UNY berkomitmen melestarikan kesenian tradisional sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 362/M/2019 Tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2019. Salah satu prosesnya adalah melalui penyelenggaraan berbagai kesenian tradisional seperti ketoprak atau festival dalang cilik. Selain itu UNY juga rajin menyelenggarakan pentas wayang kulit sebagai upaya nguri-uri kebudayaan Jawa yang adiluhung. Seperti yang dipentaskan di Performance Hall Fakultas Bahasa dan Seni, Senin (23/5) malam berupa pementasan wayang madya ratri dalam rangka dies natalis ke-58 dengan dalang Ki Purbo Asmoro, M.Hum dari ISI Surakarta.
Rektor UNY Prof. Sumaryanto mengajak para tamu yang hadir secara luring atau daring untuk dapat menikmati sajian wayang kulit yang merupakan warisan budaya leluhur. “Dengan sinergi kita bersama harapannya UNY menjadi tenar lembaganya dan sejahtera warganya menyongsong usianya yang ke 58 tahun” kata Sumaryanto. Pagelaran wayang kulit dimulai dengan penyerahan wayang Rama Bargawa pada Ki Purbo Asmoro oleh Rektor didampingi Ketua Senat FBS Prof. Suminto A. Sayuti dan Dekan FBS Dr. Sri Harti Widyastuti. Rama Bargawa adalah salah satu tokoh wayang lintas batas karena keberadaan tokoh ini ada di dua epos besar, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Pertapa yang sangat sakti ini bertekad menjungkirbalikkan tata nilai dan anggapan masyarakat kala itu yang terlalu mengagung-agungkan kasta kesatria. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk berkelana mencari perkara atau pembenaran sehingga tak ada satupun satria yang tak pernah diuji kesaktiannya oleh brahmana yang juga berjuluk Ramaparasu ini.
Wayang madya ratri ini mengambil judul ‘Sang Dwija Agung’ yang mengisahkan perjalanan Bargawa. Perjalanan hidupnya selalu diwarnai konflik. Setelah lama hatinya dipenuhi dendam dan tangannya berlumuran darah para ksatria sebagai korban keberingasannya, suatu saat ia mendapat pukulan berat dari seorang berjiwa ksatria sejati yaitu Raden Rama. Cara pandangnya pun terhadap kehidupan berubah drastis. Bargawa menyadari bahwa makna hidup yang hakiki harus dipenuhi dengan pengabdian dan darma. Ia juga menyadari bahwa seseorang akan disegani bukan karena apa yang diperolehnya melainkan karena hal-hal yang mampu berkontribusi bagi sesama. Bargawa pun menjadi seorang guru besar (Sang Dwija Agung) yang kharismatik. Ilmunya telah menjadikan Bisma yang agung dan Basukarna yang dahsyat. Bargawa adalah guru kehidupan sejati.
Pementasan wayang kulit ini dihadiri oleh Rektor UNY beserta jajarannya, para dekan fakultas serta pimpinan lembaga. Turut hadir pula sejumlah panitia dies natalis UNY ke-58 dari Fakultas Bahasa dan Seni sebagai tuan rumah. Dengan pagelaran wayang ini civitas akademika UNY dapat ikut serta berperan aktif dalam melestarikan kesenian tradisional, sekaligus mendidik generasi mudanya agar menyukai warisan budaya adiluhung ini. Hal ini merupakan salah satu upaya UNY dalam sustainable development goals pada bidang pendidikan dan warisan budaya. (Dedy)