Program Studi Ilmu Sejarah UNY mengadakan kuliah umum dengan mengundang Prof. Martijn Eickhoff dari University of Groningen, Belanda, sebagai pembicara. Acara tersebut berlangsung pada Jumat (21/2/2019) di Ruang Aula Gedung IsDB lantai 4, FIS UNY.
Prof. Martijn Eickhoff sendiri merupakan peneliti senior di Nederlands Instituut voor Oorlongs Documentatie (NIOD) dan mengkhususkan diri dalam studi perang dan budaya (war and culture).
Beliau meneliti sejarah, dimensi budaya dan dampak dari kekerasan skala besar serta perubahan rezim di Eropa dan Asia pada abad ke-19 dan ke-20, dengan penekanan khusus pada aspek ruang, materi dan transtrukturalnya.
Acara dengan tajuk “Public Lecture: Decolonising Heritage in Indonesia” tersebut, dipandu oleh Muhammad Yuanda Zara, Ph.D., dosen sejarah UNY sekaligus sejarawan pentolan University of Leiden.
Sesuai dengan tema kuliah umum, Martijn Eickhoff banyak membahas tentang bagaimana cara orang Indonesia mendekolonisasi warisan mereka di masa lalu.
“Saya coba memberikan contoh pembentukan warisan dalam situs arkeologi di masa kolonial dan pasca-kolonial” ujar profesor asal Belanda tersebut dalam bahasa Inggris. “Bagaimana orang Indonesia berurusan dengan sistem kolonial, yang tidak hanya ekonomi, sosial-politik dan militer, tetapi juga budaya?” imbuhnya.
Berbekal 38 salindia dalam PowerPoint-nya, peneliti senior itu mempresentasikan hasil penelitiannya dalam periode 2008-2013, yang mana ia meneliti transformasi situs-situs arkeologi di masa kolonial dan pasca-kolonial Hindia-Belanda-- kini Indonesia.
“Dengan melihat beberapa sumber kolonial yang saya bagikan kepada Anda hari ini, mengajarkan kepada kita bahwa penciptaan pengetahuan arkeologis juga melibatkan orang Indonesia. Namun, proses mendapatkannya, dan juga aksesnya, serta yang memiliki otoritas, berkenaan dengan ini sangat ditentukan oleh keadaan kolonial,” ujarnya.
Di akhir, Martijn juga memaparkan temuannya yang memberikan kita petunjuk terakhir bagaimana warisan kolonial yang berhubungan dengan warisan prasejarah didefinisikan dan ditangani museum nasional Indonesia. Ia coba membandingkan dua katalog koleksi Prasejarah Museum Nasional tahun 1934 (masa kolonial) dengan 1955 (sepuluh tahun setelah kemerdekaan).
Kesimpulannya, ia menemukan perbedaan perspektif dari keduanya. Dalam katalog tahun 1955, telah terjadi dekolonisasi pertama mengenai warisan Prasejarah, di mana mereka menghapus semua objek mengenai Eropa termasuk Belanda (baca: kolonial).
“Acara ini begitu menarik, banyak yang antusias. Meski profesor berbicara dalam bahasa inggris, namun ini bukan suatu kendala. Terbukti banyak juga tadi yang bertanya,” ujar Alhidayath Parinduri, Ketua Hima Ilmu Sejarah UNY 2020, saat ditanya mengenai jalannya acara.
“Harapannya kedepan, kita semakin memahami persoalan yang berhubungan dengan arkeologi dan cultural heritage. Karena ternyata ini juga menarik,” imbuh mahasiswa berusia 20 tahun tersebut.
Sementara iu, Yuanda Zara, moderator sekaligus dosen sejarah UNY menjelaskan beberapa hal mendasar terkait kuliah umum kali ini. Pertama, ia berpandangan bahwa kehadiran Martijn sebagai pembicara sangatlah penting. Terlebih jika melihat latar belakang dan rekam jejaknya sebagai seorang peneliti senior.
“Salah satu catatan pentingnya (Martijn) adalah bahwa orang Indonesia punya peranan dalam menemukan dan mengekskavasi situs-situs sejarah di Indonesia pada masa kolonial, yang artinya membantah pandangan bahwa hanya arkeolog Belanda yang punya andil,” ujar alumnus Universteit van Amsterdam itu.
“Selanjutnya yang penting lagi terkait tema, yang mana tema seperti ini masih jarang di Indonesia, bahkan bagi arkeolog sekalipun. Prof. Martijn memakai pendekatan yang sedang berkembang di Eropa, yang melihat warisan budaya dalam konteks sosial-politik masa kini.”
Lebih jauh, menurut Yuanda Zara apa yang dilakukan oleh Martijn merupakan sumbangan yang penting bagi mahasiswa ilmu sejarah. Agar kedepannya, mereka dapat membaca warisan budaya dengan lebih dalam dan reflektif. (Muhammad Abdul Hadi/JK)