Mahasiswa UNY Teliti Permissive Parenting Pada Anak Rambut Gimbal

2
min read
A- A+
read

Wawancara dengan orang tua anak berambut gimbal

Mahasiswa UNY melakukan penelitian tentang permissive parenting dari perspektif positive parenting pada anak gimbal sebelum dan sudah diruwat di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo. Mereka adalah Kufita Rachman, Ade Putri Arbiyanti dan Siti Raihani Vesya prodi PGSD. Ni Putu Miranda Puteri prodi Psikologi dan Dyah Ayu Wening Puspita Sari prodi Sosiologi.

Menurut ketua tim penelitian Kufita Rachman, mereka melakukan penelitian tersebut pada anak berambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng karena terdapat kepercayaan bahwa anak berambut gimbal merupakan titisan dari Kyai Kolodete sehingga segala permintaannya harus dipenuhi, jika tidak akan mendapat musibah. “Pemotongan rambut gimbal diperlukan upacara ruwat karena diyakini akan membuka rezeki serta anak mampu hidup normal bersama rambut yang normal pula. Oleh karenanya penelitian ini menyoroti juga perbedaan penerapan permissive parenting sebelum dan sesudah diruwat” kata Kufita Rahman, Jumat (13/10). Anak berambut gimbal diyakini mempunyai kemampuan  linuwih yaitu orang yang doanya selalu dikabulkan, daripada anak seumurannya yang mempunyai rambut normal. Pada usia 7 tahun berkah rambut gimbal berhenti sehingga perlu melakukan upacara ruwat dengan pemotongan rambut gimbal.

Ade Putri Arbiyanti menambahkan permissive parenting adalah gaya pengasuhan dengan ditandai perilaku orang tua yang sangat hangat tetapi menerapkan aturan yang rendah seperti memanjakan anak atau kurangnya bimbingan dari orang dewasa dimana anak tidak pernah diberi tahu apa yang harus dilakukan atau diberikan alasan mengapa mereka harus melakukannya. “Sedangkan positive parenting mengakomodasi aspek komunikasi, aspek afeksi, tuntutan kedewasaan serta aspek kontrol diri” katanya. Sehingga orang tua dapat mengekspresikan kasih sayangnya dengan komunikasi yang baik, memberi sentuhan fisik berupa pelukan, jalan-jalan bersama, memberi hadiah atau pujian, mewujudkan permintaan anak yang memang dibutuhkan serta memberikan batasan pergaulan anak diluar rumah, seperti waktu dan tempat ketika bermain.

Dipaparkan Siti Raihani Vesya bahwa mereka mengambil 10 pasangan orang tua anak berambut gimbal sebagai sampel. “Permissive parenting dan positive parenting diterapkan oleh seluruh subjek berjumlah sepuluh orang tua dari anak berambut gimbal. Sejumlah dua dari sepuluh orang tua dari anak berambut gimbal cenderung menerapkan permissive parenting. Delapan orang tua lainnya cenderung menerapkan positive parenting.” kata Siti.

 

Ni Putu Miranda Putri mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan penerapan permissive parenting pada dua dari tiga anak rambut gimbal yang sudah diruwat, hanya satu yang menunjukan menurunan penerapan permissive parenting pada anak berambut gimbal. “Dapat disimpulkan mayoritas orang tua masih menerapkan permissive parenting setelah diruwat” katanya. Hal tersebut kontra intuitif dengan dasar diterapkannya permissive parenting, dimana berkah rambut gimbal hilang pada saat anak berusia 7 tahun hingga perlu diruwat agar anak tumbuh normal dengan rambut normal. Namun setelah diruwat walaupun anak sudah tumbuh normal, permissive parenting tetap dilakukan hingga menjadi pola kebiasaan masyarakat yang berdampak buruk terhadap pembentukan karakter anak.

Dyah Ayu Wening Puspita Sari menyimpulkan, peran positive parenting pada pembentukan karakter anak berambut gimbal sebelum dan sesudah diruwat sangat penting apalagi pada era digital saat ini. “Dari hasil wawancara ditemukan salah satu orang tua dari anak rambut gimbal yang menerapkan aspek positve parenting dengan memberi durasi anak bermain handphone selama tiga puluh menit saja” ungkap Dyah. Dengan positive parenting anak dapat belajar mengendalikan emosi, bersikap terbuka, dan ini bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan rasa percaya diri anak, sehingga penggunaan positive parenting yang dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak dapat membawa dampak positif bagi perkembangan anak, tepatnya dapat mengurangi masalah perilaku anak. Dengan mengenalkan teknologi kepada anak orang tua juga harus mengawasi penggunaannya sehingga anak dapat mengikuti arus perkembangan teknologi digital dan dapat menggunakannya dengan tepat. Penerapan positive parenting dapat membuat komunikasi antara orang tua dan anak berjalan dengan baik, anak menjadi mandiri, percaya diri, memiliki regulasi emosi yang baik, memiliki rasa tanggung jawab, dan anak memiliki rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

Penelitian ini berhasil meraih pendanaan dari Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang PKMRSH tahun 2023.

MBKM