“Saya biasa hidup melarat dan digembleng untuk mensyukuri hidup terbatas sejak kecil,” demikian ungkap Sumarno merefleksikan keadaan ekonomi keluarganya. Ibu Sulistina selaku orang tua Sumarno, adalah petani kecil di daerah Lamongan, Jawa Timur.
Hal yang sama juga dialami Zefki Okta Feri. Kedua orang tuanya, Hendri Nofdi dan Eli Yurda, adalah petani di Kecamatan Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Butuh waktu berjam-jam bagi orang tuanya apabila hendak menjual hasil bumi ketika panen.
Walaupun bersyukur di tengah segala keterbatasan, Sumarno dan Zefki sama-sama punya asa untuk merubah nasibnya dan keluarga. Belajar dengan tekun mereka lakoni di jenjang S2 UNY selama dua tahun lamanya.
Sabtu (30/12) mereka resmi menuntaskan studinya dengan gelar Summa Cumlaude. Memperoleh IPK sempurna 4,0, sekaligus membuka gerbang kesuksesan mereka di bidangnya masing-masing.
Sumarno Sang Olahragawan
Sumarno mulanya lulus menempuh S1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga di Universitas Negeri Surabaya. Selama sekolah, Sumarno memang berbakat di bidang olahraga dan telah banyak makan asam garam sebagai atlit di tingkat daerah. Sumarno akhirnya lulus di tahun 2016 dengan prestasi gemilang. Berpredikat Cumlaude dengan masa studi hanya tiga tahun lima bulan.
Dosen dan kawan-kawan yang mengetahui pencapaian unggul Sumarno semasa kuliah, mendorongnya untuk melanjutkan studi di jenjang S2. Akhirnya, mendaftarlah Sumarno pada beasiswa LPDP. Sambil mengurus administrasi beasiswa, ia juga mendaftarkan diri di UNY dan dinyatakan diterima.
Sayang beribu sayang, hasil seleksi LPDP tahap akhir ternyata menyatakan bahwa Sumarno tidak lolos. Padahal, ia sudah dinyatakan diterima di S2 Ilmu Keolahragaan UNY. Sumarno juga mulanya optimis lolos LPDP karena pada jenjang seleksi sebelumnya, ia dapat melakoni tes dengan mudah dan selalu berada di peringkat yang cukup tinggi.
“Jadi tahap ketiga diambil empat kandidat (peraih beasiswa LPDP, dari ratusan calon kandidat), saya masih lolos dan peringkat atas. Saat itu saya urus daftar di UNY dan dinyatakan diterima. Tapi di akhir pengumuman, ternyata saya tidak lolos,” kenang Sumarno yang lahir di Lamongan, 23 Maret 1995, layaknya dikisahkan dalam rilis pers UNY.
Selepas dinyatakan tidak lolos LPDP, Sumarno mulanya tak ingin melanjutkan kuliah S2. Ia enggan membebani orang tuanya yang hanya bekerja sebagai petani di Lamongan.
Terlebih lagi, ibunya adalah seorang janda. Kamolan, ayah Sumarno, telah tiada saat ia masih duduk di bangku sekolah.
Walaupun demikian, ibunya sendiri yang mendorong Sumarno untuk terus belajar. Ia mengatakan sayang apabila kesempatan belajar di UNY tak diambil putra bungsunya tersebut. Dua kakak Sumarno yang juga membantu ibunya bertani serta memiliki usaha bengkel, juga mendorong sang adik untuk belajar.
“Walau hanya bertani cabai dan jagung, mereka (ibu dan kakak) membiayai kuliah saya. Mereka bilang: kuliah saja, kita yang carikan biaya. Mereka percaya dan optimis pada yang saya lakukan. Justru saya yang tidak bisa percaya atas betapa baik dan suportifnya keluarga kepada saya,” kisah Sumarno sembari terisak.
Menjadi Wasit untuk PSSI Sleman
Dukungan dari orang tua dan keluarga kemudian dijadikannya pelecut untuk belajar giat. Ia berupaya untuk mencari uang sendiri dan sebisa mungkin hidup hemat selama menempuh kuliah di Jogja.
Beruntung, rezeki datang dari tawaran PSSI Sleman untuk menjadi wasit sepakbola. Apabila musim pertandingan sedang ramai seperti di akhir tahun, Sumarno bisa menjadi jenderal lapangan tiga kali dalam seminggu.
“Konsekuensinya capek berat itu. Kuliah saya lakukan full, plus jadi wasit tiga kali seminggu. Tapi saya ingat, orang tua dan kakak saya di rumah lebih lelah dan pengorbanan saya tidak ada apa-apanya,” kenang Sumarno.
Honor yang ia peroleh sebagai wasit kemudian digunakan Sumarno untuk hidup selama di Jogja.
“Alhamdulillah uang itu cukup untuk menyambung hidup disini. Biaya kuliah di UNY dan biaya hidup di Jogja juga relatif lebih murah dibanding kampus atau daerah lain. Akses perpustakaan UNY juga lebih mudah sehingga saya terbantu untuk bahan studi secara waktu dan biaya,” ungkap Sumarno dengan rasa syukur.
Dengan menjadi wasit, Sumarno mudah membangun jejaring di bidang sepakbola. Tesisnya mengangkat tentang evaluasi manajemen PSIM Mataram. Ia mengusulkan solusi konkrit agar PSIM sebagai tim kebanggaan warga Kota Yogyakarta bisa promosi di Liga 1, kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Tesis tersebut diapresiasi oleh dunia akademik sekaligus para praktisi sepakbola. Tesis ini pula yang mengantarkan Sumarno menyabet IPK sempurna 4,0.
Saat ini, Sumarno sudah memperoleh tawaran menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Secepatnya setelah wisuda dan menuntaskan kewajibannya sebagai wasit, ia akan mengajar di kampus. Dengan profesi tersebut, Sumarno ingin mengabdikan ilmunya pada masyarakat luas sekaligus membayar lunas dukungan keluarga yang selama ini diberikan kepadanya.
“Ibu dan kakak saya menginspirasi saya untuk tekun dalam studi dan segala aktivitas. Insya allah besok ketika mengajar saya akan tetap jaga semangat untuk tekun tersebut. Dengan menjadi tekun dan mengabdikan ilmu, saya menunaikan apa yang telah diharapkan oleh keluarga saya,” pungkas Sumarno.
Zefki Ingin Menengok Negeri Lain
Beda dengan Sumarno yang mahir di bidang olahraga, Zefki sejak sekolah mahir berbahasa Inggris. Ia yakin bahwa dengan menguasai Bahasa Inggris, maka cakrawala pengetahuan sekaligus peluang untuk keluar negeri makin terbuka.
“Saya sejak kecil ingin menengok negeri lain. Walaupun negeri seribu surau tempat saya tinggal ini, juga tak kalah elok,” kenang Zefki.
Oleh karena itu saat S1, ia mengambil studi Pendidikan Bahasa Inggris di STAIN Batusangkar. Tak jauh dari rumahnya. Semangat studi dengan asa ingin ke luar negeri ia tunaikan hingga akhirnya menjadi lulusan terbaik universitas tersebut di tahun 2015. Lulus dengan IPK nyaris sempurna: 3,99.
Sudah mahir berbahasa Inggris, ternyata impian Zefki ke luar negeri belum direstui Allah. Ia memang sempat mencoba mendaftar beasiswa kuliah ataupun pertukaran pelajar ke Australia. Tapi belum lolos.
Akhirnya, Zefki menjadi instruktur TOEFL. Ia bekerja di Bekasi. Disana ia banyak mengajar anak-anak, profesional, hingga orang dewasa yang hendak pergi ke luar negeri. Setidaknya melalui profesi tersebut, kenang Zefki, ia bisa mengantar orang untuk menengok negeri lain.
“Saya melatih orang untuk menengok negeri lain. Tidak apa-apa. Belum rezeki saya menengok negeri lain,” kenang Zefki.
Zefki memperoleh penghasilan yang cukup baik di Bekasi. Dengan pendapatannya ia bisa meringankan beban kedua orang tua yang berprofesi sebagai petani kecil di Batusangkar.
Walaupun demikian, Zefki merasa menjadi instruktur TOEFL kurang menantangnya. Karir juga relatif stagnan. Zefki masih ingin mengejar asanya untuk pergi ke luar negeri.
Salah satu cara ke luar negeri yang cukup mudah menurutnya, adalah menjadi guru besar. Akhirnya, Zefki mendaftar beasiswa LPDP untuk menempuh jenjang S2 di Linguistik Terapan UNY. Ia diterima!
“Saya sampaikan kepada orang tua bahwa kalau bekerja jadi instruktur TOEFL, hidup begini-gini saja. Orang tua geleng-geleng, tapi akhirnya merestui saya. Alhamdulillah saya memperoleh beasiswa LPDP dari Pemerintah,” kenang Zefki.
Tak Ingin Berhenti Belajar
Selama di UNY, Zefki merasakan culture shock yang lumayan dahsyat. Karena Zefki yang selama ini tinggal dan kuliah di daerah, tiba-tiba berkuliah di kampus sebesar UNY dan daerah sebesar Jogja.
Zefki juga hidup murni dari uang saku beasiswa. Berbeda dengan masa kuliah yang masih bersama orang tua sehingga tidak begitu banyak pengeluaran.
Beruntung, teman dan dosen Zefki semuanya suportif. Banyak ahli di bidang linguistik ia temui di sini. Diskusi dalam mengerjakan tesis bahkan dilakukannya hingga ke UNS, menemui dosen dan rekan sejawat di Solo.
“Sangat mudah akses Solo-Jogja. Di Jogja saya kira segala fasilitas dan kebaikan ada. Tapi kalau mau cari yang tidak baik, juga ada. Alhamdulillah saya dapat beradaptasi dengan baik,” kenang Zefki.
Zefki akhirnya menulis tesis tentang fungsi sistemik kebahasaan. Ia menganalisis hasil IELTS (tes bahasa Inggris) puluhan dosen dan civitas UNY untuk merumuskan cara terbaik mengajar IELTS bagi mereka. Tesis inilah yang mengantarkan Zefki menyabet IPK 4,0.
“Support dosen cukup besar. Ditunjukkan kemana harus akses ke pengetahuan yang saya bidangi. Menghubungi siapa, membaca jurnal apa,” kenang Zefki.
Sejak September lalu, Zefki telah diberi amanah untuk mengajar di STTA Adi Sucipto. Sekolah penerbangan di bawah TNI Angkatan Udara. Amanah tersebut adalah sebuah kehormatan bagi Zefki karena ia bisa mengabdikan ilmunya sekaligus bermanfaat bagi institusi negara.
“Secara insentif dan suasana mengajar, juga baik. Anak STTA kedisiplinannya tinggi. Apalagi di STTA, kuliahnya siang dan sore hari. Jadi saya bisa paginya belajar, sorenya mengajar,” ungkap Zefki.
Kedepan, Zefki tak ingin berhenti belajar. Ia ingin melanjutkan S3 ke Australia. Untuk mewujudkan asa tersebut, ia mencari seribu jalan agar memperoleh beasiswa penuh seperti yang ia dapatkan saat S2 di UNY.
“Cita-cita panjang saya jadi guru besar. Jadi kalau ada kesempatan, ya lanjut s3 lagi. Negara yang menyediakan S3 tentang systemic functional linguistik, adanya di australia. Semoga bisa menengok negeri lain,” pungkas Zefki.
Atas pencapaian tersebut, Prof. Sutrisna Wibawa selaku Rektor UNY berpesan pada Sumarno, Zefki, dan seluruh wisudawan untuk bersyukur. Sekaligus berterima kasih kepada semua orang yang selama ini berjasa, membantu, dan membiayai. “Ingatlah, mendapatkan gelar baru yang disematkan pada nama bukan akhir dari segalanya. Tapi merupakan sebuah awal dari episode lain dalam kehidupan. Welcome to the real world dan semoga bermanfaat untuk keluarga dan negeri!,” pesan Sutrisna. (Ilham D.A)