Jejak Gender dalam Ritual Tebus Laku: Mahasiswa UNY Teliti Peran Perempuan Sedulur Sikep

Malam Selasa Kliwon di bulan Sura menjadi pengalaman tak biasa bagi sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Di tengah kesunyian Desa Karangpace, Klopoduwur, Blora, mereka larut dalam prosesi sakral Tebus Laku, tradisi adat komunitas Sedulur Sikep atau Suku Samin. Bukan sekadar menyaksikan, mereka meneliti peran penting perempuan di balik ritual yang diwariskan lintas generasi ini.

Penelitian tersebut dilakukan oleh tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) UNY yang beranggotakan Sabta Yoga Pratama (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Shilvina Maryanto Putri (Pendidikan Bahasa Jawa), Muhammad Nur Fauzan (Pendidikan Bahasa Inggris), Muhammad Wildan Machsun (Pendidikan Kriya), dan Gabriella Elizabet Widhi Purwandani (Pendidikan Sosiologi), dengan bimbingan seorang dosen pendamping Dr. Else Liliani Ketua Tim PKM Sabta Yoga Pratama menjelaskan, Ritual Tebus Laku dilaksanakan melalui tiga prosesi utama: deder, ngrowot, dan ruwatan. Dalam setiap tahapannya, perempuan hadir sebagai figur sentral. Mereka mempersiapkan sesaji, mengatur jalannya acara, hingga memastikan kelancaran seluruh prosesi. “Kami menyaksikan bagaimana perempuan bukan hanya pelengkap, tetapi tokoh krusial dalam ritual. Dari awal hingga akhir, peran mereka sangat dominan,” ujarnya seusai mengikuti prosesi ruwatan.

Lebih jauh, komunitas Sedulur Sikep memandang perempuan sebagai sosok dengan laku spiritual tinggi berkat pengalaman hidupnya sebagai ibu. Sementara laki-laki justru dituntut menyeimbangkan diri melalui ritual. Filosofi ini menjadi temuan penting riset, karena menunjukkan bahwa kesetaraan gender di masyarakat adat bukan sekadar wacana, melainkan praktik nyata.

Menurut Shilvina Maryanto Putri tujuan riset ini adalah mengkaji representasi peran perempuan dalam makna filosofis, prosesi, dan dampaknya terhadap kesetaraan gender. Tim berharap hasil penelitian dapat memperkaya literatur sosial humaniora sekaligus memberi rekomendasi strategi kebijakan berbasis kearifan lokal. “Ada filosofi mendalam di sini. Perempuan dihormati bukan lewat teori, melainkan melalui praktik adat. Itu yang membuat penelitian ini begitu berharga,” tambah Shilvina.Selain menghasilkan laporan ilmiah dan artikel akademik, tim juga menyiapkan luaran berupa publikasi di media sosial untuk memperkenalkan kearifan Sedulur Sikep kepada masyarakat luas.

Penelitian mahasiswa UNY ini disambut hangat oleh para sesepuh Sedulur Sikep. Mereka menilai riset tersebut mampu mengenalkan ajaran leluhur kepada generasi muda sekaligus menjaga eksistensi komunitas adat. “Kami senang ada mahasiswa yang meneliti tentang ajaran kami. Itu membuat eksistensi Sedulur Sikep dapat terus terjaga,” ungkap Sariyono (42), salah satu tokoh adat.

Dengan pendekatan etnografi, tim UNY terjun langsung ke lapangan, melakukan observasi partisipatif, wawancara dengan tokoh adat, serta studi dokumen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang konstruksi gender berbasis kearifan lokal serta mengikis stigma bahwa budaya adat selalu identik dengan patriarki. Melalui program ini, mahasiswa UNY membuktikan bahwa penguatan kesetaraan gender tidak hanya dapat diperjuangkan melalui regulasi modern, tetapi juga dapat dipetik dari kearifan tradisi lokal yang telah teruji oleh waktu.

Penulis
Tim PKM Sedulur Sikep
Editor
Dedy
Kategori Humas
IKU 2. Mahasiswa Mendapat Pengalaman di Luar Kampus