Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) gelar Seminar Nasional dengan tema “Arah Baru Pendidikan Sejarah dan Kepemimpinan Nasional” pada hari Sabtu (12/10/2019) di Ruang Aula Gedung IsDB FIS lantai 4. Adapun pembicara dalm seminar tersebut antara lain Dr. Sardiman AM., M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta), Prof. Dr. Nana Supriatna, M.Ed. (Universitas Pendidikan Indonesia), dan Agus Tony Widodo, S.Pd (Guru Sejarah SMA NEGERI 1 Bantul). Seminar dihadiri ratusan peserta baik dosen, mahasiswa, dan guru.
Dalam presentasinya, Sardiman menekankan tentang pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai pendidikan moral mengandung pengertian penanaman nilai-nilai moral dan pembentukan (serta penguatan) jati diri yang akan membedakan dengan kedirian bangsa lain. Pada Kurikulum 2013, Sejarah Indonesia diarahkan untuk penanaman rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan. Sementara itu pelajaran sejarah adalah untuk mengembangkan perspektif keilmuan, persiapan melanjutkan ke jenjang berikut bidang sejarah.
“Terkait dengan KI-KD di dalam Sejarah Indonesia telah dirumuskan nilai-nilai yang menggambarkan karakter ke-Indonesiaan yaitu keimanan, meningkatkan rasa syukur, toleransi, peduli dan tanggung jawab terhadap karya budaya bangsa/lebih mencintai produk bangsa sendiri, rela berkorban dan cinta damai, responsif-proaktif dalam menyikapi masalah sosial dan lingkungan, jujur, gigih/kerja keras, kerja sama, persatuan dan kesatuan, harga diri/jati diri, semangat kebangsaan dan cinta tanah air” jelasnya.
Berkaitan dengan kurikulum, Nana Supriatna, membeberkan perbandingan antara arah lama dan arah baru Pendidikan Sejarah. Pada arah lama, kurikulum Pendidikan Sejarah sentralistis, kurikulum pendidikan sarat dengan muatan politis dan interpretasi penguasa, sejarah politik dalam sejarah nasional sangat dominan, pembelajaran sejarah lebih banyak berisi muatan fakta-fakta, kurikulum Pendidikan Sejarah nasional lebih banyak berisi sejarah formal peran elite, sejarah kolonial dilihat secara hitam putih misalnya dalam aspek kepahlawanan, orientasi pembelajaran sejarah adalah untuk memahami masa lalu, penguatan integrasi bangsa kerap mengabaikan penguatan kemajemukan, dan materi sejarah disasajikan dalam garis waktu linier.
Sementara itu, lanjut Nana Supriatna, pada arah baru Pendidikan Sejarah, kurikulum pendidikan sejarah masih sentralistis dengan diberi ruang bagi muatan lokal (Sejarah Lokal dan Peminatan), muatan politis masih nampak dan diberi ruang untuk adanya beragam interpretasi, sejarah politik masih nampak tetapi untuk menambah tema-tema tertentu diberi ruang, fakta-fakta penting dipahami dan sama pentingnya mengembangkan kemampuan beripikir kritis dan pengambilan keputusan, peran elite dalam politik kebangsaan penting tetapi tidak kalah penting juga peran wong cilik dalam kemasan sejarah sosial, setiap orang termasuk peserta didik dapat memerankan peran historisnya dalam kehidupan sehari-hari, memahami masa lalu adalah penting untuk memahami masa kini dan masa yang akan datang, kemajemukan diwadahi dalam penguatan sejarah lokal dan dan isu-isu kontemporer, dan materi Sejarah bisa ditempatkan dalam konteks kekinian sesuai dengan orientasi untuk kepentingan peserta didik.
Pada kesempatan yang sama, Agus Tony Widodo mepresentasikan makalah dengan judul ”Membangun Paradigma, Logika dan Nalar Sejarah dalam Perspektif Dinamika Kepemimpinan Indonesia Masa Depan”. Ia menjelaskan bahwa pembangunan bangsa dan negara tentu tidak terlepas dari faktor kepemimpinan (leadership) dan pemimpin (leader). Dua unsur ini menjadi penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebab berkaitan langsung dengan arah serta tujuan pembangunan bangsa seutuhnya. “Kepemimpinan yang berkaitan dengan kemampuan managerial, mengorganisasi dan mengarahkan pembangunan kepada kesejahteraan bersama (common good) harus ditopang oleh karakter seorang pemimpin yang berintegritas dan memiliki keberpihakan kepada rakyat yang dipimpinya” tuturnya (Eko)