PENGUKUHAN GURU BESAR BIDANG KURIKULUM PENDIDIKAN VOKASI

Pengembangan kurikulum vokasi perlu merujuk pada filosofi yang diyakini, yaitu esesialisme, pragmatisme, dan konstruktivisme dengan penekanan pada salah satu  filosofi sesuai dengan konteks sosio-demografisnya. Misalnya daerah yang jumlah dan sebaran bisnis dan industrinya memadai dapat merujuk ke filosofi esensialisme. Sebaliknya untuk daerah dengan jumlah pengnggur yang tinggi dan miskin bisnis dan industrinya lebih merujuk pada pragmatism dan konstruktivisme. Untuk itu perlu sinergitas dan sinkronitas antara tingkat nasional dan lokal, khususnya Bapenas dan Bappeda dalam pengembangan kurikulum sekolah vokasi berbasis spektrum jenis dan jumlah keahlian yang diperlukan sehingga prospek lulusan untuk bekerja, melanjutkan, dan wirausaha (BMW) dapat tercapai secara optimal. Demikian diungkapkan Prof. Sutarto, Ph.D dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kurikulum Pendidikan Vokasi pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.   Pidato berjudul “Filosofi dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Vokasi dalam Era Disrupsi” itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY Rabu (20/3). Sutarto adalah guru besar UNY ke-138.

Menurut pria kelahiran Cilacap, 1 September 1953 tersebut, kepedulian pemerintah terhadap pendidikan vokasi, dari masa ke masa, utamanya sekolah menengah kejuruan (SMK) cukup besar. “Di masa Orde Baru, di tahun 1970-an dibangun delapan (8) Sekolah Teknologi Menengah Pembangunan (STMP) dan salah satunya adalah STMP Yogyakarta yang saat ini diubah nama menjadi SMKN 2 Depok Sleman” kata Sutarto. Di tahun 1990-an, di era menteri pendidikan dan kebudayaan, Wardiman Djoyonegoro, merumuskan konsep “Link and Match” antara sekolah kejuruan dan  dunia  usaha  dan  industri  dan  bermuara  pada  penerapan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Program ini mengadaptasikan model pendidikan kejuruan Dual System di Jerman yang dinilai berhasil menghasilkan tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan kebutuhan dan standar dunia usaha dan industri.

Doktor dari The Ohio State University, Columbus, Ohio, U.S.A. tersebut mengatakan, secara umum struktur kurikulum 2013 untuk SMK sudah membekali lulusannya dengan jenis kompetensi dalam aspek BMW dengan penguatan materi perlu ditambahkan sesuai prinsip- prinsip RI-4 dan bahkan RI 5.0 yang melahirkan era disrupsi. Materi yang ditambahkan khususnya tentang digital otomation, software application,  dan  internet  of  things  (IoT),  perhitungan  bersama (cloud computing). Secara terminologi dan substansinya sebutan Kompetensi Inti (KI) perlu di pertimbangkan dikembalikan ke Standar Kompetensi agar sinkron dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dari Kemenaker dan juga sinergi dengan Sistim Pelatihan Nasional (Sislatnas). Pengembangan kapasitas  pengawas, kepala sekolah, dan guru sebagai pelaksana kurikulum sangat vital. Sebaik apapun konsep dan programnya apabila pelaku utamanya tidak mampu memahami, menerima, dan termotivasi untuk melaksanakannya, maka sebaik apapun hasil pengembangan kurikulum tidak akan berhasil dalam pelaksanaannya di sekolah, khususnya di ruang kelas. (Dedy)