Pemahaman yang baik pada sebuah wacana tulis maupun lisan diperlukan pemahaman literasi yang baik pula. Literasi yang baik diperlukan pembudayaan tidak sekedar menguasai kemampuan baca dan tulis saja, melainkan pemahaman akan keseluruhan aspek mulai dari teks, koteks, dan konteks yang berkembang secara pesat di masyarakat. Pemahaman harus berorientasi pada pengembangan aspek kebahasaan yang selalu mengkaitkan dengan unsur-unsur tautan situasi atau sosial termasuk penutur, tempat, waktu, dan budaya, sehingga cenderung mengarah pada pandangan yang bersifat fungsional dan mementingkan aspek kebermaknaan. Dengan demikian, bahasa dapat mengikat manusia pemakai bahasa yang bersangkutan menjadi suatu anggota masyarakat yang kuat penuh dengan dinamika sosial. Demikian dikatakan Prof. Dr. Drs. Sulis Triyono, M.Pd.. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Linguistik Terapan pada Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Membangun Literasi melalui Bahasa Jerman” dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Auditorium UNY, Sabtu (7/11). Sulis Triyono adalah guru besar UNY ke-163.
Pria kelahiran Trenggalek, 6 Mei 1958 tersebut mengatakan, Bahasa Jerman sering kali sulit dipahami oleh orang yang mempelajarinya. “Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai aturan yang sangat rinci dan yang tidak dimiliki oleh orang yang bukan penutur bahasanya” papar Sulis. Pembelajar bahasa Jerman berasal dari berbagai jenis bahasa seperti berasal dari Indonesia, di mana bahasa Indonesia termasuk bahasa aglutinasi. Bahasa Jerman adalah bahasa fleksi yang mengedepankan aturan yang jelas seperti tempus, kasus, genus, dan numerus. Tempus adalah sistem bahasa yang mengatur perubahan tensis akibat perbedaan kala sehingga pemerkahannya bersifat morfologis, paradigmatis, dan derivasional. Kasus yaitu hubungan antara nomina dan unsur lain dalam kalimat yang saling berkaitan. Hubungan ini menyebabkan adanya perubahan bentuk nomina yang mengalami perubahan. Perubahan ini disebut deklinasi. Genus diambil dari bahasa Latin yang berarti gender (grammatical gender) karena semua nomina bahasa Jerman memiliki gender yaitu: maskulin, feminin, dan neutral. Numerus yaitu penanda jumlah karena untuk menandai bentuk singular dan plural.
Alumni SMAN 2 Kediri tersebut menyampaikan, pemahaman akan teks, koteks, dan konteks dalam sebuat wacana secara komprehensif wajib dimiliki oleh seseorang. Hal ini sangat penting untuk dapat memahami sebuah wacana dengan baik. Kepekaan pemahaman terhadap sebuat wacana lisan maupun tulisan sangat penting untuk dilatih. Seseorang yang tidak pernah berlatih membaca dan menulis lambat laun akan kurang tingkat kepekaannya terhadap teks, koteks, dan konteks sebuah wacana. Dengan demikian, menghambat pemahamannya pada situasi dan konteks yang melingkupinya. Kebiasaan yang tidak baik yaitu orang lebih memilih jalan pintas untuk memperoleh informasi tanpa disaring dan dicermati dengan teliti, apalagi langsung dibagikan kepada teman-temannya dalam lingkup komunitasnya melalui media sosial dapat menimbulkan kesaalahpahaman mitra turutnya.
Doktor bidang Ilmu Linguistik UGM tersebut menyimpulkan, pembelajar bahasa Jerman sebagai bahasa asing harus mampu menguasai budaya agar kendala belajar bahasa asing akibat adanya perbedaan bahasa dan budayanya dapat dieliminir. Literasi memiliki peran penting untuk mempermudah pemahaman seseorang pada semua aspek karena literasi adalah keberaksaraan yang mampu digunakan untuk memahami konteks secara mikro dan makro secara baik. Literasi tidak sekedar kemampuan untuk membaca dan menulis saja, melainkan kemampuan literasi pada seseorang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan, dapat berpikir lebih kritis dalam memecahkan masalah, memiliki gagasan cepat dalam menyikapi konten yang tidak baik, serta dapat mampu berkomunikasi secara efektif yang dapat digunakan untuk mengembangkan potensi untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat secara luas. (Dedy)