Hingga kapan kita terpedaya dalam kontestasi dan tengkar politik yang menguras energi nasional dan baru merasa sedikit bangga sebagai bangsa tatkala muncul orang seperti Lalu Muhammad Zohri—yang dengan perjuangannya sendiri berlari meraih prestasi di gelanggang dunia?
Sungguh kita terlalu berbusa omong tentang fantasi kemajuan bangsa dengan bonus demografinya yang terus didaraskan, tanpa sungguh-sungguh mempersiapkan fundamen yang kuat. Secara politik, fundamen kemajuan itu setidaknya meliputi keampuhan rejim pembuatan kebijakan (policymaking regimes), rejim produksi (production regimes), dan rejim pengetahuan (knowledge regimes).
Politik kemajuan tidak bisa dibangun dengan horison visi yang pendek, dengan kampanye berkepanjangan dalam urusan pencitraan. Esensi politik bagi kehidupan publik adalah melahirkan rejim pembuatan kebijakan yang responsif terhadap kepentingan umum dan tantangan zaman. Rejim kebijakan ini melibatkan organisasi dan tata kelola negara, partai politik dan segenap institusi politik.
Dengan kredo “bringing the state back in”, rejim kebijakan ini sangat menentukan apakah demokrasi sungguh-sungguh memperkuat daulat rakyat atau menyingkirkan sang demos. Kemenangan pasar global kapitalisme pasca perang dingin telah menjadikan pasar dan modal dengan penetrasi lintas-negara sebagai kekuatan yang amat dominan dalam mendikti kebijakan-kebijakan politik.
Hubungan politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik. Pada titik itu, sebagian besar rakyat (demos) tak lagi berdaulat atas politik.
Gelombang ketidakpuasan rakyat pada rejim kebijakan dari demokrasi dekaden itu telah mendorong kerinduan pada pemerintahan kuat sebagai pengendali penetrasi pasar. Dorongan ini ditandai oleh merebaknya popularitas populisme dan sayap kanan, serta tendensi ke arah stabilitas pemerintahan yang kuat, seperti terus berkuasanya Angela Merkel di Jerman, Vladimir Putin di Rusia, Recep Tayyip Erdogan di Turki, terpilihanya kembali Mahathir Muhammad di Malaysia, bahkan peluang yang diberikan Konstitusi kepada Xi Jinping untuk bisa menjadi Presiden seumur hidup di China.
Kecenderungan global mengisyaratkan perlunya politik mempersiapkan rejim pembuatan kebijakan dengan dukungan pemerintahan yang kuat. Rejim kebijakan ini harus menyusun semacam pola pembangunan semesta berencana dalam jangka panjang, yang memuat haluan pokok dan prinsip direktif yang menyeluruh dan terapadu, yang dapat melindungi kepentingan umum dari penetrasi pasar global kapitalisme yang melemahkan demokrasi.
Pemulihan rejim kebijakan ini harus juga memperhatikan rejim produksi dalam dunia usaha. Rejim ini melibatkan organisasi aktivitas perekonomian melalui pasar dan institusi-institusi terkait dengan pasar, yang mengelola kesalingterkaitan antara perusahaan, konsumen, pekerja, dan pemilik modal.
Orientasinya adalah bagaimana demokrasi politik diiringi oleh demokrasi ekonomi. Harus dipastikan agar rantai perekonomian dari hulu ke hilir tidak terkonsentrasi di satu tangan. Butuh usaha mengembangan hubungan produksi yang lebih inklusif dengan semangat koperatif. Cabang-cabang produksi yang penting, yang mengusai hajat hidup orang banyak, harus digunakan untuk seluas-luas kemakmuran rakyat, tidak boleh jatuh ke tangkup penguasaan orang per orang.
Penataan rejim kebijakan dan rejim produksi itu memerlukan dukungan rejim pengetahuan. Rejim pengetahuan ini melibatkan dunia pendidikan, lembaga riset dan tanki pemikir. Tantangannya adalah bagaimana muatan kurikulum pendidikan lebih selaras dengan model rejim pengambilan kebijakan dan rejim produksi yang dikehendaki.
Bagaimana pula membawa hasil penelitian dari lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi ke jantung rejim kebijakan dan produksi. Dalam kerangka rejim kebijakan, harus didorong kolaborasi produktif antara lembaga riset pemerintah, perguruan tinggi, swasta dan lembaga kepakaran di parlemen. Juga perlu adanya sinergi antara tanki-tanki pemikir swasta dengan tanki pemikir di lingkungan kepartaian dan pemerintah. Beberapa negara Skandinavia seperti Denmark dan Norwegia relatif mampu menjaga rejim kebijakannya dari penetrasi neoliberalisme antara lain karena tersedianya kerangka-kerangka koperatif-kolaboratif dalam rejim pengetahuan.
Dalam kerangka rejim produksi, perlu dibudayakan kolaborasi riset antara lembaga riset pemerintah, perguruan tinggi dan perusahaan. Riset pada akhirnya harus menjadi kepentingan instrinsik dari proses inovasi di sektor perusahaan. Untuk itu, perekonomian berbasis ekstraktif harus segera ditransformasikan menjadi perekonomian berbasis pengetahuan. Insentif pemerintah harus diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengembangkan knowledge economy, seperti langkah yang ditempuh Pemerintahan Korea Selatan dalam mendorong tumbuhnya perusahaan-perusahaan berbasis pengetahuan.
Jika kita ingin keluar dari dunia fantasi menuju realitas kemajuan bangsa di masa depan, secara politik kita harus segera keluar dari kegaduhan kontestasi dan tengkar politik yang mahal menuju kesungguhan melakukan penataan rejim pembuatan kebijakan, rejim produksi dan rejim pengetahuan. Di situlah pusat pertaruhan bangsa.
(Yudi Latif, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta. Dimuat Kompas 19 Juli 2018)