Gerakan pencerahan diharapkan menjadi sumber kekuatan yang baru menjadi driving force terbentuknya peradaban baru bangsa Indonesia yang lebih bermartabat. Selanjutnya diharapkan pula agar pendidikan yang mencerahkan dapat menjadi pilar utama penyangga kemandirian bangsa. Karena itu, diperlukan revolusi cara berpikir untuk menghadirkan pendidikan yang mencerahkan.
Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa banyak keluhan yang muncul tentang pendidikan di Indonesia. Pendidikan terkesan hanya berorientasi pada perolehan angka dalam Ujian Nasional. Namun sebenarnya guru bisa menyiasati agar pendidikan menjadi lebih mencerahkan subyek didik, dengan mencontohkan bahwa pendidikan tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga berorientasi pada proses.
Pendidikan dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia, bisa dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, jika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini bukanlah praktek pendidikan.
Pendidikan juga bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam proses pendidikan tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas, liberating forces, dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi. Pendidikan tidak dibangun melalui proses yang doktriner mekanistik, melainkan keterlibatan aktif para pendidik dan subyek didik dalam melakukan ‘dialog’ memberi warna dan makna terhadap suatu kajian tertentu. Pendidikan membebaskan peserta didik dari sekat primordial dan menumbuhkan sikap kebersamaan dalam kebhinekaan.
Keadaan semacam ini mendorong tercapainya pengembangan subyek didik agar tahu bagaimana menghargai perbedaan dan peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Lebih jauh, subyek didik akan terinspirasi untuk menghormati martabat sesamanya. Bila nilai pendidikan semacam ini tak bisa dicapai, maka yang muncul justru akan menimbulkan sikap-sikap amoral, intoleran, banalitas, anarkisme dan anti kemanusiaan. Hal semacam ini mengindikasikan pendidikan belum mampu membimbing subyek didik untuk lebih toleran terhadap keberagaman, berlomba dalam kebajikan, atau sebagai sumber kebijaksanaan dalam masyarakat. Karena memang pendidikan yang dikembangkan bukan pendidikan yang mencerahkan.
Sikap anti kemanusiaan tidak dapat ditangkal dengan cara instan ketika keadaan pendidikan masih menghadapi pemiskinan berpikir dan pembodohan berperilaku. Banyak aspek yang harus digarap, namun yang utama hendaknya dimulai dari lingkungan keluarga. Kemudian pendidikan formal melengkapinya dengan materi-materi ilmu pengetahuan yang memberi manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat. misalnya materi ajar IPS membekali kesadaran akan pluralitas sosial kemasyarakatan, memaknai peran kepahlawanan dalam mencapai kemerdekaan dan memahami hakikat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Demikian pula halnya dengan IPA, membekali kesadaran akan pentingnya kedudukan manusia terhadap alam dan lingkungannya sehingga tumbuh sikap memeliharanya.
Dan tidak kalah penting Pendidikan Agama mampu membekali kesadaran kolektif yang positif berdasarkan nilai kasih sayang – Ar-Rahman dan Ar-Rahim—serta penghargaan terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Semua ini didukung oleh keteladanan perilaku baik oleh para pemimpin, tokoh masyarakat dan guru-guru kita. Guru hadir sebagai agen perubahan dan rekonsiliasi yang kreatif mempraktekkan hidup damai dalam kebhinekaan di masyarakat. guru hendaknya tidak saja menjadi pengajar atau teacher, namun juga berperan sebagai pembelajar, learner. Ia tidak hanya pandai dalam ilmu pengetahuan, smart teacher, dan sukses membangun perilaku, success learner, namun juga harus memberikan pencerahan jiwa, delight learner. Pendidikan semacam inilah kiranya yang akan mempu membebaskan dari pemiskinan berpikir dan pembodohan perilaku, atau disebut pendidikan yang mencerahkan.
Pendidikan yang mencerahkan adalah yang berlandaskan pada tiga jenis kecerdasan yaitu kecerdasan akal, emosi dan spiritual. Guru yang memiliki ketiga jenis kecerdasan ini adalah pendidik yang telah mengalami pencerahan yang akan mencerahkan anak didiknya dengan cara menggali potensi-potensi hebat mereka, menimbulkan kuriositas mereka dengan melangsungkan proses belajar yang menarik, menghibur dan menyenangkan. Proses belajar mengajar yang mencerahkan ini akan menjadi wahana penemuan diri, menjadi proses identifikasi diri dan pemecahan masalah yang dihadapi anak didik, baik itu masalah materi pelajaran maupun kehidupan pribadi mereka. Pendidikan yang mencerahkan adalah yang memberikan anak didik hak-hak belajar mereka dan bukan semata transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga disertai keteladanan dari sang guru yang disasikan dan dialami langsung oleh anak didik baik di kelas maupun di ruang publik.
Sayangnya, pendidikan kita masih jauh dari itu. Guru-guru masih sedikit yang seperti itu, selain itu banyak orang tua yang memaksakan kehendak. Hasilnya adalah, anak didik yang membenci pelajaran, meledek cara guru mengajar dan diam-diam bosan dengan nasehat tentang masa depan yang “sudah ditentukan” orangtua. Mengapa mesti belajar matematika hingga yang sulitnya bikin pusing kepala? Mengapa harus bersusah-susah menghafal sejarah dan berbagai perang yang terjadi? Mengapa mesti menghafal sekian bentuk kalimat yang bahkan tidak pernah terpakai dalam percakapan? Mengapa guru memberi timbunan pekerjaan rumah tanpa menjelaskan esensi dari pelajaran yang ia berikan? Mengapa jawaban ulangan mesti “harus sama” dengan buku? Mengapa guru tak bisa diajak bercurah hati sebagai halnya seorang teman? Mengapa anak pintar selalu yang matematika dan fisikanya bagus? Lalu, yang pintar bernyanyi, yang pandai berpidato, bagaimana? Dan yang setia kawan dan gampang berteman, atau yang jago basket dan lari cepat, tidak pintarkah? Yang pandai melukis, yang pandai berpuisi, yang senang dengan alam, dan yang biasa saja tetapi mencintai semua orang, lalu masuk kategori apa?
Dalam hal ini tugas guru adalah memandu, bukan mendikte, menunjukkan bukan membawa. Bagaimana bisa murid tidak menyontek, kalau guru masih mengajar dengan sistem menghafal? Tentu mereka akan memilih meng-copy paste jawaban dari buku biar dapat nilai bagus. Bagaimana bisa murid suka membaca, jika guru tidak memperkenalkan indahnya buku, juga tak pernah mendongengi murid dengan menarik? Bagaimana murid bisa berkembang jika berpikir atau berkata sedikit saja “di luar batas” atau think out of the box, guru langsung mencapnya sebagai anak nakal? Dan bagaimana tidak bermasalah jika orangtua tidak memerhatikan, tetapi malah mendikte? Ini hanyalah beberapa masalah yang sekiranya pantas menjadi perhatian para pendidik yang berada di Universitas yang berfungsi sebagai LPTK.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan membimbing kita di jalan lurus-Nya, sehingga bangsa ini dapat menghasilkan generasi yang bermutu, yang tentunya, juga diharapkan muncul dari hasil didikan Universitas ini pula.