MEMBEDAH KAJIAN SEJARAH LOKAL

Anton E. Lucas tampil sebagai pembicara

Anton E. Lucas tampil sebagai pembicara dalam bedah buku yang diselenggarakan Program Studi (prodi) Ilmu Sejarah UNY. Acara yang sekaligus sebagai peluncuran buku karya sejarawan Australia tersebut diselenggarakan pada Kamis (20/2/2020) di Aula Gedung IsDB lantai 4, FIS UNY.

Dalam acara bertajuk “Launching dan Bedah Buku Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi” itu, lebih dari seratus peserta hadir yang terdiri dari akademisi dan mahasiswa prodi Ilmu Sejarah maupun umum.

Kuncoro Hadi, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah sekaligus penanggung jawab acara tersebut mengatakan bahwa dibutuhkan waktu kurang lebih dua minggu untuk mempersiapkan acara. Mulai dari penentuan tema, hingga memastikan waktu kedatangan Anton di Indonesia.

“Kebetulan ia sedang di Indonesia untuk merevisi bukunya ‘Radikalisme Lokal’. Maka, sekaligus kami undang untuk membedah buku ‘Peristiwa Tiga Daerah’-nya, karena buku dengan kajian yang demikian menurut saya belum ada yang sehebat dia,” ujarnya yang ditemui setelah berakhirnya acara.

Bedah buku tersebut terbagi atas dua sesi, yaitu sesi pemaparan dari penulis; dan sesi diskusi yang diisi tanya-jawab dari peserta.

Dalam sesi diskusi, Anton Lucas menegaskan mengapa buku ini begitu penting dan harus dibaca, khususnya untuk mahasiswa Jurusan Sejarah.

“Cerita dalam buku ini menarik, tidak kalian temui dalam pelajaran-pelajaran sejarah umumnya. Karena buku ini mengenai sejarah lokal, yang dalam metodenya saya menggunakan sejarah lisan dengan melibatkan lebih dari tiga ratus narasumber,” ujar Sejarawan Indonesianis itu.

Senada dengan pernyataan Anton, Kuncoro juga mengatakan hal serupa. Penulis buku Kronik ‘65 tersebut turut menjelaskan bahwa buku tersebut begitu penting untuk dibaca dan dikaji, khususnya bagi mahasiswa yang belajar sejarah.

“Ada dua hal penting yang harus dipahami terkait buku tersebut. Pertama, karena tema yang diangkat adalah kajian sejarah lokal. Kedua, dalam hal metode dan metodologi, ‘Revolusi Tiga Daerah’ menggunakan pendekatan sejarah lisan.”

Bagi Kuncoro, dua hal tersebut menjadi hal yang begitu fundamental untuk dikaji, didalami, dan ditulis selanjutnya. Karena, sejarah lokal dan lisan berdasarkan subjektifnya, “masih langka dan belum banyak di jumpai dalam kultur sejarah di kampus ini, juga di kampus-kampus lain,” tutup Kuncoro. (Muhammad Abdul Hadi/JK)