PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

Beberapa tempat di Indonesia, bahkan sebagian area di Yogyakarta belum memperoleh akses pendidikan yang layak. Ekonomi keluarga, fasilitas belajar, kondisi psikologis siswa, hingga ekosistem masyarakat merupakan komponen yang saling melengkapi untuk membentuk pendidikan yang layak bagi siswa.

Hal tersebut diutarakan oleh Mahjati Nur Amalina pada diskusi edukatif yang bertajuk “Pendidikan yang Memerdekakan”, Kamis (31/01) di auditorium Abdullah Sigit Hall, FIP. Bagi Amalina, pendidikan merupakan proses kompleks, bukan hanya terjadi di ruang kelas, melainkan juga interaksi antara lingkungan dan siswa bersangkutan.

Amalina merasa prihatin dengan keadaan anak-anak di bantaran Kali Code yang belum mendapatkan akses pendidikan yang baik. Dia pun beritikad untuk berkontribusi positif, yang dilakukan dengan aksi nyata melalui komunitas Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB) yang memfasilitasi pendidikan sesuai keinginan, minat, dan bakat masing-masing anak.

“Pendidikan yang memerdekakan itu harus didasarkan pada kesenangan anak, serta untuk memperoleh masa depan sesuai harapan dan keinginan mereka sendiri,” jelas Amalina.

Oleh sebab itu, pendidikan yang memerdekakan menurut Amalina disiratkan bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing dan seharusnya belajar sesuai kesenangan mereka. Tidak harus didikte dengan kurikulum, sistem, dan aneka mata pelajaran yang dipaksakan kepada siswa-siswa seperti di ruang kelas konvensional pada umumnya.

Tidak berbeda jauh, Budi Santosa Gemak, pelopor Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta juga mengamini konsep pendidikan yang diutarakan Amalina. Lelaki yang kerap dipanggil Gemak tersebut memaparkan dengan lugas paradigma “memerdekakan” yang dinyatakan bahwa anak harus terlibat langsung dengan materi pembelajarannya.

“Misalnya siswa kami di SALAM, mereka tidak belajar menggunakan kurikulum prosedural. Jika siswa tertarik belajar gitar, kami memfasilitasinya dengan mengajak anak untuk menelisik sejarah gitar, mengunjungi seniman, serta pembuat gitar. Dari hal tersebut, kami menyisipkan pembelajaran sejarah, cara berkomunikasi, bahkan pendidikan karakter bagi siswa secara langsung di lapangan,” ujar Gemak.

Harris Dwi Saputra, salah seorang peserta diskusi menyatakan bahwa diskusi “Pendidikan yang Memerdekakan” tersebut membuka cakrawala berpikirnya dalam memandang pendidikan dari sisi yang berbeda. “Ada cara alternatif, yang mungkin lebih jitu dalam mengajarkan siswa-siswa. Tidak harus sama atau seragam seperti pembelajaran formal di ruang kelas yang didikter mengejar nilai-nilai rapor dan ijazah,” tambah Harris.

Acara diskusi edukatif “Pendidikan yang Memerdekakan” merupakan rangkaian acara Yog Sinau: Pameran Pendidikan yang diselenggarakan mahasiswa Teknologi Pendidikan di Museum Pendidikan, UNY sejak 30 Januari sampai 2 Februari 2019. (Muhammad Abdul Hadi/JK)