PENDIDIKAN UNTUK PERUBAHAN MASYARAKAT BERMARTABAT

Pendidikan merupakan variabel penting, strategis, dan determinatif bagi perubahan masyarakat bermartabat. Maju-mundurnya kualitas peradaban suatu masyarakat/bangsa sangat bergantung pada bagaimana kualitas pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa hanya bangsa-bangsa yang menyadari dan memahami makna strategisnya pendidikanlah yang mampu meraih kemajuan dan menguasai dunia. Pendidikan merupakan alat terefektif bagi perubahan masyarakat dan pencapaian kemajuan dalam berbagai demensi kehidupan.

Dalam konteks Indonesia, apakah variabel pendidikan telah mampu mengubah dan memajukan masyarakat dalam berbagai demensi kehidupan? Dalam hal tertentu harus diakui bahwa masyarakat Indonesia mengalami berbagai perubahan dan kemajuan dalam berbagai demensi kehidupan. Tetapi perubahan dan kemajuan yang terjadi belum benar-benar perubahan dan kemajuan yang bermartabat (substansial).

Dalam bidang ekonomi, kesejahteraan masyarakat relatif lebih baik daripada masa lalu. Kedewasaan berbangsa dan bernegara juga relatif lebih baik daripada masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan kedewasaan berdemokrasi dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Dalam bidang keamanan relatif lebih aman dibandingkan masa lalu. Namun semua itu lebih disebabkan oleh trend global yang memaksa kita untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Budaya konsumtif misalnya, adalah sebuah bukti bahwa perubahan yang terjadi bukan perubahan yang benar-benar bermartabat. Segala sesuatu yang kita gunakan sehari-hari mulai dari kebutuhan pangan, sandang, alat transportasi, alat komunikasi hampir sebagian besar kita ‘beli’. Bukan dari hasil ‘produksi’ anak bangsa.

Jika hal ini kita kaitkan dengan praksis pembelajaran yang terjadi di kelas-kelas, memang masuk akal. Karena kelas-kelas kita mengkondisikan anak bangsa untuk berperilaku konsumtif. Soal cerita matematika SD dari dulu hingga kini masih saja seperti ini, “Ani membeli 10 buah apel, satu buah harganya Rp1000,00, berapa Ani harus membayar? Mengapa tidak Ani menjual? Kata menjual mengkondisikan anak bangsa untuk lebih produktif. Begitu juga dalam matapelajaran prakarya, ketika anak diminta gurunya membuat suatu produk maka biasanya orangtua yang ribut membuatkan atau bahkan membelikan. Anak bangsa dikondisikan untuk ‘tidak boleh produktif’.

Hal ini diperparah dengan tradisi kemandirian yang rendah. Ketika sekolah mengadakan acara perkemahan maka biasanya untuk keperluan makan panitia lebih memilih menggunakan jasa catering daripada meminta anak untuk memasak sendiri. Bahkan ada sebagian orangtua ikut tidur di mobil dekat tenda anaknya. Ini semua mengkondisikan rendahnya kemandirian anak bangsa.

Meskipun begitu kita tetap patut bangga dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap praksis pembelajaran di Taman Kanak Kanak (TK). Pembelajaran di TK dari pagi sampai siang mengkondisikan anak bangsa untuk aktif, kreatif, dan produktif. Aktivitas menyanyi, menggunting, menempel, melipat, mencocok, mewar­nai, melempar adalah pengkondisian luar biasa bagi terbentuknya anak bangsa yang kreatif dan produktif. Praksis pembelajaran seperti inilah yang mampu membe­ri­kan perspektif yang benar terhadap berbagai demensi kehidupan.

Agar pendidikan mampu memberikan perspektif yang benar dalam bidang agama, filsafat, budaya, politik, dan ekonomi, maka paradigma pendidikan kritis merupakan sebuah tawaran menarik  untuk membangun dan mengubah kesadaran masyarakat menuju perubahan masyarakat yang bermartabat. Kesadaran’kritis’ (critical consciousness), lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih siswa untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Pendidikan kritis memandang bahwa dari perspektif agama, pendidikan ditempatkan pada posisi tertingi karena fungsinya yang membentuk perilaku teratur sesuai ajaran Tuhan yang diimaninya. Kemudian dari perspektif filosofis, bahwa pendidikan merupakan upaya humanisasi yang sesungguhnya. Melalui pendidikan maka manusia membentuk, mengkonstruksi dan mengarahkan diri agar menjadi manusia sesungguhnya (humanized human being), makhluk rasional yang memiliki dan memahami nilai humanitas yang berlaku secara universal. Dalam perspektif budaya, pendidikan merupakan upaya sivilisasi, enkulturisasi. Dari perspektif politik, pendidikan dipandang sebagai langkah untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen) warga yang taat aturan, beradab, bertanggung jawab, dan memahami hak dan kewajiban secara proporsional. Kemudian secara ekonomi, adalah jelas bahwa pendidikan merupakan “human capital investment”. Pengetahuan, keteram­pilan, dan etos kerja yang dibentuk melalui proses pendidikan berkorelasi positif bagi peningkatan penghasilan dan kesejahteraan. Karena itulah, perspektif ekonomi meyakini bahwa hanya lewat upaya pendidikan kesejahteraan ekonomi dapat dibangun.

Bagi paradigma konservatif, pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal pendidikan untuk perubahan moderat, maka paradigma pendidikan kritis memandang bahwa pendidikan adalah melakukan refleksi kritis ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju perubahan masyarakat yang bermartabat.

*  Tulisan ini dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 14 Agustus 2014, dalam rangka Peringatan Dies Natalis ke-64 FIP UNY

DR. HARYANTO, M.PD
DR. HARYANTO, M.PD