Kota Yogyakarta, yang baru-baru ini menghadapi permasalahan pelik terkait penumpukan sampah, kini berupaya keras untuk mengatasi situasi tersebut dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pengelolaan sampah yang inovatif dan berbasis partisipasi masyarakat. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, volume sampah yang dihasilkan meningkat drastis, menyebabkan tantangan besar dalam pengelolaannya. Namun, di tengah krisis ini, muncul berbagai inisiatif yang tidak hanya bertujuan untuk menanggulangi masalah sampah, tetapi juga memperkuat kesadaran warga akan pentingnya menjaga lingkungan.
Mahasiswa Magister Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial, Hukum dan Ilmu Politik Universitas Negeri Yogyakarta Daffa Fakhri Maulana, baru saja menyelesaikan penelitian tesisnya setebal 664 halaman dengan judul ‘Penguatan Kewarganegaraan Ekologis Melalui Kebijakan Pengelolaan Sampah Untuk Menjamin Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat di Kota Yogyakarta’ dengan pembimbing Dr. Nasiwan, M.Si. Penelitian ini memberikan pandangan mendalam mengenai bagaimana kebijakan pengelolaan sampah di Yogyakarta tidak hanya berfungsi untuk menangani sampah tetapi juga menjadi alat untuk mendidik dan memberdayakan masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Dalam tesisnya, Daffa mengungkapkan penguatan kewarganegaraan ekologis dapat terlihat melalui berbagai kebijakan pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta, diantaranya Laron Sarungan, Gerakan Zero Sampah Anorganik, Gerakan Mbah Dirjo, dan Bank Sampah. Kebijakan ini memperkuat seluruh dimensi kewarganegaraan ekologis dan memengaruhi penjaminan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, secara prosedural maupun substantif; “Hambatan yang terjadi adalah ancaman egosentrisme yang meliputi terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM), kurangnya kesadaran masyarakat, sulitnya regenerasi dan demotivasi pengurus dan ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan” katanya. Selain itu adanya aktivitas pembuangan sampah masyarakat luar domisili Kota Yogyakarta dan wisatawan, produksi Sampah Plastik Sekali Pakai (PSP) yang tidak terkendali, terbatasnya lahan, serta terbatasnya jumlah pelapak dan fluktuasi harga sampah. Menurut Daffa solusi untuk mengatasi hambatan berdasarkan pada paradigma ekosentrisme yang mencakup penambahan Sumber Daya Manusia (SDM) dan unit, intensifikasi sosialisasi, pendampingan dan penghargaan, kerjasama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pengawasan dan penindakan secara ketat dan tegas serta kerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, mendorong penggunaan metode alternatif pengelolaan sampah organik, serta membentuk Bank Sampah Induk (BSI).
Daffa menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menghadapi tantangan lingkungan. "Kebijakan pengelolaan sampah yang telah diimplementasikan di Yogyakarta menunjukkan bahwa dengan keterlibatan semua pihak, tantangan sebesar apapun dapat diatasi. Penguatan kewarganegaraan ekologis adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap warga negara merasa memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang mereka tinggali," ujarnya.
Namun, penelitian ini juga mengungkap berbagai tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya mengelola sampah secara efektif. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat, terutama di beberapa komunitas yang masih menganggap pengelolaan sampah sebagai tanggung jawab pemerintah semata. Selain itu, tidak terkendalinya sampah residu, produksi sampah plastik sekali pakai oleh masyarakat, serta minimnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan sampah, juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan program-program tersebut secara maksimal.
Untuk itu, ia merekomendasikan perlu adanya program-program pelatihan yang lebih intensif, pengembangan kebijakan tambahan yang mencakup pengelolaan sampah residu, pengembangan formulasi kebijakan partisipatif yang mengintegrasikan teknologi, serta pembatasan produksi sampah plastik sekali pakai.
Lebih jauh lagi, Daffa berharap hasil penelitiannya dapat menginspirasi kota-kota lain di Indonesia untuk mengembangkan kebijakan pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan berbasis pada partisipasi aktif masyarakat. "Penguatan kewarganegaraan ekologis bukan hanya tentang menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama terhadap masa depan planet ini," tambahnya.
Melalui kebijakan-kebijakan yang telah dijalankan, Yogyakarta kini tidak hanya berusaha mengatasi masalah sampah yang mendesak, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai contoh kota yang berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan hak-hak ekologis warga negaranya. Diharapkan, dengan upaya ini, Yogyakarta dapat terus menjadi pelopor dalam pengelolaan lingkungan yang efektif dan inklusif di Indonesia.