Pembelajaran Bahasa Inggris di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Papua New Guinea belum bisa berjalan optimal. Hal ini terkendala oleh kurangnya guru, usia siswa yang tidak sesuai dengan kejenjangan, keterbatasan sarana pembelajaran dan lambatnya upaya perbaikan berbagai fasilitas di daerah 3T. Karenanya perlu dilakukan Rekonseptualisasi pembelajaran dengan mengkonstruksi kendala menjadi modalitas untuk membuka ruang peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan, , ungkap Martha Betaubun dalam ujian terbuka Doktoral dalam Disertasi yang berjudul “Rekonseptualisasi Pembelajaran Bahasa Inggris di Wilayah Pebatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia-Papua New Guinea”
Penelitian yang dilakukan Martha ini dilakukan dengan Pendekatan Grounded Theory. Martha terjun langsung ke lapangan guna mendapatkan data melalui wawancara mendalam, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Lebih lanjut, Dosen Universitas Musamus Merauke ini menjelaskan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris di SMP Yanggadur, SMP Negeri 11 Sota dan SMK Negeri 1 Sota belum berjalan dengan baik. Hal ini terungkap bahwa persoalan pembelajaran bahasa Inggris yang sedang tersaji saat ini tidak dapat dipisahkan dari problematika yang lebih mendesak, yaitu kontinyuitas penyelenggaraan pendidikan.
Martha menekankan bahwa kekurangan guru, siswa yang tidak masuk sekolah, dan kebiasaan siswa berhenti sekolah selama beberapa tahun, merupakan kenyataan yang harus diterima dalam satu hingga dua dekade kedepan dan memicu persoalan-persoalan berikutnya termasuk diskontinyuitas pembelajaran. Memperhatikan hal itu, maka rekonseptualisasi pembelajaran Bahasa Inggris mengalami pergeseran, dari merancang konsep baru pembelajaran dalam pengertian berisi konsepsi-konsepsi untuk menyempurnakan pembelajaran yang saat ini diterapkan menjadi rancangan pengelolaan pembelajaran agar dapat berjalan ditengah daya dukung yang terbatas, tambah Martha lagi. (ant)