati selalu berupaya menawarkan upaya pencarian keunggulan nilai, dan pengupayaan kebaikan untuk menggantikan sesuatu yang hanya bersifat mediokratis dan beragam atmosfer yang minatnya melulu kepada benda-benda material, bukan pada nilai-nilai intelektual dan artistik.
Sastawan sejati selalu berupaya menawarkan alternatif perubahan menuju penemuan, penghidupan, dan penyegaran kembali semangat kebebasan, individualisme, kemanusiaan, dan toleransi dalam jiwa kita. Keutamaan kecendekiaan dan pengayaan kultural menjadi perhatian utama sastrawan dalam proses kreatifnya, terlebih ketika perspektifnya adalah “berhadapan” dengan kekuasaan. Semua itu dilakukan dalam kerangka “agar kehidupan bisa terjaga” (pinjam baris puisi Rendra).
Karena, perubahan sosial sebagai bagian dari panggilan sejarah meniscayakan pergeseran yang terus-menerus, retaknya pandangan dunia masyarakat, dan dislokasi, yang bisa saja bermuara pada munculnya histeria sosial yang berpotensi melahirkan manusia yang berwajah garang, berwatak keras, berperilaku brutal dan agresif, serta saling bermusuhan satu sama lain. Oleh karena itu, teks-teks kreatif pun tidak pernah kering dari upaya menanamkan ke dalam dirinya prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang berasal dari cita-cita peradaban dan warisan intelektual yang benar-benar berakar pada multikulturalitas.
Yang namanya “merdeka” tentulah bukan hanya terbatas pada pengertian merdeka politik (dalam batasan negara dan bangsa), tetapi juga merdeka dalam hal pemikiran dan jiwa (dalam batasan sebagai manusia-manusia hamba Tuhan). Cita-cita ini mengandaikan pula kemerdekaan dari semua bentuk dominasi manusia lain. Ketika kekuasaan (politik) dihayati dalam sejarah riil kebudayaan, di mana pun, kekuasaan amat biasa memakai ekspresi seni sebagai alat atau kendaraan demi mencapai kepentingannya (lihat: Muji Sutrisno, 1999), dan aspek positifnya sering diabaikan.
Padahal, dalam arti positifnya, “ruang dalam” sastra dan kekuasaan sejatinya merupakan ruang tegur-sapa bersama dalam memperjuangkan kemanusiaan. Seperti sudah dilukiskan, dalam kenyataannya kita mencatat bahwa kekuasaan “hanya” memanfaatkan seni, bahkan jika diperlukan memanipulasikannya dengan beragam cara, bukan demi tujuan pemanusiaan.
Oleh karena itu, dilema utama para seniman terletak pada pilihan antara mengolah secara kreatif peresapan keresahan, nilai-nilai yang dibungkam kekuasaan dan pilihan berhadapan dengan politik kekuasaan yang mengontrolnya. Titik ekstrem dilema ini ada pada diam-bisunya masyarakat yang tidak pernah disuarakan oleh para seniman, sehingga masyarakat berada dalam tidur panjang keterpasungan.
Masyarakat memang harus dipersiapkan, secara keseluruhan dan tidak dimonopoli oleh sebagian kecil golongan, untuk melakukan transformasi diri dan melepaskan diri dari pengalaman buruk masa lampau, yang dalam bahasa Anwar Ibrahim disebut sebagai tribalisme, feodalisme, kepicikan wawasan, dan fanatisme berlebihan. Hal ini bukanlah berarti mereka harus menghapuskan identitas mereka yang asli, melainkan mereka perlu memperbaharui komitmen kepada nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebajikan, dan kasih sayang, sebagai nilai-nilai universal.
Masyarakat terbuka semacam itu tidak mungkin terwujud tatkala rezim kekuasaan menolak pluralisme, polifoni, dan hanya menghendaki satu situasi yang monofonik. Untuk menerjemahkan persoalan tersebut ke dalam realitas, ke dalam kehidupan keseharian dibutuhkan kreativitas, imajinasi, dan keberanian. Dalam konteks inilah teks-teks sastra akan menemukan relevansi dan signifikansinya karena sastra yang baik meniscayakan perhitungan dimensi polifonik.
Penciptaan sastra memang bertolak dari kehidupan keseharian. Dengan kebijakannya, sastrawan biasa menjelajahi realitas pada sisi-sisinya yang paling musykil, yang tak tergapai oleh kaidah masyarakat, apalagi penguasa yang hegemonik, yang baik dan benar, yang penuh kaidah tapi lupa konteks dan tak pernah bersifat situasional. Sastrawan adalah sosok pribadi yang mencoba mengingkari dan sekaligus menerima dunia; menolak tetapi tidak mampu meninggalkannya.
Oleh karena itu, memasuki proses kreatif bagi sastrawan pada hakikatnya adalah menyiapkan sebuah “rancangan” perlawanan, yakni perlawanan tekstual: sebuah pemberontakan (lihat: Albert Camus, 1998) karena pemberontakan adalah sesuatu yang kreatif. Jagat sastra adalah jagat korektif agar kita selalu menimbang dan menimbang lagi jagat kehidupan yang kita miliki.
Keberanian sastrawan dalam mengungkapkan potret kehidupan masyarakat sebagai bentuk “bahasa pilihan”-nya berpotensi memunculkan risiko berhadapan langsung dengan penguasa: pembungkaman. Oleh karena itu, pertimbangan untung ruginya dalam konteks kemanusiaan yang diperjuangkan sudah seharusnya dilakukan: bukan sebagai sebentuk “kekalahan” sastrawan di hadapan kekuasaan, melainkan sebagai upaya budaya yang strategis, yang dalam bahasa Umar Kayam disebut sebagai tesis “dalam rangka.”
Dalam hubungan ini, Muji Sutrisno mencatat adanya empat kemungkinan. Pertama, sikap sastrawan yang menyebarkan refleksi irisan-irisan cermin keadaan masyarakat yang dengan kreatif mencari celah-celah ungkapan seninya. Kedua, sastrawan berjuang untuk menyebarkan ide-ide pencerahan hasil refleksi ruang batin ciptanya. Ketiga, sastrawan mau menghibur saja tanpa mau mengambil tematisasi politik. Keempat, sastrawan mau tampil sebagai guru masyarakat yang mau mendidik dengan konsientisasi prinsip kemerdekaan persamaan peradaban dan demokrasi, yang bisa dengan pertunjukan ekspresi simbolik abstrak dan bisa dengan karikatur tajam kritis.
Akhirnya, dengan memperhitungkan pemikiran dan gagasan filosofis dan spiritual masyarakat dalam relasi resiprokalnya dengan kondisi sosial politik di berbagai wilayah di belahan dunia, dan dengan merefleksikan kembali bahwa masa depan peradaban bergantung kepada kembalinya kesadaran spiritual dalam hati dan pikiran umat manusia, sejalan dengan apa yang sudah dikemukakan di depan, dalam hubungan ini sastra dapat dipertimbangkan sebagai salah satu format yang secara spiritual-psikologis ikut mendukung berbagai upaya baru dalam rangka menemukan kembali tatanan sosial dan politik sebagai bagian integral dari rangkaian perubahan sosial.
Pustaka Pemandu
1. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Post-Modernisme dan Perubahan Kebudayaan. Makalah disampaikan dalam forum diskusi terbatas Lingkaran Studi Ekstase, Fakultas Filsafat UGM, tanggal 18 November 1993. Selanjutnya lihat juga: Heru Nugroho, Dialektika Pencerahan dalam Era-Postmodernisme, sda.; Amich Ahlumami, “Postmodernisme dan Kebudayaan Kota” dalam Suyoto dkk, Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), h. 97-dst.
2. Umar Kayam, “Budaya Harus Bayar” dalam Kompas, Rabu 17 Maret 1999, h. 4. Menurut Umar Kayam, pepatah Belanda voor wat hoort wat, atau pepatah Jawa jer basuki mawa beya atau bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “untuk sesuatu ada sesuatu,” atau “sesungguhnya keselamatan atau kebahagiaan mengandung biaya,” pada zaman Orde Baru telah ditafsirkan secara harafiah.
3. HAR Tilaar, “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Budaya, Suatu Pemikiran Awal.” dalam Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 273 dst.
4. Nirwan Dewanto, “Politik (dan) Kesenian: Pelajaran dari Dua Zaman,” dalam Senjakala Kebudayaan (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1996) h. 90-dst.
5. Anwar Ibrahim, “Demokrasi dan Masyarakat Madani,” dalam Renaisans Asia, Gelombang Reformasi di Ambang Alaf Baru (terj. Ihsan Ali-Fausi, Bandung: Mizan, 1998), h. 49.
6. Mudji Sutrisno, “Ruang Batin Cipta,” dalam Kompas, Minggu 14 Maret 1999, h. 5.
7. Albert Camus, “Seni dan Pemberontakan,” dalam Ahmad Norma (ed.), Seni, Politik, Pemberontakan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998), h. 1.
Catatan
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti pengajar pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Artikel ini disampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan” yang diselenggarakan Kamis (26/11/2015) di Ruang Seminar PLA Lt. 3 FBS UNY.