Kisah Anugrah Fadly Kreato Seniman: Seni sebagai Jalan Ekspresi dan Prestasi

Hidup Anugrah Fadly Kreato Seniman tidak pernah berjalan mulus. Sejak bayi, ia sudah didiagnosis dokter mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD) disertai gangguan tidur yang sulit diatasi. Masa kecilnya diwarnai upaya orang tua mencari terapi, namun tantangan terbesar justru datang saat ia harus masuk sekolah. Berbagai percobaan dilakukan, mulai dari sekolah negeri, swasta, hingga sekolah khusus. Namun di setiap tempat, Uga, panggilan akrabnya, harus menghadapi lingkungan belajar yang belum sepenuhnya ramah bagi anak autis.

Di Sekolah Dasar, ia sempat merasakan perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman sebaya. Ketika melanjutkan ke jenjang SMP, situasi semakin sulit. Sekolah yang padat membuatnya kesulitan memperoleh dukungan yang sesuai, hingga akhirnya seorang guru menyarankan untuk pindah ke sekolah swasta. Meski demikian, tantangan tetap ada. Di bangku SMP hingga SMA sederajat, Uga harus menghadapi tekanan sosial sekaligus penolakan dari beberapa sekolah kejuruan yang tidak mau menerimanya. Masa remaja itu ia jalani dengan berat, namun tekad untuk terus belajar tidak pernah padam.

Perubahan besar mulai terjadi ketika ia diterima sebagai mahasiswa Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Untuk pertama kalinya, ia merasakan lingkungan belajar yang lebih terbuka dan bebas dari bullying. Di kampus seni itu pula, Uga mulai menemukan dunia baru: berinteraksi dengan mahasiswa asing dari berbagai negara. Meski awalnya ragu dan canggung, ia berangsur percaya diri berbincang dengan mereka. Dari mahasiswa asal Eropa Timur hingga Asia, ia belajar membuka diri dan memperkaya wawasannya. Pengalaman ini menjadi titik balik penting dalam perjalanan sosial dan intelektualnya.

Setelah lulus sarjana atas arahan dosen FBSB UNY Dr. Hajar Pamadhi, Uga melanjutkan studi ke Program Magister Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Di sinilah ia semakin fokus pada panggilan hidupnya: memperjuangkan ruang ekspresi bagi anak-anak autis. Selama kuliah, ia berkesempatan belajar langsung dari akademisi internasional diantaranya Dr. Ratchaneekorn Tongsookdee dari Thailand, Prof. David Evans dari University of Sydney, Prof. Dr. Julia Lee Ai Cheng dari Malaysia, hingga Prof. Hideaki Tanimoto dari University of Tokyo yang memberikan pengalaman berharga tentang penelitian pendidikan khusus. Dari mereka, Uga semakin yakin bahwa seni bukan sekadar karya, tetapi juga sarana komunikasi dan terapi.

Keyakinan itu ia tuangkan dalam penelitian tesis berjudul “Respon Anak Autis Terhadap Kegiatan Pameran Seni Rupa I’M POSSIBLE: Ekspresikan Dirimu.” Penelitian ini mengkaji pameran seni rupa yang melibatkan anak autis sebagai pelaku kreatif. Bagi Uga, pameran ini lebih dari sekadar ruang pamer: ia menjadi wadah bagi anak-anak autis untuk menunjukkan identitas, kemampuan, sekaligus cara pandang mereka melalui seni.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keterlibatan anak autis dalam pameran seni memberikan dampak positif yang nyata. Mereka menjadi lebih percaya diri karena mendapat apresiasi publik, melatih konsentrasi, menyalurkan emosi, sekaligus meningkatkan interaksi sosial. Seni rupa, baik melalui proses penciptaan maupun pameran, terbukti berfungsi sebagai terapi yang menguatkan keterampilan komunikasi dan memperkaya pengalaman estetis anak.

Bagi Uga, penelitian ini memiliki makna ganda. Selain kontribusi akademis, ia sendiri adalah penyandang autisme. Sensitivitas pribadinya membuat ia mampu memahami respon anak autis dengan lebih empatik. Ia tidak sekadar meneliti, tetapi juga merasakan pengalaman itu secara mendalam. Hal inilah yang menjadikan tesisnya sarat dengan nilai kemanusiaan.

Perjalanan panjang penuh tantangan itu akhirnya berbuah manis. Pada Wisuda UNY Periode Agustus 2025, Anugrah Fadly Kreato Seniman resmi meraih gelar Magister Pendidikan Luar Biasa dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,45. Baginya, capaian ini bukan hanya prestasi akademik, melainkan bukti nyata bahwa keterbatasan tidak pernah menjadi penghalang. Angka itu bukan sekadar capaian akademik, melainkan simbol perjuangan yang penuh keteguhan hati. “Seni dan pendidikan adalah jalan pengabdian saya,” ungkapnya. “Saya ingin agar anak-anak autis memiliki ruang yang luas untuk mengekspresikan diri, didengar, dan dihargai.”

Selain dukungan dosen dan teman sebaya, keberhasilan Uga juga tidak lepas dari peran Pusat Studi Disabilitas UNY pimpinan Prof. Dr. Ishartiwi, M.Pd. Lembaga ini menjadi ruang yang ramah dan memberikan berbagai pendampingan, mulai dari aksesibilitas layanan, ruang konsultasi, hingga dukungan moral yang sangat berarti bagi mahasiswa dengan kebutuhan khusus. Prof. Ishartiwi bersama tim selalu membuka pintu bagi Uga, memberikan arahan, serta meyakinkan bahwa perbedaan bukanlah hambatan untuk berprestasi. Kehadiran pusat studi ini memperlihatkan bahwa universitas benar-benar berkomitmen mewujudkan pendidikan tinggi yang inklusif, sehingga mahasiswa seperti Anugerah bisa berkembang sesuai potensinya. Dosen pembimbing dalam penulisan tesis Dr. Sukinah, M.Pd, bersyukur mendalam bisa mendampingi seorang mahasiswa dengan ASD hingga meraih gelar Magister. Kini, Uga masih menyimpan cita-cita besar: melanjutkan studi ke jenjang doktoral.

Kisah Uga menjadi pengingat bahwa setiap keterbatasan selalu menyimpan potensi. Dengan semangat, dukungan, dan kesempatan, keterbatasan itu dapat berubah menjadi kekuatan. Lewat seni, ia tidak hanya menemukan jalannya sendiri, tetapi juga membuka ruang bagi anak-anak autis lainnya untuk bersinar tanpa batas.

Penulis
Nazwa Shesaria Hazahra
Editor
Dedy
Kategori Humas
IKU 1. Lulusan Mendapat Pekerjaan yang Layak