Pendidikan bagi disabilitas dikatakan berhasil jika dapat mengubah peserta didik memiliki kematangan potensi diri untuk diimplementasikan dalam kehidupan, sebagai warga masyarakat yang layak. Hasil pendidikan ini utamanya untuk mengurangi ketergantungan kepada orang lain bahkan dapat mencapai kemandirian hidup untuk menolong diri sendiri dan atau untuk ketercukupan kebutuhan ekonomi. Salah satunya variasi media yang dapat memudahkan belajar setiap disabilitas sesuai kebutuhan belajar dan kondisisinya. Salah satu media yaitu alat peraga edukatif (APE). APE untuk siswa berkebutuhan khusus berperan penting dalam merangsang pikiran dan motivasi siswa sehingga mampu mendorong terjadinya proses belajar. Hal ini menjadi perhatian dosen prodi Pendidikan Luar Biasa (PLB) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi UNY Dr. Ishartiwi, Ernisa Purwandari, M.Pd., Wening Prabawati, M.Pd. dan Adi Suseno, M.S. yang membantu salah satu produsen alat peraga edukatif.
Menurut Ishartiwi mereka menggandeng Yayasan Penyandang Cacat Mandiri di Bantul. “Perusahaan ini memproduksi APE bagi siswa PAUD dan SD” katanya, Senin (02/5). Contoh dari produknya yaitu menara balok, kotak huruf, berbagai jenis puzzle, dan jam kayu. Produksi alat peraga memperhatikan kualitas produk seperti ramah lingkungan, ramah kesehatan, dan peduli bahaya. Usaha ini memberdayakan pegawai karyawan disabilitas, yaitu hambatan pendengaran dan keterbatasan fisik. Optimalisasi disabilitas sebagai karyawan ini tentu saja selain mengoptimalkan kemampuan mereka juga akan sangat membantu perekonomian.
Ernisa Purwandari mengatakan potensi sentra produksi APE ini memiliki kualitas layak untuk pembelajaran di sekolah. “Usaha ini sempat berhenti memproduksi APE karena berkurangnya permintaan dari pelanggan dan banyaknya industri-industri kecil yang memproduksi APE serupa yang lebih ekonomis dan pemasarannya melalui perangkat digital” papar Ernisa. Upaya yang telah dilakukan oleh Yayasan selama ini adalah dengan mencoba bekerja sama dengan startup yang harapannya dapat meningkatkan komersialisasi produk. Upaya ini ternyata mengalami kendala karena tidak adanya inovasi pengembangan APE dan terbatasnya pelatihan Sumber Daya Manusia yang mengelola startup tersebut.
Diungkapkan Adi Suseno bahwa kolaborasi ini telah menghasilkan 30 prototype dan ada 20 prototype yang telah diproduksi dan disesuaikan dengan karakteristik siswa disabilitas. Pengembangan APE ini dengan berbagai pertimbangan, karena prodi PLB mengembangkan keilmuan pembelajaran untuk disabilitas, termasuk media pembelajaran sekaligus sebagai bentuk implementasi Merdeka Belajar-Kampus medeka (MBKM). Kegiatan ini juga mengakomudasi dari hasil kegiatan pengabadian dosen PLB di sekolah luar biasa yang menyatakan sangat memerlukan alat/media belajar yang sesuai dengan kondisi disabilitas. Khusus kegiatan MBKM difokuskan pada mahasiswa dan dosen mendapatkan pengalaman bekerja di luar kampus, praktisi mengajar di kampus dan kelas kolaborasi.
Kolaborasi ini berhasil meraih dana Matching Fund Kedaireka Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI. Kepala Produksi Yayasan Penyandang Cacat Mandiri Anton Gunawan memaparkan kerjasama ini memberikan manfaat bagi usaha yang dikelolanya karena dapat menimba pengalaman dan memperoleh desain-desain baru dari mahasiswa yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
Penulis: Dedy
Editor: Sudaryono