Musik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia dan telah disadari oleh seluruh bangsa di dunia. Di Indonesia sendiri, selain menjadi media hiburan, musik juga menjadi media pendidikan dimana diimplementasikan dengan tahapan tertentu. Dalam penyajiannya, disamping melibatkan aspek kognitif juga harus melibatkan aspek psikometrik dan perasaan. Musik harus dirasakan, ditampilkan secara ekspresif sehingga pendengar merasa terharu dan terbawa perasaan. Selain itu, pesan lagu dapat tersampaikan dengan baik. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembentukan kebiasaan positif bagi kepribadian peserta didik seperti kedisiplinan, ketekunan, dan kerjasama. Sayangnya, di berbagai daerah di Indonesia, proses pembelajaran musik belum sesuai dengan prinsip tersebut hingga diperlukanlah suatu inovasi untuk mengembangkan musikalitas dan rasa estetis pada peserta didik. Demikian dikatakan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Seni Musik Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta Prof. Dr. Kun Setyaning Astuti, M. Pd.
Wanita kelahiran Temanggung tersebut mengatakan bahwa pemberian materi pada pembelajaran seni musik yang menekankan pada teori akan menghilangkan hakekat pembelajaran musik. Apalagi di Indonesia sendiri, proses pembelajarannya juga sering mengikuti proses pembelajaran yang dikembangkan pada ilmu sosial dan sains sehingga substansi dari musik menjadi berkurang. Elemen musikal sebenarnya akan lebih mudah direspon peserta didik dengan mempraktikkannya. “Substansi musik adalah pelajaran yang bersifat praktik sehingga cukup sulit jika diteorikan. Proses pembelajaran yang sedemikian rupa juga membuat peserta didik merasa kesulitan,” ujarnya. Ia juga memberikan contoh tentang elemen modulasi yang mudah dijelaskan dengan dipraktikkan secara langsung dibandingkan membahas tentang teorinya.
Menurut Kun Setyaning Astuti, model dan metode pembelajaran musik yang diseragamkan dengan pelajaran di bidang lain membuat pengembangan belajar tidak benar-benar mengarah ke karakteristik musik. Hal ini disebabkan karena proses pembelajaran bidang lain lebih menekankan pada daya pikir kritis dari aspek kognitif, sedangkan pembelajaran musik melibatkan aspek afektif dan psikomotor. Pengembangan model pembelajaran juga harus memperhatikan sikap empati, peduli, dan kerjasama para peserta didik.
Warga Purwomartani Kalasan Sleman tersebut mencontohkan, di Belanda, pembelajaran dilakukan dengan pendekatan student centered dan dirancang secara sistematis dengan memasukkan nilai-nilai kerjasama pada proses penguasaan substansi musik. Pada setiap proses pembelajaran, selalu ada sesi bagi peserta didik untuk mengerjakan dan menampilkan hasil kerja kelompoknya serta refleksi untuk mengetahui progres peserta didik. Metode pembelajaran ini lebih menekankan pada praktiknya dibanding teori sehingga peserta didik dapat merasakan elemen musikal. Sedangkan di Perancis, disediakan guru khusus dan materi yang akan diajarkan diringkas dalam empat kata kerja: bernyanyi, mendengarkan, bermain, dan menciptakan. Peserta didik dilatih untuk membunyikan nada-nada sederhana. Bahkan di usia 5-7 tahun mereka dapat membuat lagu dengan didampingi instruktur sehingga skill terasah sejak dini.
Pembelajaran seni musik di Indonesia, guru masih mendominasi dengan banyak menggunakan metode ceramah dan menekankan pada teori. “Guru akan menulis bahan pelajaran di papan tulis kemudian siswa mencatat. Oleh karena itu, siswa cenderung hanya menghafalkan materi yang membuat mereka menjadi pasif,” jelas Kun. Hal yang membedakan Indonesia dengan kedua negara tersebut terletak pada penekanan fungsi dimana lagu Indonesia menanamkan rasa nasionalisme atau bersifat religius untuk menanamkan pewarisan nilai-nilai moral.
Doktor bidang Ilmu Pendidikan Seni Musik tersebut memaparkan inovasi-inovasi yang dapat dilakukan untuk perkembangan pembelajaran seni musik di Indonesia. Pengembangan atmosfer musik di kelas sesuai topik melalui elemen-elemennya seperti ritme, nada, melodi, harmoni, tangga nada, modulasi, dan lainnya menjadi suatu langkah penting. Kemudian modifikasi fokus pembelajaran dengan mengembangkan substansi elemen musik yang dipelajari. Misalnya pada materi teknik pernafasan dimana tidak fokus pada diskusi semata, melainkan lebih pada praktik pernafasan diafragma. Pengembangan psikomotorik Simpon’s di bidang musik terutama pada domain psikomotor dan afektif juga sangat penting diterapkan.
Untuk mencapai hasil belajar yang otentik, model pembelajaran musik yang memberikan pengalaman konkrit dan difokuskan pada pengembangan rasa estetis peserta didik harus dikembangkan. Model pembelajaran musik dengan proses evaluasi dua arah yakni guru dan peserta didik mampu memberikan pemahaman yang tepat tentang hasil belajar serta dapat ditransfer dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis: Lia Ika Agustin & Vicky Sa’adah
Editor: Dedy