Beberapa tahun belakangan pemberitaan tentang kelangkaan air tanah di wilayah perkotaan menghiasi sejumlah berita harian. Kelangkaan air tanah ditandai dengan semakin dalamnya permukaan air sumur karena tingginya pengambilan air tanah dan semakin menurunnya air hujan yang meresap dalam tanah karena terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Pesatnya perluasan lahan terbangun (built area) mengancam keberadaan daerah resapan. Untuk itu perlu diketahui sebaran luas daerah resapan yang fungsinya telah terganggu oleh adanya lahan yang sudah terbangun (built area). Demikian disampaikan oleh Drs. Suhadi Purwantara, M.Si. Dosen Jurusan Pedidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY) pada ujian terbuka untuk memperoleh derajat Doktor pada hari Rabu (30/1/2019) di Auditorium Merapi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM). Adapun Promotor disertasi adalah Dr. Slamet Suprayogi, M.S. sedangkan Ko-Promotor yaitu Prof. Dr. Ig. I. Setyawan P., M.Si. dan Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc.
Dalam disertasi yang berjudul “Optimalisasi Fungsi Resapan pada Kawasan Terbangun di Dataran Kaki Lereng Merapi Sisi Selatan”, Suhadi mengkaji ciri atau karakteristik resapan, menentukan kawasan resapan potensial pada lahan terbangun (built area), dan merencanakan fungsi resapan yang optimal dengan mengestimasi jumlah sumur resapan. Menurut kajian Suhadi, laju infiltrasi di daerah penelitian cenderung tinggi. Hal ini berdasarkan analisis kapasitas infiltrasi model Horton. Semakin jauh dari kawasan perkotaan semakin rendah luas lahan terbangun, sebaliknya semakin dekat wilayah perkotaan semakin luas lahan terbangunnya. Kawasan terbangun yang sangat potensial sebagai daerah resapan tersebar baik pada ketinggian di bawah 200 meter hingga sekitar Selokan Mataram, maupun daerah timur laut dengan ketinggian hingga 400 meter di daerah penelitian.
Pengoptimalan fungsi resapan di wilayah terbangun diperlukan agar cadangan air tanah tidak semakin berkurang yaitu dengan cara membangun resapan buatan, berupa sumur resapan di daerah yang permukaan air tanahnya memenuhi syarat. Estimasi sumur resapan yang dibutuhkan bervariasi tergantung dasar penentuan. Estimasi jumlah sumur resapan yang optimal apabila hanya berdasar kapasitas infiltrasi mencapai 332.152 buah, bila berdasar kedalaman air tanah mencapai 501.307 buah, bila dengan dasar kapasitas infiltrasi dan kedalaman air tanah sebanyak 445.578 buah sumur resapan dengan berbagai dimensi. Untuk wilayah penelitian, karena rerata kapasitas infiltrasi sangat cepat, dan kedalaman bervariasi, maka direkomendasikan menentukan jumlah sumur resapan berdasarkan kapasitas infiltrasi dan kedalaman air tanah.
Melalui penelitiannya Suhadi menawarkan beberapa rekomendasi. Pertama, kecepatan pembangunan permukiman di wilayah penelitian sulit dibendung, apabila masyarakat tidak mengimbangi dengan pembuatan resapan buatan, maka permukaan air tanah semakin dalam, ancaman banjir lokal dan banjir bandang semakin tinggi. Untuk itu pemerintah disarankan segera melakukan pemetaan jumlah sumur resapan yang telah ada untuk kemudian mengestimasi kekurangannya. Kedua, pembangunan resapan buatan di daerah air tanah dangkal cukup dilakukan dengan sumur resapan terbuka, terutama hanya untuk mengurangi banjir. Ketiga, pembagunan resapan buatan hendaknya memperhatikan riset terbaru tidak hanya laju infiltrasi tetapi juga kedalaman air tanah, karena berdasarkan laju infiltrasi dan kedalaman air tanah dapat digunakan untuk menentukan estimasi kedalaman dan jumlah sumur resapan. (Eko)