MERDEKA BELAJAR

Setelah ditunggu publik, akhirnya dalam Taklimat Media, Rabu (11/12) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim mengumumkan empat program kebijakan strategis pendidikan yang dinamai “Merdeka Belajar”. Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Prinsip dari kebijakan ini adalah sekolah memiliki kemerdekaan untuk menilai kompetensi siswa secara komprehensif dalam bentuk tes tertulis, penilaian portofolio dan penugasan (esai, karya tulis, ataupun projek). Guru juga diberi kemerdekaan untuk menentukan sumber soal ujian sekolah, apakah dibuat sendiri ataupun sumber lainnya.

Kedua, Ujian Nasional (UN). Tahun 2020 merupakan akhir dari pelaksanaan UN dan tahun 2021 diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survai Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Arah dari kebijakan ini akan mengacu pada praktik penyelenggaraan PISA dan TIMSS. Menariknya, pelaksaan Asesmen diselenggarakan di tengah jenjang sekolah (misal kelas 4,8,11). Hasilnya tidak digunakan untuk seleksi siswa ke jenjang berikutnya. Ia hanya dijadikan instrumen pemetaan kualitas pendidikan secara nasional, sekaligus mendorong guru untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolahnya masing-masing.

Ketiga, Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP). Dalam penyusunan RPP guru secara merdeka memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP melalui tiga komponen inti RPP yakni tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen (komponen lainnya bersifat pelengkap dan dapat dipilih secara mandiri). Guru cukup menulis 1 halaman terkait tiga komponen inti RPP sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.

Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem Zonasi. Kebijakan ini akan dibuat lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, jalur perpindahan maksimal 5 persen, dan jalur prestasi antara 0-30 persen disesuaikan dengan kondisi daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi.

Keempat kebijakan tersebut membawa tanggapan positif dari masyarakat, politisi, pemerhati dan praktisi pendidikan, terutama terkait UN. Meski begitu penghapusan UN juga mendapat kritikan dari berbagai kalangan termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menganggap ketiadaan UN yang menghasilkan generasi yang lembek. Bahkan JK mengaitkan bahwa sejak UN tidak lagi dijadikan syarat kelulusan siswa (tahun 2015), maka terjadi penurunan mutu pendidikan, hal itu sejalan dengan riset Organisasi Kerjasama dan Pembangunan (OECD) lewat Programme for International Student Assessment (PISA), dimana peringkat Indonesia turun pada tahun 2018 ketimbang 2015, dari peringkat 64 menjadi peringkat 72 dari 79 negara yang disurvai.

Benarkah begitu? Tentu perlu riset untuk menyimpulkan demikian. Namun kritikan JK dan gebrakan Mas Menteri sesungguhnya memiliki titik kesamaan bagaimana kualitas pendidikan Indonesia terus membaik melalui, salah satunya, sistem evaluasi (apapun namanya) yang diselenggarakan oleh negara sebagaimana amanat UU Sisdiknas. Jadi tak perlu bentur-dibenturkan, terlebih bagi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survai Karakter akan mengacu pada praktik penyelenggaraan PISA dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study).  

Kita perlu menunggu secara teknis metode penyelenggaraan asesmen tersebut. Perguruan tinggi (PT) memiliki tanggung jawab memberi masukkan sehingga program tersebut (termasuk 3 Program Merdeka Belajar lainnya) betul-betul memberi dampak positif bagi peningkatan mutu pendidikan.

PISA 2018 dan Turunnya Mutu Pendidikan

Memang kabar tentang penurunnya mutu pendidikan Indonesia yang mengacu pada hasil PISA 2018 membuat kita prihatin. Hasil PISA tersebut menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia masih rendah. Dalam Membaca meraih skor rata-rata 371, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 487. Skor rata-rata Matematika yakni 379 dari skor rata-rata OECD 487. Sedangkan, untuk sains skor rata-ratanya 389 dari skor rata-rata OECD 489.

PISA adalah studi internasional tiga tahunan di bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh OECD beranggotakan 36 negara OECD dan Asosiasi plus 43 negara mitra OECD, untuk mengukur kompetensi yang dibutuhkan untuk kecakapan hidup. Studi PISA dilaksanakan di sekolah-sekolah yang dipilih melalui sampling yang sahih. Pesertanya adalah siswa usia 15 tahun yang dipilih secara acak.

Pada tahun 2018, Indonesia berpartisipasi pada pengukuran literasi membaca, matematika, sains, keuangan, serta kompetensi global. Terpilih sebanyak 400 sekolah sampel tersebar di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK yang duduk di kelas 7 sampai kelas 12. Studi PISA tidak hanya melaporkan capaian literasi setiap negara, namun juga informasi mengenai  aspek demografi, kebiasaan, persepsi, serta aspirasi yang diperoleh dari data respon angket sekolah dan siswa.

DIY dan DKI Ternyata Bisa

Meskipun secara nasional kita mengalami penurunan, namun di sisi lain kita juga perlu bangga karena Indonesia termasuk negara dengan progres tercepat dalam memperluas akses pendidikan. Saat pertama kali mengikuti PISA pada tahun 2000, hanya 39 % penduduk usia 15 tahun bersekolah. Persentase ini meningkat menjadi 85 % pada tahun 2018. Pun hasil rerata PISA 2018 provinsi DIY dan DKI Jakarta membanggakan, 35 poin lebih tinggi dari rerata nasional dan sebanding dengan capaian negara-negara ASEAN.

Itu artinya kualitas pendidikan turut dipengaruhi partisipasi sekolah, orang tua, lingkungan masyarakat, dan dukungan pemerintah daerah sebagai pemegang otonomi pendidikan. DIY dan DKI Jakarta tentu merupakan dua kota pendidikan dengan tingkat literasi masyarakatnya yang tinggi. Sebagian besar guru-gurunya adalah guru-guru penggerak dan merdeka sebagaimana dibayangkan Mas Menteri. Bukan hal yang asing bagi guru kedua propinsi ini mengevaluasi secara komprehensif kualitas siswanya melalui ujian tulis, esai, karya tulis, projek, dan penilaian karakter. Metode pembelajarannya pun kreatif dan tak kaku. Demikian halnya dengan partisipasi pemerintah daerah dan orang tua dalam mendukung pengembangan bakat, minat, dan literasi peserta didik begitu tinggi. Di DIY sendiri, hingga kini Program Jam Belajar Masyarakat sejak pukul 18.00-20.00 masih lestari (meski harus terus diefektifkan).

Saat ini PT kembali menjadi bagian dari Kemdikbud. Itu artinya, kebijakan "Merdeka Belajar" juga menjadi bagian dari tanggung jawab PT terutama PT Kependidikan (LPTK) seperti UNY. Sebagai produsen tenaga guru, LPTK harus berani mengubah kurikulumnya untuk menghasilkan guru-guru Penggerak dan Merdeka. Konsep Guru Merdeka dan Penggerak harus telah menjadi laboratorium di kelas-kelas mahasiswa pendidikan oleh dosen-dosen merdeka dan penggerak. Kemitraan dengan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, Sekolah, PT, Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Swasta tentu tidak bisa diabaikan dalam mendukung kebijakan Mas Menteri. Dengan begitu apapun nama evaluasi pendidikan ke depan, termasuk PISA, insya allah mutu pendidikan Indonesia meningkat. Semoga!

(Artikel telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 13 Desember 2019)

PROF. DR. SUTRISNA WIBAWA, M.PD
rektor