ILMU PENDIDIKAN DAN PARADIGMA PENDIDIKAN INKLUSIF YANG BERKUALITAS

Konsep Pendidikan

Ilmu pendidikan dapat dilihat dalam perspektif teori dan praktik. Dalam perspektif teori, kata pendidikan diambil dari bahasa Yunani 'paedagogiek' yang berarti ilmu menuntun anak, dan 'paedagogia' yang berarti pergaulan dengan anak-anak, sedangkan orang yang menuntun anak disebut 'paedagog'. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai 'educare' yang berarti mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa pada waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai 'Erziehung' yang semakna dengan 'educare', yakni membangkitkan kekuatan terpendam, atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Inggris istilah pendidikan dikenal sebagai 'education' (kata benda), dan 'educate' (kata kerja) yang berarti mendidik.

Dalam Kamus Bahasa Inggris, Oxford Learner's Pocket Dictionary, kata pendidikan diartikan sebagai pelatihan dan pembelajaran (education is training and instruction), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui proses pengajaran dan pelatihan. Orang Jawa mengenal istilah 'gulowentah' yang berarti pengolahan, penjagaan, dan pengasuhan baik fisik maupun kejiwaan anak.

Para ahli pendidikan lain, seperti Crow & Crow (Rohman, 2009) berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok dagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.

Di dalam 'Dictionary of Education' dengan jelas dibedakan pendidikan dalam dua hal (1) Pedagogy is the art, practice of profession of teaching, dan (2) pedagogy is systematized learning or instruction concerning principles and methods and teaching of student control and guidance. Dari definisi ini pendidikan dapat dimaknai sebagai seni mengajar dan pengawasan serta pembimbingan.

John Dewey (Rohman, 2009) mengartikan pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental baik secara intelektual maupun emosional kearah alam dan sesama manusia. Sementara J.J. Rousseau (Rohman, 2009), menjelaskan bahwa pendidikan sebagai usaha memberikan bekal yang tidak ada pada masa kanak-kanak akan tetapi dibutuhkan pada masa dewasa. Kneller, dalam Hadisusanto, dkk (1995), melihat pendidikan dalam tiga cakupan. Dalam arti luas, pendidikan adalah menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan pikiran (mind), watak (character), dan kemampuan fisik (physical) individu. Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses di mana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga lain) dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan & keterampilan dari generasi ke generasi. Sedang dalam arti hasil, pendidikan adalah apa yang boleh kita peroleh melalui belajar (pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan). Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai usaha menuntun segenap kekuatan kodrat yang ada pada anak baik sebagai individu maupun anggota masyarakat agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, demikian juga Driyarkara, menyebut pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia muda (Rohman, 2009).

Secara umum menurut Good dalam Rohman (2009) memahami ilmu pendidikan dalam dua pengertian. Pengertian pertama, ilmu pendidikan dipahami sebagai seni mendidik (the art of educating) atau seni .mengajar (the art of teaching). Pengertian semacam ini berarti menganggap ilmu pendidikan berisi sederetan kiat-kiat jitu dalam mendidik yang efektif. Pengertian kedua, ilmu pendidikan difahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari fenomena pendidikan dengan prinsip-prinsip ilmiah (science of education).

Dari beberapa batasan tentang pendidikan, secara singkat saya ingin menyimpulkan bahwa : (1) pendidikan merupakan aktivitas interaktif  individu dengan individu yang lain, individu dengan kelompok, individu dengan masyarakat, dan individu dengan lingkungan, baik lingkungan alam, sosial, ekonomi, politik maupun psikologi dan budaya (2) pendidikan adalah proses pemberian ruang atau lingkungan bagi individu untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya, (3) pendidikan adalah transformasi nilai yang diyakini kebenarannya sebagai dasar aktivitas, (4) pendidikan mempunyai tujuan mulia ialah membantu proses kematangan dan kedewasaan anak baik secara fisik, psikologis sosial, emosional, moral dan spiritual anak, dan (5) pendidikan adalah proses belajar sepanjang hayat yang tidak mengenal waktu dan tempat.

 

Praktik Pendidikan dan Dehumanisasi Individu

Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat fundamental, universal dan bahkan fenomenal. Disebut fundamental karena kedudukan pendidikan sebagai salah satu instrumen utama dan penting dalam meningkatkan segenap potensi peserta didik menjadi sosok kekuatan sumberdaya manusia yang berkualitas bagi suatu bangsa. Disebut bersifat universal karena proses pendidikan telah dilakukan sejak manusia ada, dan sampai kapanpun pendidikan akan tetap ada. Ada masa yang disebut sebagai revolusi orangtua (pendidikan bergantung pada orangtua), ada revolusi guru (pendidikan bergantung peran guru), ada revolusi buku (pendidikan bergantung pada buku), dan akhir-akhir ini kita mengenal revolusi teknologi informasi (pendidikan hampir sebagian besar diambil alih oleh peran teknologi informasi khususnya teknologi dunia maya). Jika praktik pendidikan yang telah memasuki revolusi teknologi informasi ini tidak dikelola secara baik, maka nilai-nilai humanistis pendidikan, dapat terabaikan, yang berarti akan semakin terjadi dehumanisasi dalam pendidikan.

Disebut bersifat fenomenal, karena pendidikan selalu mengalami perubahan yang sangat fenomenal, mulai dari orientasi, strategi, pendekatan dan manajemen pendidikan, yang terus berkembang dinamis dari waktu ke waktu bahkan antar masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Di sinilah letaknya mengapa kemudian praktik pendidikan banyak dikritik oleh para ahli. Salah satunya adalah Paulo Freire. Menurut Freire (2000), kegiatan pendidikan merupakan kegiatan memahami makna atas realitas yang dipelajari. Kegiatan tersebut menuntut sikap kritis dari para pelaku yaitu peserta didik dan pendidik. Dengan bantuan pembimbingan dan pendampingan oleh pendidik, peserta didik dituntut secara aktif memahami makna dari realitas dunia untuk perbaikan kehidupannya.

Menurut Freire (2000) terdapat tiga unsur dasar di dalam proses pendidikan, yaitu pendidik, subyek didik, dan realitas dunia. Pendidik dan peserta didik adalah subyek yang sadar (cognitive), sedangkan realitas dunia adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Maka pendidikan menuntut kesadaran dari peserta didik untuk terlibat secara penuh dalam memahami realitas dunia, tidak sekedar mengumpulkan pengetahuan dan menghafalkannya, yang diilustrasikan sebagai pembelajaran model bank (banking concept of learning).

Pendidikan model bank banyak ditemukan di negara-negara berkembang terutama sasaran utamanya adalah kelompok masyarakat marginal, seperti mereka yang tergolong masyarakat terasing dan terpencil, kelompok miskin, buruh kasar, pengemis dll. Mereka dididik agar bisa cakap dan terampil untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat yang lebih luas. Praktik pendidikan pada model ini, peserta didik hanya dianggap sebagai penerima dalam transfer pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan pengalaman dalam rangka mengubah nasibnya. Banyak praktik pendidikan di Indonesia untuk kaum marjinal, seperti kejar Paket, Kursus, Buta Aksara, pendidikan keluarga berencana, kesadaran lingkungan, dll, namun dalam realitasnya yang terjadi adalah distorsi-distorsi. Meskipun mereka telah mengikuti berbagai paket program kegiatan pendidikan, mereka tetap saja terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat modern, nilai tawar mereka tetap rendah. Paulo Freire lebih lanjut menggambarkan bahwa pendidikan sebagai proses 'dehumanisasi', bukan 'concientization atau penyadaran. Untuk menghindari praktik-praktik pendidikan yang tidak diharapkan dan kurang sesuai dari cita-cita masyarakat, maka pendidikan perlu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ilmiah pendidikan yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan.

Kebiasaan mendidik yang tidak pernah berubah, mulai dari materi, metode, media dan bahkan evaluasi meskipun menghadapi peserta didik yang berbeda, waktu yang berbeda, tempat yang berbeda, menyebabkan praktik pendidikan lebih cenderung ritualistic dan formalistic tanpa memperhatikan kondisi keunikan masing-masing peserta didik serta perubahan lingkungan dan tuntutan perkembangan yang terus menerus terjadi. Praktik pendidikan semacam ini tidak akan pernah efektif dan bahkan bisa merugikan peserta didik, yang oleh Freire disebut sebagai praktek dehumanisasi, yakni suatu praktik mendidik yang distorsif yang mencederai praktik mendidik itu sendiri. Praktik semacam ini oleh para ahli juga sering disebut sebagai praktik 'hominisasi' atau 'domistikasi', sehingga hasilnya bersifat kontraproduktif.

 

Paradigma Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi semua anak (education for all). Dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkebutuhan Khusus 1994 disebutkan bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.” (UNESCO, 1994). Di Indonesia, isue pendidikan inklusi dimulai dari dua fakta utama perbedaan jarak antara ketentuan yang seharusnya dipenuhi bagi pendidikan ABK dan realitas lapangan yang tidak/kurang menggembirakan. Kita telah punya Undang-Undang, Keputusan Menteri dan peraturan-peraturan lain yang menjamin tersedianya pendidikan bagi ABK, namun dalam kenyataannya masih banyak ABK tidak terlayani dalam institusi-institusi pendidikan, sehingga pendidikan inklusi sebagai salah satu alternatif yang tepat dipilih sebagai layanan pendidikan bagi ABK, baik secara kuantitas maupun kualitas (Karsidi dkk, 2013).

Pendidikan inklusif yang pada awalnya dibangun untuk memenuhi hak bagi setiap anak tanpa membedakan warna kulit, gender, budaya, status sosial ekonomi, bahasa, agama dan disabilitas, dalam perkembangannya di Indonesia banyak diadopsi untuk keperluan anak dengan kebutuhan khusus (ABK). Adopsi ini penting karena masyarakat Indonesia lebih dari satu abad telah mengenal sistem layanan pendidikan bagi ABK hanya di sekolah-sekolah khusus (SLB). Pelibatan ABK dalam sistem pendidikan di sekolah reguler, menjadi sesuatu yang baru, dan karenanya sangat wajar jika dalam praktik di lapangan, masih banyak masalah dan diperdebatkan.

Memang, masih ada perdebatan praktik pendidikan inklusif antara yang pro dan kontra. Namun, secara filosofis praktik pendidikan inklusif, tidak terbantahkan sangat penting dan perlu jika dilihat dari sudut pandang hak mendapatkan pendidikan yang bermutu bagi setiap anak. Inilah paradigma ’’baru’’ pendidikan ABK. Suatu cara pandang bahwa ABK harus mendapatkan layanan yang sama dan sepadan mutunya dengan mereka yang normal lainnya. Pendidikan inklusi adalah cara pandang bagaimana agar ABK bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas, yang tidak dibedakan haknya dengan peserta didik yang lain. Pendidikan inklusif adalah jawaban atas penolakan terhadap praktik ”dehumanisasi”ABK dalam bidang pendidikan.

Namun dari sudut pandang teknis layanan pendidikan, praktik pendidikan inklusif tentu akan mengalami kesulitan jika infrastruktur dan sumberdaya manusia tidak dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Dalam tataran teknis inilah biasanya perdebatan tidak berakhir dan cenderung berujung pada ketidaksetujuan mengingat kondisi lapangan yang ”dianggap” belum siap.

Tentu saja kita tidak berharap, alasan teknis tersebut mengalahkan alasan filosofis. Karena pengertian pendidikan sebagaimana saya uraikan di bagian awal, tidak sekedar transformasi pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga menyiapkan generasi untuk bisa tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, intelektual, mental, sosial dan spiritual dalam rangka memasuki kehidupan nyata di dalam berbagai lingkungan sosial yang terus berkembang dan dinamis. Membatasi ABK dari akses pendidikan yang terbuka dan bermutu, tentu tidak ’humanis’, dan jika hal itu dibiarkan terus menerus, berarti kita menyetujui ’dehumanisasi’ pendidikan. Oleh karena itu berbagai alternatif model pendidikan bagi ABK perlu terus dikembangkan, diperluas dan ditemukan, sehingga banyak pilihan yang dapat disodorkan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing.

 

Model Segregatif

Model pendidikan khusus tertua adalah model segregatif yang menempatkan ABK di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (Sunardi, 2011), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan ABK mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.  Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi dalam proses pendidikannya mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

 

Model Mainstreaming

Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis/tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (dalam Sunardi, 2011) mengemukakan alternatif sbb.

  1. Kelas biasa penuh
  2. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
  3. Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
  4. Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
  5. Kelas khusus penuh, 
  6. Sekolah khusus, dan
  7. Sekolah khusus berasrama.

Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985).  

Pendidikan Inklusif di Indonesia

Mengikuti perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, saya berkesimpulan bahwa secara regulasi payung hukum pendidikan inklusif sudah sangat kuat. Ada UUD 1945, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Penyandang Cacat, Undang-Undang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah, sampai Peraturan Menteri yang mengatur secara teknis tentang pelaksanaan pendidikan inklusif. Di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, juga ditemukan bahwa telah ada beberapa  Provinsi, Kab/Kota di Indonesia yang mengeluarkan regulasi terkait dengan pendidikan inklusif. Sampai dengan saat ini (tahun 2015) setidaknya delapan Provinsi (DKI, Jabar, Jateng, Jatim, Sumatera Selatan, DIY, Kalsel, dan Sumbar) telah memiliki Peraturan Gubernur tentang pendidikan inklusif. Demikian juga di tingkat Kab/Kota, setidaknya 60 Kab/Kota telah mengembangkan progam pembudayaan pendidikan inklusif. Kita terus berharap, hal serupa terjadi di Provinsi/Kab/Kota lain yang saat ini belum mengembangkan pendidikan inklusif.

Perkembangnya pendidikan inklusif di Indonesia, juga memberikan kontribusi terhadap Angka Partisipasi Pendidikan bagi ABK. Menurut laporan Wamendikbud, 2012 disebutkan bahwa jumlah ABK yang mendapatkan akses pendidikan baru menjangkau sekitar 35%, sisanya sekitar 65% belum mendapatkan akses pendidikan (Wamendikbud, 2012). Dari jumlah tersebut, sekitar 88% bersekolah di SLB, dan sisanya sekitar 12% bersekolah di sekolah reguler secara inklusif (Yusuf, 2014). Jika pendidikan inklusif dikembangkan lebih luas lagi, maka kontribusi dalam hal pemerataan dan akses pendidikan bagi ABK akan semakin tinggi.

Pendidikan inklusif sesungguhnya tidak hanya untuk pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif juga dapat digunakan sebagai wahana untuk mendorong terwujudnya masyarakat yang inklusif. Membaca laporan hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat PKLK Dikdas terhadap enam Kab/Kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yusuf, dkk. 2015), ternyata pendidkan inklusif dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Diantaranya adalah mampu menumbuhkan kekuatan-kekuatan dan potensi lokal dalam mendukung tumbuhnya masyarakat inklusif.  Kekuatan dan potensi lokal tersebut antara lain forum-forum atau paguyuban sekolah inklusif, forum GPK,  Assessment Center/Resource Center (Pusat Sumber) sekolah inklusi, sekolah inklusif percontohan, SLB-SLB sebagai pusat sumber, pemanfaatan dana CSR Industri, pelibatan PKK Kelurahan dalam rangka identifikasi dan asesmen ABK, dan bahkan mampu mendorong perkembangan IPTEK melalui riset dan kajian-kajian pendidikan inklusif oleh Perguruan Tinggi. (2) Program pembudayaan pendidikan inklusif berbasis masyarakat Provinsi/Kab/ Kota, juga terbukti mampu mendorong peran masyarakat luas, baik lintas SKPD di tingkat pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Perusahaan/industri, organisasi sosial, LSM, orangtua, sekolah, maupun  perorangan. (3) Fenomena lain tentang pendidikan inklusif ternyata telah merambah ke dunia pendidikan tinggi. Setidaknya delapan perguruan tinggi negeri besar di Indonesia seperti UPI, UNJ, UNS, UNESA, UI, ITS, UNAIR, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah menunjukkan langkah-langkah konkrit dalam rangka menerapkan pendidikan inklusif di PT. Semua PT tersebut telah mendapatkan ‘award’ dari Pemerintah Pusat sebagai PT yang peduli tehadap Anak Berkebutuhan Khusus melalui pendidikan inklusif.

Meskipun demikian harus diakui bahwa praktik pendidikan inklusif selama ini, masih banyak menemui kendala. (Salim, 2015), misalnya: (1) belum semua Provinsi, Kabupaten/Kota memiliki Perda/regulasi khusus  tentang Pendidikan Inklusif, (2) masih adanya sebagian warga sekolah yang kurang yakin terhadap keberhasilan pendidikan inklusif, (3) terbatasnya sarana dan prasarana khusus yang dibutuhkan bagi ABK di sekolah inklusi, (4) terbatasnya Guru Pembimbing Khusus yang disediakan Pemerintah di sekolah inklusi, (5) kurangnya pemahaman dan kompetensi guru reguler tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus, (6) sistem penerimaan siswa dan mahasiswa baru yang masih cenderung membatasi ABK untuk dapat diterima di sekolah reguler/PT. Penelitian Sunardi, dkk (2011) menemukan bahwa pendidikan inklusif dalam praktik di Indonesia, belum seperti yang diharapkan. Di antaranya adalah kesiapan SDM terutama guru reguler, keterbatasan Guru Pendidikan Khusus (GPK), dan keterbatasan sarana prasarana. Keberpihakan memang diperlukan agar mereka ABK juga dapat berprestasi seperti anak-anak pada umumnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan keberlangsungan pendidikan inklusif. Menurut laporan seminar Agra dalam Stubbs (2008), ditegaskan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif tergantung pada cara pandang. Ada dua cara pandang yang melahirkan sistem pendidikan yang berbeda bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Cara pandang pertama menganggap ‘child as problem’.  Karena anak dianggap sebagai sumber masalah, maka solusi yang dianggap tepat adalah, ABK harus dipisahkan dari komunitas anak-anak pada umumnya. Pendidikan yang dianggap paling cocok bagi mereka adalah pendidikan segregatif (SLB). Cara pandang kedua adalah apa yang disebut ‘Education system as problem’.  Pandangan ini menganggap bahwa persoalan keberhasilan dan kegagalan dalam pendidikan, bukan terletak pada faktor ‘anak’, akan tetapi faktor sistem pendidikan yang digunakan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan ABK menemukan banyak bukti baru bahwa ABK dengan berbagai hambatan fisik dan/atau intelektualnya, mereka mampu mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah reguler setelah guru dan sumber daya lain di sekolah, kurikulum, dan pembelajaran didesain khusus, sehingga memungkinkan setiap individu mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Yi Ding, 2006). Temuan semacam ini memperjelas bahwa paradigma inklusif dapat mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK, dan sekaligus mempertegas bahwa pendekatan segregatif bukan satu-satunya solusi dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK.

Jika pendidikan untuk semua belum berhasil mencapai hasil yang optimal, maka sistemnya yang harus diperbaiki. Implikasinya adalah harus ada perubahan cara pandang pelaku pendidikan, terutama guru, modifikasi kurikulum dan pembelajaran, modifikasi sistem penilaian, penyediaan lingkungan yang aksesibel, pelibatan orangtua, pelatihan bagi kepala sekolah dan guru yang berkelanjutan, dst. Jika paradigma dan cara pandang yang kedua ini yang kita gunakan, maka para ilmuwan terutama kalangan peneliti dari LPTK harusnya tidak pernah berhenti dan banyak melakukan riset mencari cara yang terbaik agar ABK semakin banyak yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah regular dan/atau melanjutkan ke PT yang memungkinkan.

 

Mulai Dari Yang Sederhana

Pemahaman terhadap pendidikan inklusif di kalangan warga sekolah dan masyarakat perlu diluruskan. Pendidikan inklusif tidak difahami hanya sekedar memberikan tempat dan ruang bagi ABK di sekolah regular karena memenuhi tuntutan dunia. Pendidikan inklusif seharusnya difahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi pada perluasan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta  inovasi pendidikan dalam arti luas. Dengan begitu maka pendidkan inklusif menjadi tugas dan tanggung jawab serta kebutuhan bersama. Pemerintah, warga sekolah, orangtua, dan masyarakat seharusnya terpanggil untuk mendukung dan mensukseskan gerakan pendidikan inklusif.

Dalam konteks inilah saya ingin mengajak kepada kita semua, baik para pengambil kebijakan di tingkat Pemerintah Pusat dan Daerah, pengambil kebijakan di tingkat Pendidikan Dasar, Menengah dan Perguruan Tinggi, serta para pelaku pendidikan di tingkat satuan pendidikan, untuk mengambil peran nyata dalam mengembangkan pendidikan inklusif menuju masyarakat inklusif di Indonesia. Caranya mulailah dari langkah dan usaha yang sederhana sesuai dengan bidang tugas, tanggung jawab dan kewenangan masing-masing. Langkah dan usaha tersebut antara lain :

  1. Bagi kita di ligkungan PT, mungkin dapat dikembangkan Pusat-pusat kajian dan pengembangan layanan difabel yang diberikan kewenangan untuk melakukan riset kebijakan dan membantu merumuskan kebijakan PT dalam pendidikan inklusif. Penerimaan mahasiswa difabel melalui program khusus seperti “program afirmasi”, mungkin juga dapat dilakukan meskipun secara terbatas. Mata Kuliah Pendidikan Inklusif mungkin sudah saatnya dijadikan MKDK di semua Prodi Kependidikan di LPTK mengingat semua calon guru pada saatnya akan berhadapan dengan ABK di sekolah inklusif. Demikian juga fasilitas kampus, mulai diidentifikasi dan dilengkapi bagian-bagian yang perlu aksesibel bagi kaum difabel. Layanan administrasi yang aksesibel bagi difabel juga harus mulai diperhatikan, serta tidak kalah pentingnya program sosialisasi kepada civitas akademika tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan dan menfasilitasi kaum difabel secara benar dan tepat (Karsidi, 2014).
  2. Bagi Pemerintah, perlu terus mendorong lahirnya regulasi khusus tentang pendidikan inklusif di tingkat Provinsi dan Kab/Kota yang selama ini belum mengimplementaikan kebijakan pendidikan inklusif. Perda/Pergub/Perbub/ Perwali dan aturan sejenis lainnya yang sudah ada, harus dikaji kembali tingkat pelaksanaannya di lapangan. Fasilitas publik dan instansi pemerintah yang aksesibel bagi difabel, secara bertahap perlu disediakan. Tidak kalah pentingnya pemberdayaan masyarakat dan organisasi sosial terkait, perlu lebih difahamkan dan ditingkatkan agar memiliki kepedulian terhadap pendidikan para difabel.
  3. Bagi para pengambil kebijakan di bidang pendidikan : perlu melakukan identifikasi terhadap praktik pendidikan inklusif yang masih menghadapi kendala di lapangan. Penyediaan fasilitas khusus dan Guru Pendidikan Khusus (GPK) di sekolah inklusi adalah dua hal mendasar yang harus menjadi prioritas (Karsidi, 2009).  Penyiapan sistem dukungan bagi sekolah inklusi, seperti Pusat Sumber dari SLB yang kelihatannya belum optimal, perlu segera dicari formula yang lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan. Ke depan justru perlu dipikirkan agar di setiap Kab/Kota, dapat dibangun sekurang-kurangnya satu Pusat Layanan Identifikasi dan Asesmen bagi ABK (semacam Assessment Center) untuk membantu sekolah inklusi dalam melakukan seleksi awal dan merumuskan program layanan individual yang tepat, serta sekaligus menjadi tempat pendidikan transisi bagi setiap ABK yang akan belajar di sekolah inklusi.
  4. Di kalangan Kepala Sekolah dan Guru: setiap sekolah ke depan, seharusnya merupakan sekolah yang menerapkan prinsi-prinsip pendidikan inklusif. Guru sekolah regular, perlu menambah wawasan dan keterampilan dalam pembelajaran bagi ABK di kelas inklusif. Pemilihan strategi pembelajaran, modifikasi kurikulum, sistem penilaian, pemilihan dan penggunaan media belajar yang sesuai dengan kebutuhan ABK, perlu dilatihkan kepada setiap guru di sekolah regular.

 

Penutup

Kritik keras tentang praktik pendidikan yang dianggap mengarah kepada ‘dehumanisasi’ manusia, sebagaimana dilontarkan oleh  Freire, dkk. (1997), perlu direspon secara kritis. Menurut mereka praktik pendidikan yang ada saat ini cenderung mengatur kehidupan orang, terjadi ‘penindasan’ guru (sebagai penguasa) terhadap peserta didik (sebagai yang dikuasai), terjadi penjinakan (dalam bahasa Freire), dan karenanya arah dan praktik pendidikan harus diubah. Respon Mezirow (dalam Azra, 2002), terhadap kritik pendidikan tersebut adalah perlunya mengubah paradigma pendidikan menuju humanisasi pendidikan. Dalam teori Transformation of Pedagogy, menghendaki agar ada cara kritis untuk menghadapi kendala reformasi pendidikan menuju 'humanisasi' pendidikan, ialah dengan melakukan perubahan. Dipercaya transformasi pendidikan akan terjadi jika mereka meyakini bahwa 'perubahan' adalah kata kunci untuk mencari cara baru dalam mengatasi persoalan pendidikan.

Pendidikan inklusif (mungkin) dapat dilihat dari pespektif perubahan menuju pendidikan yang lebih humanis. Secara paradigmatik, pendidikan inklusif dapat  dipandang sebagai paradigma dominan masa depan dalam layanan pendidikan dan merupakan suatu tuntutan perubahan di bidang pendidikan. Adapun praktik pendidikan inklusif yang relatif baru di Indonesia ini, perlu terus menerus diperbaiki dan disempurnakan agar semua anak bangsa (termasuk ABK) dapat menikmati pendidikan yang bermutu dan bermanfaat bagi kehidupannya kelak di masyarakat sebagai manusia yang bermartabat. Semoga.

*) Pidato Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dibacakan pada Dies Natalis ke 65 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta tanggal 14 Agustus 2015

Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS
Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS