Pengertian Servant Leadership
Menurut Parris dan Peachey (2012), kalau ada kajian kepemimpinan mutakhir yang berhubungan dengan masalah etika, kebajikan dan moral maka itu adalah kepemimpinan yang melayani. Kedua peneliti ini melakukan kajian literatur tentang kepemimpinan yang melayani dengan menggunakan metode systematic literature review (SLR). Hasil kajiannya, dari 39 studi empiris terbaik tentang kepemimpinan yang melayani, menyebutkan bahwa tidak ada kesepakatan diantara para pakar tentang definisi kepemimpinan yang melayani. Greenleaf (1977) sendiri tidak memberikan batasan yang jelas tentang teorinya itu, kecuali membuat tulisan tentang apa yang dimaksud dengan kepemimpinan yang melayani itu sebagai berikut.
Servant leadership (kepemimpinan yang melayani) dimulai dengan perasaan alamiah bahwa kita ingin melayani lebih dulu. Kemudian pilihan yang dilakukan secara sadar membawa seseorang berkeinginan untuk memimpin...Perbedaan muncul dengan sendirinya dalam perhatian yang diberikan oleh pelayan: pertama memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi dari orang lain telah terpenuhi. Tes terbaik, dan sulit dijalankan, adalah: apakah mereka yang dilayani tumbuh sebagai manusia yang baik; apakah mereka saat dilayani menjadi lebih sehat, bijak, bebas, otonom, dan lebih mungkin menjadi pelayan? Dan, apakah dampaknya pada kelompok yang paling tidak beruntung di masyarakat; akankah mereka untung, atau setidaknya, akankah mereka tidak akan semakin kekurangan? (Greenleaf, 1977)
Selama ini para peneliti kepemimpinan yang melayani mengacu tulisan Greenleaf di atas jika ingin menjelaskan batasan dari kepemimpinan yang melayani. Namun bukan berarti tidak ada definisi sama sekali. Larry Spears (2010), salah satu pengikut Greenleaf telah merumuskan definisi tentang servant leadership sebagai berikut.
”A new kind of leadership model...a model which puts serving others as the number one priority. Servant-leadership emphasizes increased service to others; a holistic approach to work; promotion a sense of community; and the sharing power in decision making.”
Spears kemudian menjabarkan satu persatu tentang apa itu “service to others, holistic approach to work, promoting a sense of community, dan sharing of power in decision making.”
Service to others, maksudnya pemimpin yang melayani itu dimulai ketika mengasumsikan posisinya sebagai pelayan dalam interaksinya dengan “pengikut”. Kemudian, holistic approach to work, maksudnya pemimpin yang melayani itu berpegang pada prinsip, “Pekerjaan ada untuk orang, sama dengan orang hadir untuk pekerjaan”. Promoting a sense of community, maksudnya kepemimpinan yang melayani mempertanyakan kemampuan institusi yang menyediakan pelayanan bagi masyarakat, karena hanya dengan memantapkan sense of community di kalangan pengikut maka sebuah organisasi dapat sukses sesuai dengan tujuannya. Sharing of power in decision making, maksudnya kepemimpinan yang efektif dilakukan melalui pengembangan kepemimpinan yang melayani pada orang lain. Melakukan pemberdayaan dan menyokong talenta pengikut. Intinya membagi kekuasaan kepada pengikut. Struktur organisasi dalam kepemimpinan yang melayani kadang-kadang dibuat seperti “piramid terbalik”, di mana karyawan, klien, dan stakeholder lainnya berada di atas, sementara pemimpinnya berada di bawah.
Sejarah Servant Leadership
Dari berbagai model kepemimpinan yang ada, tidak ada yang mempunyai sejarah yang dalam dan kuat, seperti kepemimpinan yang melayani (Brewer, 2010). Sejarah kepemimpinan yang melayani dapat ditelusuri hingga abad ke-6 sebelum masehi, yakni di zaman filosof China Lao-Tzu yang sangat berpengaruh. Ajarannya adalah tentang bagaimana menolong masyarakat dari kehancuran moral. Cikal bakal konsep kepemimpinan yang melayani diakui Greenleaf (1970) bersumber dari para tokoh besar, dalam pendekatan studi kepemimpinan dikenal sebagai the great man, seperti Mahatma Gandhi atau Martin Luther King.
Acuan sejarah seperti itu menyebabkan, pada awalnya, teori kepemimpinan yang melayani tidak mendapat perhatian luas. Para pakar kepemimpinan menganggapnya sebagai teori tentang filsafat. Meskipun Greenleaf telah merumuskan teorinya pada 1977, dunia akademik baru merespons secara luas pada tahun 1990-an ketika Greenleaf sendiri sudah wafat. Pengaruhnya lebih luas lagi di dunia kepemimpinan ketika muridnya Larry C.Spears mengkaji atau mengidentifikasi 10 karakter kepemimpinan yang melayani yang efektif untuk organisasi (Spears, 2010).
Kepemimpinan yang melayani pertama kali dicetuskan oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1970 lewat karyanya, “The servant as leader”. Empat tahun sebelumnya (1964) dia adalah pensiunan perusahaan terkemuka dunia “AT&T” (perusahaan telpon dan elektronik). Saat menjadi eksekutif di AT&T dia sudah menerapkan kepemimpinan yang melayani, dan sukses, karena itu setelah pensiun dia mulai mengkaji hingga menulis karya pertamanya “The servant as leader”.Ternyata tulisan ini menginspirasi banyak pihak terutama peneliti kepemimpinan, meskipun tidak secara luas. Pada tahun 1972 ia menulis tentang “The institution as servant”, dan pada tahun 1977 Greenleaf mulai mantap dan menulis, “The servant leadership”.
Munculnya konsep “The servant leadership” atau kepemimpinan yang melayani itu diakui Greenleaf (1970) terinspirasi oleh novel menarik karya Herman Hesse yang berjudul “The Journey to the East”. Novel ini bercerita tentang sekelompok pelancong yang ditemani seorang pelayan. Pelayan ini sangat membantu para anggota kelompok. Pelayan ini tidak hanya menyemangati pelancong selama perjalanan yang membosankan tetapi juga sering menghibur dengan bernyanyi. Kehadiran pelayan itu memiliki dampak yang luar biasa. Ketika sang pelayan tersesat, terpisah dari kelompok, para pelancong menjadi panik dan bergegas meninggalkan perjalanan itu. Tanpa pelayan mereka tidak mampu melanjutkan. Pelayanlah yang akhirnya memimpin kelompok. Dia muncul sebagai pemimpin lewat perhatiannya kepada para pelancong, tanpa mementingkan diri sendiri.
Model Servant Leadership
Berdasakan penelitian Liden, Wayne, Zhao dan Henderson (2008), Northouse (2013) merumuskan sebuah model kepemimpinan yang melayani. Bagan model di atas bersumber dari Northouse (2013), yang mengambarkan bagaimana model kepemimpinan yang melayani berawal dari kondisi yang ada, mencakup konteks budaya, sifat pemimpin dan tingkat penerimaan pengikut. Kemudian menggambarkan perilaku “pemimpin yang melayani”, dan akhirnya menggambarkan hasil yang dicapai.
Pada bagian pertama, kondisi yang ada, konteks dan budaya, menunjukkan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi dalam konteks organisasi yang ada dan budaya tertentu. Kedua hal itu berpengaruh terhadap kepemimpinan yang melayani.
Sifat pemimpin, menujukan bahwa individu membawa sifat dan idenya sendiri untuk memimpin dalam situasi kepemimpinan. Sejumlah orang bisa merasa sangat ingin melayani atau sangat kuat termotivasi untuk memimpin, sementara yang lain mungkin merasa dikendalikan oleh rasa adanya panggilan yang lebih tinggi. Selain itu masing-masing individu juga berbeda dalam hal perkembangan moral, kecerdasan emosional, serta ketekunan dirinya.
Tingkat penerimaan pengikut, maksudnya tingkat atau kemampuan penerimaan pengikut merupakan faktor yang berpengaruhi terhadap seorang pemimpin yang melayani dalam mewujudkan hasil yang ada, seperti kinerja jabatan pribadi dan organisasi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tidak semua pengikut suka dilayani (Liden, et al. (2008), dalam Northouse, 2013). Sebaliknya ketika pengikut mempunyai kebutuhan dan suka dilayani maka kepemimpinan yang melayani mempunyai kontribusi pada terciptanya kinerja dan perilaku organisasi yang baik (Meuser, et al. (2011) dalam Northouse (2013) ). Bagian kedua tentang perilaku pemimpin yang melayani antara lain: membentuk konsep, memulihkan emosi, mengutamakan pengikut, membantu pengikut tumbuh dan sukses, berperilaku secara etis, memberdayakan, menciptakan nilai untuk masyarakat.
Membentuk konsep, maksudnya dalam hal pembentukan konsep mengacu pada pemahaman penuh pemimpin yang melayani tentang organisasi, baik masalah visi-misi, kegunaan maupun kompleksitas masalahnya.
Memulihkan emosi, maksudnya bahwa pemimpin yang melayani harus sensitif terhadap masalah pribadi dan kebahagiaan orang lain. Hal ini berkaitan dengan selalu mencari tahu mengenai permasalahan pengikut dan meluangkan waktu untuk mendengarkan dan mencari solusi permasalahan yang dihadapi pengikut.
Mengutamakan pengikut, maksudnya bahwa mengutamakan orang lain merupakan karakter dasar dari kepemimpinan yang melayani. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tindakan dan kata-kata yang menunjukan bahwa pengikut adalah prioritas, dengan menempatkan kepentingan dan keberhasilan pengikut di atas dari kepentingan dan keberhasilan pemimpin.
Membantu pengikut tumbuh dan sukses, maksudnya bahwa perilaku ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman pemimpin yang melayani terhadap tujuan pengikut secara pribadi maupun tujuan profesinya. Agar pemimpin dapat mendukung dan membantu apa yang menjadi tujuan pengikut. .
Berperilaku secara etis, menunjukan bahwa pemimpin yang melayani harus melakukan sesuatu yang benar dengan cara yang benar pula. Perilaku etis yang dimaksud meliputi juga bersikap terbuka, jujur, dan adil dengan pengikutnya.
Memberdayakan, maksudnya bahwa pemimpin yang melayani harus memberikan keleluasaan kepada pengikut untuk mandiri, membuat keputusan sendiri dan otonom. Selain itu, pemimpin yang melayani juga harus membangun kepercayaan diri pengikut dalam kapasitas mereka untuk berpikir dan bertindak sendiri karena mereka diberi kebebasan untuk mengatasi situasi sulitnya dengan cara mereka sendiri.
Menciptakan nilai untuk masyarakat, maksudnya bahwa pemimpin yang melayani menciptakan nilai bagi komunitas dengan secara sengaja dan sadar. Pemimpin yang melayani terlibat dalam aktivitas setempat dan mendorong pengikut untuk juga menjadi tenaga sukarela bagi layanan masyarakat. Bagian ketiga berkaitan dengan hasil, mencakup kinerja dan pertumbuhan pengikut, kinerja organisasi dan dampak bagi masyarakat.
Kinerja dan pertumbuhan pengikut, maksudnya bahwa model kepemimpinan yang melayani sebagian besar perilaku pemimpin berfokus pada pengakuan kontribusi pengikut, dan membantu mereka menyadari potensinya. Hasil yang diharapkan dari pengikut adalah aktualisasi diri yang lebih besar.
Kinerja organisasi, maksudnya bahwa sejumlah kajian telah menemukan hubungan positif antara kepemimpinan yang melayani dan perilaku organisasi yang peduli pada lingkungan, dimana perilaku pengikut melebihi tuntutan dasar tugasnya. Kepemimpinan yang melayani juga mempengaruhi cara tim organisasi berfungsi.
Dampak bagi masyarakat, maksudnya bahwa hasil lain dari penerapan kepemimpinan yang melayani adalah memiliki dampak positif bagi masyarakat.
Karakteristik Servant Leadership
Spears (2010) sangat berjasa dalam pengembangan model kepemimpinan yang melayani. Dia tidak hanya merumuskan definisi yang lebih aplikabel, tetapi juga mengidentifikasi 10 karakteristik dari kepemimpinan yang melayani agar lebih mudah dipahami bagi dunia praktisi. Sepuluh karakter kepemimpinan yang melayani itu adalah seperti berikut ini.
Pertama, listening, yaitu bahwa pemimpin yang melayani berkomunikasi dengan mendengarkan terlebih dahulu. Lewat mendengarkan, pemimpin yang melayani mengakui sudut pandang pengikut.
Kedua, empathy, yaitu bahwa seorang pemimpin yang melayani berupaya untuk memahami dan berempati kepada orang lain atau melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Sikap empati ini juga dapat membuat pengikut merasa menjadi pribadi yang “unik”.
Ketiga, healing, yaitu bahwa salah satu kekuatan luar biasa dari kepemimpinan yang melayani adalah secara potensial dapat melakukan penyembuhan diri dan hubungannya dengan orang lain. Kepemimpinan yang melayani mendukung pengikut dengan membantu mereka mengatasi masalah pribadi. Proses penyembuhan ini berjalan dua arah, pertama membantu pengikut menjadi sehat, kedua pemimpin yang melayani itu sendiri menjadi lebih baik.
Keempat, awareness, yaitu bahwa baik kesadaran umum, lebih khusus kesadaran diri, merupakan kekuatan pemimpin yang melayani. Kesadaran menolong seseorang dalam memahami masalah yang berkaitan dengan etika, kekuasaan dan nilai.
Kelima, persuasion, yaitu bahwa persuasi adalah bentuk komunikasi yang ulet dan meyakinkan orang lain untuk berubah. Sebagai lawan dari paksaan, yang memanfaatkan otoritas posisi untuk dapat memaksakan kepatuhan (pengikut). Persuasi menciptakan perubahan dengan menggunakan argumen secara lembat.
Keenam, conceptualization, yaitu bahwa konseptualisasi merujuk pada kemampuan individu untuk menjadi orang yang berpandangan jauh ke depan bagi suatu organisasi, dan memberi pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah organisasi.
Ketujuh, foresight, yaitu bahwa karakter ini berkaitan dengan kemampuan pemimpin yang melayani melihat masa depan. Ini adalah kemampuan untuk menduga hal apa yang akan terjadi berdasarkan pada apa yang terjadi di masa sekarang dan apa yang terjadi di masa lampau.
Kedelapan, stewardship, yaitu bahwa karakter ini merupakan kewajiban (tanggungjawab) kepemimpinan yang melayani untuk mengelola secara hati-hati baik orang maupun organisasi yang mereka pimpin.
Kesembilan, commitment to the growth of people, maksudnya bahwa Kepemimpinan yang melayani mempunyai komitmen untuk membantu setiap orang di dalam organisasi agar bisa tumbuh, baik secara pribadi maupun profesional.
Kesepuluh, building community, yaitu bahwa pemimpin yang melayani memperkuat perkembangan sebuah komunitas. Pembentukan komunitas ini dimaksudkan untuk menyediakan tempat dimana orang bisa merasa aman dan terhubung dengan orang lain, tetapi tetap dimungkinkan untuk mengekspresikan individualitasnya.
Upaya untuk mengidentifikasi dan merumuskan karakter kepemimpinan yang melayani agar mudah dipahami oleh dunia praktisi, tidak hanya dilakukan Spears (2010), peneliti lain juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilaporkan Northouse (2013), antara lain: Farling et al. (1999) mengidentifikasi 5 karakter kepemimpinan yang melayani (vision, influence, credibility, trust dan service). Kemudian, Page & Wong (2000) mengidentifikasi 11 karakter kepemimpinan yang melayani (integrity, humility, servanthood, caring for others, developing others, empowering others, visionong, goal-setting, leading, team-building, shared decisio making). Russel & Stone (2002) mengidentifikasi 9 karakter kepemimpinan yang melayani (vision, honesty, integrity, trust, service, modeling, pioneering, appreciation of others, empowerment). Patterson (2002) mengidentifikasi 7 karakter kepemimpinan yang melayani (agapao love, humility, altruism, vision, trust, empowerment, service).
Barbuto & Weeler (2006) mengidentifikasi 5 karakter kepemimpinan yang melayani (altrusitic calling, emotional healing, persuasive mapping, wisdom, organizational stewardship). Sendjaya et al. (2008) mengidentifikasi 6 karakter kepemimpinan yang melayani (voluntary subordination, authentic self, covenantal relationship, responsible morality, transcendental spirituality, transforming influence). Liden et al. (2008) mengidentifikasi 7 karakter kepemimpinan yang melayani (emotional healing, creating value for the community, conceptual skills, empowering, helping subordinates grow and succeed, putting subordinates first, behaving ethically).
Penutup
Dewasa ini, sedikit sekali, tulisan tentang kepemimpinan yang melayani di Indonesia. Padahal banyak teoritisi dan praktisi dunia tentang kepemimpinan mengakui kehebatan model Kepemimpinan yang melayani sebagai sebuah alternatif untuk kesuksesan di dunia bisnis. Dari sisi budaya, kepemimpinan yang melayani cocok dengan budaya Indonesia (Timur) yang tidak mementingkan diri sendiri (self-interest). Dalam tataran filosofi, kepemimpinan yang melayani sudah lama diterapkan diberbagai perusahaan besar ternama yang masuk dalam daftar majalah Fortune 100 perusahaan terbaik dunia. Berbagai perusahaan itu mengakui bahwa filosofi kepemimpinan yang melayani telah diintegrasikan ke dalam budaya organisasi mereka (Spears, 2010).
Beberapa pemikir dan penulis produktif dunia tentang kepemimpinan juga telah lama meramalkan bahwa kepemimpinan yang melayani merupakan paradigma kepemimpinan di abad 21. Mereka yang telah membaca dan mengkaji mengenai kepemimpinan yang melayani serta memberikan pujian, antara lain: James Autry, Warren Bennis, Peter Block, John Carver, Sthephen Covey, Mav DePree, Joseph Jaworski, James Kouzes, Larraine Matusak, Parker Palmer, M.Scott Peck, Peter Senge, Peter Vaill, Margaret Wheatly, dan Danah Zohar (Spears, 2010). Zohar (1997, dalam Spears, 2010) malah berpikir lebih jauh ke depan dengan mengatakan bahwa kepemimpinan yang melayani esensinya adalah pemikiran kuantum (quantum thinking) dan quantum leadership.
Sejumlah hasil penelitian juga telah menunjukan bahwa kepemimpinan yang melayani dapat mewujudkan kepemimpinan yang efektif. Dari hasil studi, misalnya hubungan kepemimpinan yang melayani dan perilaku ekstra peran (OCB) menyebutkan bahwa kepemimpinan yang melayani berpengaruh terhadap perilaku OCB karyawan. Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa kepemimpinan yang melayani mempunyai pengaruh terhadap komitment kerja karyawan.
Dengan demikian ingin ditegaskan dalam bagian penutup ini, bahwa kepemimpinan yang melayani sudah saatnya menjadi isu-isu penelitian dunia akademik Indonesia, khususnya bagi para peneliti masalah kepemimpinan. Dengan harapan bahwa model kepemimpinan yang melayani itu dapat lebih tersosialisasi dan diterapkan oleh para pejabat atau pemimpin di dunia bisnis maupun non-bisnis, agar Indonesia ke depan lebih baik lagi dari sekarang. Semoga.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd
Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Rabu 24 Desember 2014.