Enam Belas Jam Berpuasa dan Meneliti di Eropa

1
min read
A- A+
read

Kulakan makanan halal di Inggris

Athi Nur Auliati Rahmah adalah alumni FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, kini melanjutkan studi di Inggris sebagai mahasiswa magister Nanoscience and Functional Nanomaterials di Bristol Centre of Functional Nanomaterials (BCFN), School of Physics, Faculty of Science, University of Bristol dengan beasiswa Indonesia Maju Puspresnas-Kemendikbudristek RI.

Ramadhan di Bristol, Inggris bertepatan dengan musim semi sehingga durasi siang yang lebih lama. Athi bercerita jika awal-awal Ramadhan subuh sekitar pukul 5 pagi dan maghrib sekitar pukul 7 malam. Di pertengahan, subuh semakin maju menjadi sekitar pukul 4 pagi dan maghrib semakin mundur sekitar pukul 8 malam. Lama puasa 16 jam tidak mengendorkan semangatnya untuk terus belajar di tiga laboratorium. Sebagai mahasiswa nanosains, saat puasa, ia bertepatan dengan mengerjakan proyek tentang nanomaterial untuk sistem pendingin panel surya. Athi kerap bolak-balik ke Materials Lab di School of Physics, Thermofluids Lab di School of Engineering, dan Chemistry Laboratory di School of Chemistry. “Capek banget, ngampus jam 9 pulang jam 5 dan harus selalu fokus” ucap Athi, Kamis (13/4). Saat puasa, biasanya jam istirahat makan siang digunakan untuk sholat di mushola kampus sebelum kembali ke lab.

Warga Sumenep Madura itu bercerita bahwa sebelum puasa ia sudah mempersiapkan bahan-bahan makanan seperti beras, bumbu, daging halal, makanan beku, dan buah-buahan. “Beli daging halal lumayan jauh, harus ke supermarket yang besar dan tidak di pusat kota, jadi saya akalin dengan beli frozen food sosis halal, kebab halal, dan samosa halal yang tinggal dimicrowave, goreng, atau oven untuk sahur dan buka” cerita Athi. “Sebenernya pengen banget teraweh di kampus atau mesjid, tapi lokasinya lumayan jauh jadi harus naik bus. Isya tuh jam setengah 9-10 malam, berarti selesai terawehnya tengah malam dong, agak ngeri juga kalau ngebus dan jalan kaki sendirian” jelas Athi yang memilih untuk tarawih di kostnya.

Sebagai minoritas, Athi merasa banyak dukungan dari teman-teman internasionalnya. Ada yang mengucapkan selamat puasa pada jam sahur 3 dini hari saat puasa pertama; teman satu kosnya berbagi jus, makanan, dan buah untuk Athi berbuka, teman kostnya yang Chinese bahkan sampai tahu cara menghitung jam buka puasa dan menyemangatinya, teman British yang merupakan tim risetnya juga sangat perhatian “are you okay?” (apakah kamu baik-baik saja? biasa ditanyakan saat ia kelihatan letih), “please, sit!” (silakan duduk, biasa dipersilahkan saat melakukan eksperimen di lab), “you can do it!” (ayo kamu bisa!, biasa disemangati saat naik-turun tangga), dan “you are very welcome to go home, it’s fine” (kamu tidak apa-apa pulang, biasa dipersilahkan pulang lebih awal saat di lab).

Secara keseluruhan, Athi bersyukur bisa mendapat pengalaman baru berpuasa di Eropa dan merasa bangga bisa menjadi representasi saintis muslimah yang tetap menjalankan kewajibannya untuk berpuasa dan belajar.

Penulis: Athi

Editor: Dedy

IKU 2. Mahasiswa Mendapat Pengalaman di Luar Kampus