Sekolah Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyelenggarakan webinar bertajuk "Ujian Nasional dalam Perspektif Pendidikan Berkeadilan dan Humanis". Acara ini menghadirkan dua pembicara utama, yaitu Prof. Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si., dalam sesi pertama dan Dr. Rukiyati, M.Hum., dalam sesi kedua. Webinar ini dimoderatori oleh Suherman, S. Pd., M. Pd., dengan MC Shella Marcellina, S. Pd., M. Pd.
Dalam sesi pertama, Prof. Dr. Sugeng Bayu Wahyono membahas peran Ujian Nasional (UN) dalam kebijakan pendidikan serta implikasinya terhadap keadilan pendidikan di Indonesia. Sejak dihapus pada tahun 2021, UN direncanakan untuk kembali diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026. Menurutnya, kebijakan evaluasi nasional seharusnya selaras dengan konsep pendidikan berkeadilan agar tidak memperdalam kesenjangan sosial. Ia menyoroti perubahan sistem evaluasi pendidikan dari Ujian Penghabisan di era Soekarno hingga EBTA pada tahun 1970-an. Paradigma pendidikan konstruktivistik yang menekankan pembelajaran berbasis pemahaman mendalam (deep learning) dinilai lebih relevan dibandingkan UN yang masih berorientasi pada standar nasional berbasis positivisme. Implementasi UN juga berpotensi bertentangan dengan desentralisasi pendidikan dan menghambat inovasi dalam pembelajaran. Oleh karena itu, pendidikan harus mengakomodasi berbagai potensi siswa, bukan hanya mengukur keberhasilan akademik dalam beberapa mata pelajaran tertentu.
Sesi kedua menyoroti perspektif pendidikan humanis yang disampaikan oleh Dr. Rukiyati. Ia menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pengembangan individu secara holistik, bukan hanya pada hasil ujian semata. Konsep pendidikan humanis yang ia paparkan selaras dengan pemikiran Driyarkara tentang hominisasi dan humanisasi, serta gagasan Notonagoro tentang manusia sebagai makhluk multidimensional. Evaluasi akademik sebaiknya dilakukan secara berkelanjutan dan mencerminkan keberagaman potensi siswa, tidak hanya menilai aspek kognitif. UN dinilai memiliki keterbatasan dalam mengukur kreativitas, keterampilan sosial, dan kecerdasan majemuk. Sebagai alternatif, sistem penilaian yang lebih fleksibel, seperti asesmen berbasis proyek dan portofolio, lebih sesuai dengan prinsip pendidikan humanis. Diskusi interaktif dengan peserta webinar mengangkat beberapa isu penting, antara lain standar evaluasi guru dan siswa yang memerlukan konsistensi kebijakan pendidikan serta penyesuaian kurikulum agar sejalan dengan tujuan evaluasi. Alternatif terhadap Ujian Nasional juga menjadi sorotan, di mana sistem evaluasi yang lebih inklusif perlu mempertimbangkan konteks lokal dan keadilan pendidikan. Transformasi pola pikir guru dan orang tua dalam memahami pentingnya proses pembelajaran daripada hanya fokus pada hasil ujian juga menjadi perhatian utama. Selain itu, pendidikan holistik harus mampu mengembangkan karakter siswa melalui pendekatan yang komprehensif, bukan sekadar soft skills yang dinilai secara formal.
Webinar ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan dan peluang dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Para narasumber sepakat bahwa sistem evaluasi yang adil dan humanis harus menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang menghargai keunikan setiap individu dan tidak hanya mengukur keberhasilan melalui ujian nasional semata. Webinar ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi pemangku kebijakan, akademisi, dan praktisi pendidikan dalam mengembangkan sistem evaluasi yang lebih berkeadilan dan sesuai dengan kebutuhan masa depan.