Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan salah satu bentuk ilmu-ilmu sosial alternatif. Sebagai gejala post-modernisme, ISP kritis terhadap ilmu-ilmu sosial positivis dan cenderung anti-positivis. Hal itu bisa dipahami berdasarkan latar belakang kelahirannya yang kecewa terhadap kegagalan modernisasi di dunia ketiga. Bahkan, Islam ditawarkan sebagai ideologi alternatif setelah keberhasilan Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang berhasil menggulingkan Raja Shah Pahlevi yang didukung oleh Barat. Saat inilah Muslim mendeklarasikan abad ke-15 H sebagai abad kebangkitan Islam. Keyakinan terhadap Islam sebagai ideologi alternatif semakin mantap setelah runtuhnya Tembok Berlin 1989, yang merupakan simbol komunisme. Abad kebangkitan Islam tidak kunjung tiba, bahkan semakin jauh panggang dari api, karena sekarang ini kita menyaksikan negara-negara Islam terlibat dalam konflik dan bahkan sampai perang saudara. Kegagalan kebangkitan Islam bisa dipahami karena Muslim belum mengembangkan pemikiran besar yang akan memberi landasan bagi kebangkitan Islam. Kesuksesan peradaban Barat meraih developed countries didukung oleh kemampuannya menciptakan konteks bagi modernisasi, yang berupa soft technology, yang merupakan aspek immaterial kebudayaan. Demikian dikatakan Prof. Saefur Rochmat, S.Pd., MIR, Ph.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul ‘Ilmu Sosial Profetik dan Social Capital sebagai Fondasi Peradaban Islam Modern’ itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Sabtu (23/11). Saefur Rochmat adalah guru besar UNY ke-147.
Pria kelahiran Kebumen, 22 November 1968 tersebut mengatakan, kegagalan Islam mewujudkan kebangkitan Islam dalam bentuk developed countries, tidak bisa menyalahkan begitu saja peradaban Barat. Hal itu karena ilmu-ilmu sosial positivis yang dikembangkannya terbukti bisa mengantarkan peradaban Barat meraih developed countries. “Jangan-jangan kita yang belum melakukan modernisasi model Barat secara benar” kata Saefur Rohmat. Menurutnya, kita cenderung mengadopsi aspek material peradaban Barat, seperti lembaga-lembaga negara, lembaga pendidikan modern namun melupakan aspek immaterial peradaban Barat yang memungkinkan semua kelembagaan tersebut bisa berjalan secara efektif. Peradaban Barat mengembangkan prinsip checks and balances dan didukung dengan kemampuannya menciptakan collective consciousness atas dasar social contract dalam bentuk kesepakatan-kesepakan dan hukum-hukum positif.
Doktor Prodi Indonesian Studies Victoria University tersebut memaparkan, sistem pendidikan kita, sampai sekarang, belum bisa menciptakan manusia-manusia modern, yang bersikap kritis, logis, sistematis, dan mampu melakukan kegiatan analisis sintesis. Jadi wajar bila kita belum bisa menjadi negara modern (a developed country). Padahal gagasan Islam sebagai alternatif peradaban Barat sudah dideklarasikan setelah Revolusi Islam Iran 1979. Hal itu menunjukkan ada yang salah dalam gagasan ilmu sosial alternatif, termasuk ISP, yakni mereka anti-terhadap Barat. Bukankah Iran tidak bisa survive bila tidak memainkan politik divide et imperra antara Blok Barat melawan Blok Timur. Agar bisa menjadi Blok Islam, Iran harus mengembangkan teknologi modern, yang output-nya adalah materi. Ilmu-ilmu sosial sekuler juga tetap diperlukan karena membangun peradaban bukan tugas satu umat saja, tapi merupakan tugas umat dalam pengertian ummatan wahidah. Dengan demikian ilmu-ilmu sosial sekuler yang menyediakan fakta-fakta merupakan perangkat keras bagi bangunan ilmu-ilmu sosial alternatif. Ilmu sosial alternatif, seperti halnya dengan paradigma-paradigma yang lain merupakan suatu upaya pemberian makna terhadap fenomena. Dengan demikian, kebenaran dari paradigma bersifat inter-personal bagi komunitasnya masing-masing; namun dalam kehidupan sosial yang kompleks mereka harus mendasarkan pada produk dari ilmu sosial positivis. Selama ini ISP masih belum serius menangani gejala fenomena dalam kaitannya dengan neumena, sehingga body of knowledge dari ISP masih belum berhasil disusun. ISP hendaknya diarahkan kepada ide Third Way, selaras dengan sifat Islam yang sintesis, yang menjunjung tinggi pendekatan integralistik. Dengan demikian, ISP diharapkan bisa menghantarkan Muslim meraih developed countries secara cepat dan sekaligus bisa mengatasi krisis peradaban modern. (Dedy)