Refleksi dan Implikasi Multilingualisme Bagi Pendidikan

Prof. Erna saat dikukuhkan menjadi guru besar

Multilingualisme adalah kemampuan atau tindakan individu dan masyarakat dalam menggunakan lebih dari dua bahasa. Multilingualisme muncul karena adanya kebutuhan untuk berkomunikasi antarindividu, lintas masyarakat, lintas suku, lintas bangsa, dan bahkan lintas negara. Di negara Indonesia, konteks multilingual diwarnai dengan keberagaman bahasa daerah yang tersebar di seluruh nusantara, Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan pemersatu bangsa, dan beberapa bahasa asing -terutama yang diajarkan di dunia pendidikan- dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama atas posisinya sebagai bahasa global, dan Bahasa Arab yang sering dikaitkan dengan mayoritas muslim di Indonesia. Menurut Guru Besar Bidang Sociolinguistics Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Prof. Erna Andriyanti ketiga bahasa tersebut penting karena bahasa daerah merupakan pembentuk identitas budaya dan alat untuk melestarikan kearifan lokal, sedangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan alat komunikasi formal, pemupuk rasa nasionalisme, dan alat komunikasi lintas etnis. Bahasa Inggris berperan dalam komunikasi antarbangsa dan negara, memudahkan pergaulan internasional, dan meneguhkan keberadaan penuturnya sebagai warga global. Bahasa Arab merupakan bahasa yang digunakan dalam konteks beribadah dan sebagai alat komunisasi pada setting yang terbatas. Pemahaman kolektif kita atas fungsi dan peran berbagai bahasa ini seharusnya menjadi landasan yang kokoh dalam mengembangkan multilingualisme di Indonesia” katanya, Jumat (5/8) di UNY.

Dosen sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni UNY tersebut mengatakan dalam masyarakat Indonesia yang multilingual tersebut, keberagaman bahasa harus dipandang sebagai anugerah. Indonesia yang bersuku-suku dan berbahasa-bahasa tersatukan dengan Bahasa Indonesia, yang juga merupakan identitas dan penciri kebudayaan nasional yang sentral dan menonjol” ungkap Erna. Di sisi lain, kebijakan pendidikan bahasa asing di Indonesia mewajibkan agar Bahasa Inggris diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Kebijakan ini membuka peluang besar bagi pembelajar untuk cakap menggunakannya. Kompetensi berbahasa Inggris memungkinkan penuturnya untuk menjalin dan menguatkan tali kerjasama, bernegosiasi, berdiplomasi, dan membangun kesepahaman dengan bangsa lain untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keuntungan bersama. Namun menurutnya ada empat tantangan multi-lingualisme yang harus diwaspadai. Tantangan yang pertama adalah ancaman kepunahan terhadap bahasa-bahasa daerah di nusantara. Kedua terkait posisi dan perkembangan Bahasa Indonesia di era globalisasi. Ketiga berhubungan dengan minimnya kemampuan Bahasa Inggris bangsa Indonesia secara umum padahal bahasa internasional ini dianggap memiliki arti yang penting di era globalisasi dan internasionalisasi di berbagai bidang, dan yang keempat adalah peran multilingualisme dalam menopang daya saing bangsa. Saya meyakini bahwa untuk menjadi sebuah bangsa yang besar, kita harus memiliki akar yang kuat dalam tradisi dan kearifan lokal, nasionalisme yang besar, dan sekaligus daya saing global yang tangguh” tuturnya.

Doktor bidang sosiolinguistik Macquarie University Sydney Australia tersebut menyimpulkan pendidikan di Indonesia harus menyeimbangkan posisi bahasa-bahasa lokal, nasional, dan internasional. Indonesia membutuhkan model pendidikan multilingual yang bisa memayungi kehidupan bahasa-bahasa daerah sekaligus mengembangkan Bahasa Inggris dan bahasa asing lain yang relevan dengan kebutuhan rakyat dan bangsanya. “Sebuah negara multilingual sebaiknya mengimplementasikan kebijakan-kebijakan bahasa dalam pendidikan yang berfokus pada bahasa daerah dan bahasa nasional di sekolah dasar dan Bahasa Inggris di sekolah menengah perlu dipertimbangkan penerapannya di Indonesia” papar Erna. Pada akhirnya, menerapkan prinsip tawassuth adil dan seimbang menjadi relevan dalam konteks multilingualisme dan pendidikan multilingualisme. Anggota masyarakat, pendidik, dan juga pemerintah perlu secara proporsional memberikan hak bagi setiap individu untuk menggunakan bahasa yang dimilikinya  dan  mempelajari  bahasa yang  diinginkannya  dan  hak  bagi setiap bahasa untuk ditumbuhkembangkan sesuai fungsinya dan disesuaikan sesuai ranah wilayah penggunaannya. (Dedy)