Dalam setiap disiplin ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu pendidikan yang dalam dunia literatur akademik lebih dikenal sebagai pedagogi, senantiasa menggunakan paradigma ketika akan melihat berbagai fenomena yang menjadi objek kajiannya. Posisi paradigma itu begitu penting dalam setiap disiplin ilmu karena menjadi landasan fundamental dalam menyusun sebuah teori dan tawaran konsepkonsep kunci, termasuk pilihan metodologinya. Bertolak dari pilihan paradigma itu setiap disiplin ilmu akan memproblematisasi berbagai objek kajian utamanya sebagai upaya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis dan teoretis secara analitis dan eksplanatif. Oleh karena itu pilihan paradigma sebuah disiplin memiliki konsekuensi terhadap kesesuaian pilihan landasan filosofis, pilihan teori, dan pilihan metodologinya.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka menggunakan analisis sosiologis untuk melihat berbagai fenomena pendidikan di Indonesia memerlukan instrumen lengkap dimulai dari level paradigma, teori, perspektif, konsep, dan pilihan metodologinya. Artinya, agar mendapatkan jawaban, penjelasan, dan bahkan tawaran solusi yang tepat (jika memang menghendaki perubahan ke arah progres), maka perlu menyusun argumen secara sistematis yang dibangun sejak dari level paradigma hingga pilihan metodologinya. Dengan kata lain, upaya memperoleh jawaban, penjelasan, dan perubahan secara signifikan dalam dunia sosial, khususnya fenomena pendidikan, menuntut logika berpikir konsisten sejak dari paradigma yang dipilih hingga pilihan metode, dan bahkan juga pilihan terminologi konseptualistiknya.
Seperti halnya ilmu-ilmu sosial pada umumnya, ilmu pendidikan di Indonesia juga berasal dari dunia Barat yang di sana lebih dikenal sebagai pedagogi. Tentu saja yang membawa ke negeri ini adalah pemerintah kolonial Belanda bersamaan dengan membawa sistem dan bentuk institusi pendidikan modern. Itulah sebabnya sejak semula dan bahkan terasa hingga sekarang definisi pendidikan misalnya, senantiasa mengacu pada teoretisi pedagogi Belanda, yaitu M.J. Langeveld. Fokus gagasan utamanya adalah bahwa pendidikan adalah proses pendewasaan anak karena itu perlu keterlibatan orang dewasa dalam upaya pendewasaan itu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Boleh jadi inilah awal mulai dominannya paradigma positivistik dalam ilmu pendidikan di Indonesia yang menekankan pada kontrol atau pengendalian perilaku terhadap peserta didik.
Bahkan Ki Hadjar Dewantara, meskipun memiliki semangat kritis tetapi konseptualisasi tentang pendidikan sedikit-banyak juga mengandung positivistik dengan menonjolkan pentingnya posisi guru sebagai panutan. Prinsip pendidikan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani jika dicermati mengandung dominasi peran guru dalam mengendalikan perilaku peserta didik. Oleh karena itu Denys Lombard (2005) pernah mengatakan bahwa konsep pendidikan Ki Hadjar sedikit-banyak merupakan praktik demokrasi terpimpin.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah Indonesia merdeka, kondisi ilmu pendidikan juga masih terasa adanya dominasi pendidikan berparadigma positivistik yang mengendalikan perilaku peserta didik dengan peran guru sebagai pusat segalanya. Situasi ini kemudian juga berpengaruh terhadap ilmu mengajar yang lebih menonjolkan aspek dedaktik, yaitu apa yang kemudian dikenal sebagai teacher centered learning (TCL). Pada era Soekarno berbagai pemikiran berorientasi perubahan revolusioner sangat digalakan. Akan tetapi ironisnya model pembelajarannya masih sangat TCL dengan kultur priayi sebagai sosok ideal. Guru pun termasuk kategori kelas sosial priayi yang secara substantif pandangan dunianya pro kemapanan dan anti perubahan, apalagi perubahan revolusioner. Dengan kata lain, terdapat kontradiksi, pada satu sisi menghendaki adanya outcome pendidikan yang menjadi agen perubahan sosial, tetapi pada sisi lain proses pendidikannya menggunakan pedagogi yang berparadigma positivistik.
Model pendidikan berparadigma positivistik itu mengalami penyuburan pada era Orde Baru yang sangat gandrung dengan kemapanan dan pemeliharaan serta pelestarian terhadap pengetahuan yang sudah ada sebagai konsekuensi atas pemosisian developmentalism sebagai panglima. Pemerintah Orde Baru sangat curiga dan alergi terhadap berbagai gerakan revolusioner. Pada periode sejarah era Orde Baru produksi pengetahuan yang mengandung gagasan perubahan sosial secara revolusioner entah dari kubu pemikiran kiri maupun kanan sangat dicurigai dengan terus melakukan pengawasan menggunakan skema ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Pada periode ini praktis pemikiran kiri mengalami surut secara cukup signifikan, sama sekali tidak menjadi tema dan topik dalam pembahasan dan diskusi pada berbagai forum akademik, apalagi dalam forum-forum publik.
Situasi yang sama juga terasa pada ilmu pendidikan. Pada era Orde Baru, ilmu pendidikan lebih cenderung menyukai pada pendekatan konsensus, anti konflik, dan pendekatan sistem. Sudah sekian lama orientasi ilmu pendidikan di Indonesia lebih didasari oleh pandangan struktural fungsional Parsonian. Ketika melihat sekolah misalnya, senantiasa dilihat dari perpektif sistem, yang terdiri dari komponen-komponen yang saling tergantung satu sama lain. Jika salah satu komponen itu kurang berfungsi, taruhlah misalnya kurikulum, maka sekolah sebagai sebuah sistem akan terganggu.
Dari hasil pengkajian terhadap kurikulum pelajaran sosiologi pada jenjang SMA, selama ini pembekalan teorinya lebih ditekankan pada perspektif fungsionalisme. Boleh jadi ini merupakan pengaruh pemerintah Orde Baru yang memang lebih menekankan pentingnya konsensus, sehingga teori fungsionalisme struktural Parsonian begitu mendominasi dalam pelajaran sosiologi. Salah satu argumen penekanan pada perspektif fungsionalisme adalah bahwa pada prinsipnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senantiasa menuju pada harmoni, keteraturan, dan senantiasa berada dalam hubungan ketersalingan. Konflik hanya dipandang sebagai sarana dan proses menuju masyarakat yang penuh keteraturan dan keseimbangan.
Penyebab utama mengapa ilmu pendidikan di Indonesia mengalami ketandusan habitat epistimologis, adalah: Pertama, karena selama ini ilmu pendidikan di Indonesia kurang terbuka pada disiplin lain, sehingga terksesan tertutup dan bahkan direduksi hanya pada ilmu mengajar di lingkungan sekolahan. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Bukhori bahwa ilmu pendidikan telah mati. Bukhori (1994), salah seorang pemikir dari sedikit pemikir pedagogi di Indonesia, mengingatkan adanya lonceng kematian ilmu pendidikan di Indonesia. Salah satu sebab utamanya adalah bahwa ilmu pendidikan di Indonesia berkembang secara parsial, dan bahkan cenderung diredusir sebagai ilmu tentang mengajar yang berkutat di sekolahan. Ilmu pendidikan tidak sensitif terhadap isu-isu strategis berskala global, sehingga ketika melihat persoalan pendidikan senantiasa bersifat sepotong-sepotong, kurang wholistic.
Berbagai aktivitas akademik di kalangan ilmuwan pendidikan di Indonesia lebih banyak mengangkat persoalan-persoalan efektivitas pembelajaran. Tema-tema yang diangkat pun lebih banyak di seputar isu desain pembelajaran di lingkungan sekolahan, itu pun banyak di lingkungan pendidikan formal. Ilmu pendidikan sibuk pada bagaimana menyelesaikan persoalan efektivitas pembelajaran di sekolahan atau pendidikan formal pada umumnya. Yang dipersoalkan adalah bagaimana memindahkan pengetahuan dari sumber belajar, entah itu guru, media, atau sumber belajar lain ditransmisikan pada pebelajar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Demikian pula pada evaluasi pembelajaran juga sebatas tentang masalah teknis seperti alat ukur untuk testing memanggil kembali materi pelajaran yang telah disampaikan pada pebelajar. Tidak pernah mempersoalkan masalah evaluasi sebagai problem sosio-kultural, dan bahkan persoalan relasi kuasa.
Jarang sekali aktivitas akademik di kalangan ilmu pendidikan di Indonesia melakukan kajian reflektif atas berbagai pemikiran filosofis baik gagasan filosof Barat maupun Timur, terlebih lagi terhadap pemikiran para pedagog Indonesia sendiri. Sebegitu jauh belum ada kajian mendalam terhadap pemikiran Ki Hadjar Dewantara atau Driyarkara misalnya yang melacak dari akar filsafat, kontek sosio kultural, dan konteks politiknya. Kebanyakan hanya mengkaji pemikiran yang sudah ada dengan berbagai tafsir yang intinya lebih mereproduksi pemikiran Ki Hadjar Dewantara atau pun Driyarkara yang sudah ada. Tidak ada pengkajian yang sifatnya dialogis dan debatable, yang lebih banyak dilakukan adalah bagaimana diterapkan dalam praktik pendidikan di sekolahan.
Beberapa persoalan di seputar ilmu pendidikan di Indonesia dapat dikatakan mengalami ketandusan habitat epistimologis, sehingga mengalami stagnasi dalam arti kurang berkembang ke arah penemuan berbagai teori baru. Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan ketandusan epistimologi itu, yaitu yaitu tereduksi hanya berkutat pada persoalan pendidikan di sekolahan, terjadi involusi sebagai implikasi kegiatan akademik mengikuti logika administratif, dan ketidaktertarikan pada paradigma kritis karena berkelindan dengan sejarah perkembangan sistem sosial dan politik. Di samping itu, ketandusan habitat epistimologis itu kian terasa karena ilmu pendidikan di Indonesia selama ini lebih banyak menggunakan paradigma positivistik.
Oleh karena itu, sebagai upaya penyuburan habitat epistimologis maka perlu sosiologi berparadigma kritis sebagai daya dorong ilmu pendidikan di Indonesia dengan pendekatan pedagogi kritis. Sedangkan upaya lain adalah memperhatikan asumsi-asumsi pendidikan bermakna yang di dalamnya juga mengandung pedagogi kritis. Dengan pedagogi kritis, bukan saja memiliki manfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan, tetapi sekaligus juga menghasilkan outcome berkesadaran kritis, yang peka terhadap ketidakadilan sosial, mampu menjadi subjek aktif, dan pencipta peradaban baru. Melalui pedagogi kritis juga akan melahirkan generasi yang dapat menjadi agen perubahan sosial emansipatoris dan partisipatoris.