PERAN SASTRA DALAM UPAYA PENYADARAN KEADILAN GENDER DAN KEADILAN EKOLOGIS:DARI FEMINISME KE EKOFEMINISME

Izinkan saya membacakan sebuah puisi yang saya tulis sebagai refleksi terhadap perjuangan para perempuan yang ikut menginspirasi saya untuk terus belajar dan berkarya termasuk sebagai akademisi.

 

Surat seorang Ibu Kepada Anak-Anaknya

 

Coba kau baca lagi Surat-surat Kartini

Simak nyanyiannya rasakan mimpinya

Sentuhlah hangat tinta yang dipakai untuk menulis kisahnya

maka kau akan paham mengapa nenek kita dulu

tak pernah menuntaskan sekolahnya

mengapa nenek kita dulu begitu pandai memasak makanan lezat

dan sangat rapi mengatur rumah?

 

Sudahkan kau tuntaskan membaca kisah

gadis belia Rohana Kudus mengajar baca tulis

teman bermainnya usai melahap habis

perpustakaan ayahnya yang dijadikan ruang bermain

dan belajarnya tanpa guru?

 

Coba kau simak lagi perjalanan Martha Christina

yang mengorbankan masa remajanya

meninggalkan buku-buku pelajaran

menjadi Srikandi mengusir penjajah.

 

Yogyakarta, 22 Desember 2016

 

Persoalan keadilan gender dan degradasi lingkungan hidup merupakan dua hal yang meskipun klasik, sampai saat ini tetap belum terselesaikan di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan Catatan Tahunan 2020 Komnas Anti Kekerasan  terhadap Perempuan  yang dirilis  6 Maret  2020, tercatat (1) ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri atas 421.752 kasus yang bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama; (2) ada 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengadalayanan yang tersebar di sepertiga provinsi di Indonesia; dan (3) ada 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung maupun menelepon ke Komnas Perempuan. Dari 1.419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berbasis gender 142.

 

Data degradasi lingkungan hidup, yang pasti akan berdampak pada manusia, antara lain dirilis oleh Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dalam Dialog Nasional Walhi di Medan, Sumatera Utara, 23 April 2018, bahwa selama ini telah terjadi ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, Indonesia mengalami kondisi darurat ekologis (https://walhi.or.id/tinjauan-lingkungan- hidup-2018/). Dalam catatan Walhi, sekitar 159.178.237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30,65% wilayah Indonesia (darat dan laut). Sebagai gambaran, luas daratan Indonesia  sekitar  191.944.000 hektar  dan  luas  laut mencapai 327.381.000 hektar. Sebaran izin tersebut, 59,77% ada di darat dan 13,57% di laut.

 

Penggunaan ruang bisa lebih besar, apabila data perizinan daerah dapat teregistrasi atau dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian atau lembaga (https://walhi.or.id/- tinjauan-lingkungan-hidup-2018/). Walhi juga mencatat, ada 302 konflik lingkungan hidup dan agraria terjadi sepanjang 2017, serta 163 orang dikriminalisasi. Data ini bersumber dari 13 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua (http://www.mongabay.co.id/- 2018/04/24). Hidayat (2018) juga menyatakan bahwa darurat ekologis tersebut telah menimbulkan bencana ekologis yang tidak hanya hanya merugikan, tetapi juga menyengsarakan manusia. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis, disebabkan meningkatnya frekuensi angin puting beliung sebagai dampak perubahan iklim (Hidayati, 2018).  Data terkini yang dirilis oleh WALHI pada Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2020 menyebutkan bahwa saat ini ancaman terhadap lingkungan di Indonesia bukan hanya pandemi, tetapi juga makin mengguritanya rezim investasi. Dalam catatan WALHI, sekitar 61,46% daratan dikuasai oleh korporasi sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan migas. Ketimpangan yang sangat tinggi tersebut ditegaskan data penguasaan lahan yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 yang mencapai angka 0,68.31. Artinya, 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan. Selain itu, kerusakan lingkungan masih terus terjadi (https://www.walhi.or.id/lingkungan-hidup-terancam-rezim-investasi).

 

Bagaimana ilmu sastra berhadapan dengan kedua masalah tersebut? Apakah para ilmuwan sastra hanya akan menjadi penonton pasif? Tentu saja tidak. Seorang ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang dipikul di bahunya. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individu, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat di- manfaatkan oleh masyarakat (Suriasumatri, 2001:237). Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus mampu memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari (Suriasumantri, 2001:241). Sebelumnya, Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf dari Inggris juga telah mengemukakan berbagai macam permasalahan hidup manusia harus diatasi dengan mengembangkan ilmu pengetahuan (Prasetyono, 2013:189).

 

Sebagai salah satu ilmu humaniora, ilmu sastra juga harus berperan dalam mengatasi berbagai macam permasalahan hidup manusia, termasuk masalah ketidakadilan gender dan degradasi lingkungan hidup. Dengan kemampuan pengetahuannya yang diperoleh melalui proses penelaahan ilmiah, ilmuwan sastra diharapkan mampu menempatkan masalah yang dihadapi masyarakat pada proporsi yang sebenarnya, memberikan perspektif yang benar: untung ruginya, baik buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan (Surjasumantri, 2001:240-241).

 

Izinkan saya menguraikan bagaimana ilmu ssatra dan ilmuwan sastra ikut berperan dalam memahami dan memecahkan masalah sosial, terutama ketidakadilan gender dan degradasi lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita. Dua hal tersebut saling berkaitan karena ketidakadilan gender dapat menimbulkan degradasi lingkungan hidup, sebaliknya degradasi lingkungan hidup yang disebabkan oleh ketidakadilan gender akan lebih memarginalkan perempuan. Ilmu sosial humaniora yang berkecimpung dalam kedua masalah tersebut dikenal dengan dengan istilah feminisme dan ekofeminisme.

 

Dalam konteks ilmu sastra dikenal kritik sastra feminis dan kritik sastra ekofeminis. Kritik sastra feminis merupakan praktik pemahaman terhadap fenomena sastra, baik yang berorientasi pada karya sastra maupun penulisnya dengan memfokuskan pada masalah ketidakadilan gender. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700-an (Madsen, 2000:1). Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarkat (Ruthven, 1985:6). Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi gender, terutama ketika perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Flax, dalam Nicholson, 1990:40). Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan opresi perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986:22). Humm (1986:14-15) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah sastra sebelum munculnya kritik sastra feminis dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskripsikan tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya.

 

Feminisme merupakan salah satu aliran pemikiran dalam  ilmu sosial humaniora yang mencoba memahami mengapa di dalam masyarakat terjadi ketidakadilan gender, apa yang menyebabkan, dan apa akibat yang ditimbulkannya. Sebagai aliran pemikiran dan gerakan sosial, feminisme berawal dari kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad ke-19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood (Abrams, 1999:88; Arivia, 2006:18-19; Wiyatmi, 2013:45). Berbagai pertemuan para ilmuwan dan aktivis yang mematangkan feminisme selanjutnya antara lain adalah (1) Konvensi Hak-hak Perempuan yang diadakan di Seneca Falls, New York pada tahun 1848. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh Elizabeth Cady Stanton dan dihadiri oleh 300 perempuan dan laki-laki (Madsen, 2000:3-7; Tong, 2006:31). Pertemuan tersebut menghasilkan pernyataan sikap (declaration of sentiments) dan dua belas resolusi. Deklarasi pernyataan sikap tersebut menekankan isu yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Mill dan Taylor di Inggris, yang ter- utama berhubungan dengan kebutuhan untuk mereformasi hukum perkawinan, perceraian, hak milik, dan pengasuhan anak (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:31). (2) Tahun 1869 Susan B. Antony dan Elizabeth Cady Stanton mendirikan National Woman’s Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Nasional), di- susul dengan Lucy Stone yang mendirikan American Woman’s Suffrage Association (Asosiasi Gerakan Hak Pilih Perempuan Amerika) untuk mengembangkan amandemen hak pilih untuk konstitusi (Madsen, 2000:6; Tong, 2006:33).

 

Di Indonesia semangat feminisme tampak pada pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya untuk para sahabatnya  di Belanda yang akhirnya dikumpulkan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Gagasan emansipasi perempuan Kartini terutama, di bidang pendidikan selanjutnya direalisasikan oleh Dewi Sartika yang membuka Sekolah Isteri, yang kemudian diubah namanya menjadi Sekolah Kautamaan Istri di Bandung, 1905, Roehana Koeddoes (Sekolah Kerajinan Amai Setia di Kotogadang, Sumatra Barat, 1911), Rahmah El Junusiah (Madrasah Diniyah Putri di Padangpanjang, 1923), dan Aisyiyah (sekolah-sekolah kejuruan untuk kaum perempuan di Yogyakarta, 1955) (Stuers, 2008:71-103). Selain itu, Konggres Perempuan Pertama yang diselenggarakan di Yogyakarta 22 Desember 1928 dan dihadiri oleh sekitar 1.000 orang, yang terdiri dari perwakilan 23 organisasi perempuan, dengan 15 orang pembicara, juga menunjukkan adanya semangat feminisme yang telah berkembang di era prakemerdekaan Indonesia. Kongres Perempuan tersebut diselenggarakan atas prakarsa Nyonya Soekonto, guru perempuan di sekolah Belanda Pribumi dan anggota Komite Wanito Utomo, seperti Nyi Hadjar Dewantoro dan Soejatin, guru Perguruan Taman Siswa dan anggota Komite Putri Indonesia (Stuers, 2007:133; (Oetoyo-Habsjah dalam Blackburn, 2007:xi).

 

Dari kajian kritik sastra feminis terhadap fenomena sastra Indonesia, tanpak adanya peran sastra untuk menyuarakan dan mengritisi ketidakadilan gender yang ada di masyarakat. Dalam disertasi yang saya tulis sebelumnya (Wiyatmi, 2012:2013) telah dikaji sampel 23 judul novel Indonesia yang terbit antara 1920 sampai pertengahan 2000-an, yang mengangkat isu keterdidikan dan peran perempuan dalam masyarakat. Penelitian tersebut mengungkapkan temuan sebagai berikut.

 

Pertama. Pada beberapa novel Indonesia awal dan yang mengambil latar cerita sebelum kemerdekaan (masa kolonial Belanda) tampak bahwa keterdidikan perempuan masih dikaitkan dengan tujuan untuk mempersiapkan perempuan pada tugas-tugas domesticnya, yaitu sebagai ibu rumah tangga, istri, dan ibu. Pada tahap ini perempuan perlu diberi pendidikan karena dia memiliki tugas untuk mengatur rumahtangganya, membahagiakan dan mendukung aktivitas suami di sektor publik, dan mendidik anak-anaknya sebagai calon generasi muda bangsa. Gambaran tersebut tampak pada novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Para Priyayi. Temuan tersebut menunjukkan masih kuatnya ideologi patriarkat yang mengakar pada masyarakat saat itu, termasuk dalam kesadaran para penulisnya yang juga kaum laki-laki (Merari Siregar, Marah Rusli, dan Umar Kayam). Pada novel-novel tersebut pembagian kerja secara seksual tampak jelas. Perempuan ditempatkan di peran domestik, sementara laki-laki di peran publik.

 

Kedua, Pada novel berikutnya, yang terbit setelah 1930-an dan seterusnya, keterdidikan perempuan sudah dikaitkan dengan mempersiapkan perempuan dalam berbagai peran di sektor publik. Pada sejumlah novel awal, sektor publik yang ditekuni para perempuan adalah bidang pendidikan, sebagai guru di sekolah pribumi dan sekolah milik pemerintah kolonial Belanda. Profesi sebagai guru merupakan profesi perempuan di sektor publik yang paling awal seperti tampak pada novel Layar Terkembang, Kehilangan Mestika, Widyawati, Manusia Bebas, dan Jalan Bandungan. Di samping profesi sebagai guru dalam lembaga pendidikan formal di sekolah, juga terdapat tokoh perempuan yang mengabdikan dirinya untuk memberikan pendidikan nonformal kepada kaum perempuan di daerah terpencil, di Asmat, Papua (Namaku Teweraut) dan masyarakat miskin kota (gelandangan) di tepi Sungai Ciliwung, Jakarta (Burung-burung Rantau). Masuknya kaum perempuan pada sektor publik sebagai guru sebenarnya masih mengikuti pembagian kerja secara seksual di sektor publik. Karakter perempuan yang lemah lembut, sabar, dan penyayang dianggap sesuai dengan pekerjaan di bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar, seperti tampak pada sejumlah novel tersebut. Perkembangan peran perempuan di dunia pendidikan selanjutnya adalah menjadi seorang ilmuwan, yang tampak dalam novel Burung-burung Manyar. Dengan menghadirkan sosok ilmuwan, doktor biologi yang lulus ujian dengan predikat maxima cumlaude, novel Burung-burung Manyar menegaskan gagasan feminisme liberal yang mengemukakan tidak ada perbedaan kualitas intelektual antara perempuan dan laki-laki.

 

Peran tokoh perempuan (Larasati) yang mejabat sebagai Kepala Direktorat Pelestarian Alam Bogor juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas intelektual dan keterampilan yang tidak berbeda dengan laki-laki, sehingga mampu memasuki wilayah kerja yang sebelumnya dipegang oleh kaum laki-laki.

 

Selanjutnya, bidang politik juga mulai dimasuki oleh para perempuan, terutama tahun 1930-an, yang dilatarbelakangi oleh pertumbuhan organisasi perempuan pada masa sebelum kemerdekaan dan Kongres Perempuan pertama tahun 1928. Melalui organisasi perempuan, tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam Layar Terkembang dan Manusia Bebas, dan Belenggu menunjukkan perannya sebagai para emansipatoris perempuan. Mereka mengritisi ketidak- adilan gender yang dialami kaum perempuan pada zamannya. Novel-novel tersebut ditulis dan terbit tahun 1930-1940an ketika Kongres Perempuan Indonesia menjadi peristiwa yang mengemuka pada zamannya. Perjuangan emansipasi perempuan melalui organisasi perempuan menunjukkan bahwa perbaikan nasib kaum perempuan yang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat patriarkat harus dimulai dari kaum perempuan  itu sendiri dan bekerja sama dengan kaum perempuan lainnya dalam sebuah organisasi. Selain melalui organisasi perempuan, juga digambarkan aktivitas kaum perempuan yang bergabung dalam komunitas intektual bersama dengan kaum laki-laki yang memiliki kepedulian terhadap masalah masyarakat dan bangsa (novel Atheis dan Senja di Jakarta). Pada beberapa novel selanjutnya, yang terbit tahun 1970-an dan seterusnya, keterdidikan perempuan telah mempersiapkan kaum perempuan untuk berperan dalam berbagai lapangan pekerjaan, seperti bidang ekonomi, hukum, media komunikasi, kesenian, dan kesehatan. Dalam bidang ekonomi perempuan menunjukkan kemampuan menejerial yang sejajar dengan kaum pria dalam mengelola perusahaan, bahkan juga memberikan perhatian yang besar dalam mengatasi masalah pengangguran (Bumi Manusia, Burung-burung Rantau, Canting, dan Putri). Dengan menggambarkan masuknya kaum perempuan sebagai pengusaha, keempat novel tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat dan keluarga. Tanggung jawab memberikan nafkah keluarga bukan lagi semata-mata tugas laki-laki, suami.

 

Selanjutnya, dengan menggambarkan masuknya kaum perempuan di berbagai lapangan kerja di bidang hukum, media komunikasi, kesenian, dan kesehatan, sejumlah novel yang dikaji telah melakukan dekonstruksi terhadap pembagian kerja secara seksual. Hal ini karena kaum perempuan telah memasuki sektor kerja yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki, seperti pengacara, fotografer dan jurnalistik, koreografer dan peneliti seni, dokter dan perawat di daerah terpencil (Pada Sebuah Kapal, Saman, Larung, dan Namaku Tereraut).

 

Ketiga. Selain berperan di berbagai bidang dalam masyarakat, dengan menggunakan kapasitas keterdidikannya kaum perempuan juga tersadar untuk melakukan kritik dan perlawanan terhadap kuasa patriarkat, baik di sektor domestik maupun publik, dalam upaya menuju kesetaraan gender dan kemandirian perempuan. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender di sektor domestik terwujud dalam kritik dan perlawanan terhadap tradisi pingitan dan kawin paksa yang membelenggu kebebasan perempuan, terutama dalam posisinya sebagai anak. Hal tersebut ditemukan dalam novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Belenggu, Layar Terkembang, Atheis, Widyawati, Bumi Manusia, dan Para Priyayi. Masalah-masalah ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam posisinya sebagai istri, yang dikritisi antara lain adalah perkawinan poligami, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, dan dominasi ekonomi. Perlawanan tersebut terdapat dalam novel Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Kehilangan Mestika, Widyawati, Para Priyayi, Jalan Bandungan, Perempuan Berkalung Sorban, Geni Jora, dan Namaku Teweraut. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender di sektor publik terwujud dalam perlawanan terhadap diskriminasi di bidang pendidikan dan sosial, subordinasi di bidang ekonomi, perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan tenaga kerja dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan layanan kesehatan masyarakat daerah terpencil. Hal tersebut tergambar dalam Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Kehilangan Mestika, Widyawati, Jalan bandungan, Burung-burung Rantau, Canting, Putri, Saman, dan Larung, Namaku Teweraut.

 

Dari kajian tersebut tampak bahwa ilmu sastra telah ikut berperan dalam memahami dan menjelaskan kepada masyarakat pembaca mengenai persoalan keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan dan peran perempuan di ranah domestik dan publik di Indonesia sejak prakemerdekaan sampai 2000-an yang direpresentasikan dalam novel yang ditulis oleh para sastrawan kita.

 

Selanjutnya, penelitian Wiyatmi, Liliani, dan Sari (2020) yang mengkaji konstruksi gender dalam folklore Indonesia dengan perspektif kritik sastra feminis berhasil diungkapkan bahwa di beberapa folklore yang dikaji, yang dalam penelitian ini merupakan karya baru yang ditulis berdasarkan folklore tertulis dan lisan sebelumnya tampak adanya upaya mengedepankan dan memberi tempat kepada tokoh perempuan yang pada karya sebelumnya tidak dianggap sebagai tokoh utama. Dalam karya baru tokoh perempuan yang semula bukan tokoh utama dijadikan sebagai tokoh utama. Hal ini misalnya pada Legenda Pertapaan Ratu Kalinyamat (Istiana dkk, 2017) yang mendasarkan pada Babad Tanah Jawi dan tradisi lisan. Dalam Babad Tanah Jawi kepemimpinan Ratu Kalinyamat juga tidak dikedepankan. Ratu Kalinyamat diceritakan dalam hubungannya dengan Arya Penangsang, sebagai tokoh antagonis yang menyebabkan kematian suami dan adik laki-lakinya. Hal yang sama juga tampak Ratu Rara Kecanawungu (Sayekti, 2010), yang merupakan saduran dari Serat Damarwulan karya Raden Rangga Prawiradirdja yang menggunakan bahasa Jawa. Pada karya yang baru tokoh utamanya Ratu Rara Kecanawungu yang sebelumnya hanyalah tokoh tambahan. Demikian pula penulisan dan penerbitan folklore berlatar Dayak yang bertokoh utama raja perempuan (Nyai Undang dari Pulau Kupang dan Asung Luwan (Dayak Kayan, Kalimantan Utara) merupakan upaya untuk memperkenalkan dan menunjukkan adanya raja perempuan dari Suku Dayak yang selama ini cenderung tidak dikenal.

 

Beberapa temuan tersebut menunjukkan bahwa kesetaraan gender, tidak hanya di ranah domestik, tetapi juga di ranah publik dan telah berlaku di sejumlah wilayah di Nusantara. Bahkan jauh sebelum gagasan dan gerakan feminisme di Barat dinyatakan kemunculannya. Melalui penelitian kami, paling tidak terungkap adanya tujuh raja perempuan yang menjadi tokoh utama dalam folklore, yaitu Nyi Ratu Kidul (Jawa), Ratu Kalinyamat, Nyai Undang (Pulau Kupang, Kalimantan Tengah), Asung Luwan (Dayak Kayan, Kalimantan Utara), Dewi Rengganis (Argopura, Jawa Timur), Ratu Rara Kecanawungu (Majapahit), dan Bundo Kanduang (Pagaruyung, Sumatera Barat). Selain itu, penelitian juga menemukan bahwa di sejumlah etnik di Indonesia mengenal adanya mitos turunnya bidadari ke bumi untuk membawa bahan makanan pokok dan perkawinan bidadari dengan manusia yang dianggap sebagai nenek moyang suku mereka (Jawa, Maluku, Toraja, dan Papua).

 

Dalam perspektif kritik sastra feminis adanya tokoh-tokoh perempuan sebagai raja, pahlawan, dan bidadari yang tersebar dalam folklore dari berbagai daerah menunjukkan bahwa kesetaraan gender (feminisme) telah menjadi spirit dan berlaku di sejumlah wilayah di Indonesia di masa lalu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak kurang lebih abad ke-14 di Nusantara telah ada praktik feminisme, yang dapat dikatakan sebagai feminisme Nusantara. Meskipun kita tidak dapat juga menafikan bahwa di sejumlah wilayah di Nusantara juga masih ada ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, bahkan sampai saat ini. Tidak dapat disangkal bahwa sistem patriarkat yang berkembang di hampir sebagai besar kehidupan di masyarakat di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung juga dipengaruhi cara berpikir modern yang berkiblat ke Barat, termasuk dalam perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan posisi dan peran perempuan di masa lampau, yang sudah mempraktikkan dan menjiwai feminisme tidak tampak atau dianggap tidak representatif jika dibandingkan dengan dominasi patriarki dalam kekuasaan yang lebih luas. Oleh karena itu, terus menerus masih perlu dilakukan kajian feminisme agar posisi dan peran perempuan dalam peradaban di Indonesia tidak terpinggirkan dan tertutup dalam cara pandang patriarki. Itulah yang menjadi salah satu tujuan buku ini ditulis.

 

Dari perspektif kritik sastra feminis tampak bahwa adanya sejumlah folklore bertokoh utama bidadari yang memiliki peran besar dalam kelangsungan hidup manusia di bumi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai perempuan, baik secara fisik, psikologis, dan sosial, terutama dalam relasinya dengan manusia bumi, mereka dicitrakan memiliki kecantikan sempurna dan kualitas yang tinggi dalam kecerdasan dan kesaktian. Dalam hubungannya dengan manusia bumi, mereka hadir sebagai sumber kehidupan, kemakmuran, dan bibit unggul (Dewi Sri, Nawangwulan, Putri Bungsu, Putri Bungso, Putri Sulung, dan Angle) bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi, bahkan menurunkan generasi berikutnya.

 

Identitas gender para bidadari yang setara dengan para dewa dan lebih unggul dari laki-laki dari bangsa manusia menunjukkan bahwa dalam pandangan kolektif masyarakat yang melahirkan folklore tersebut, yang dipengaruhi agama Hindu, perempuan tidak berada di posisi subordinat. Perempuan dipercaya mampu men- jalankan tugas-tugas penting dalam kehidupan, seperti berperang, membawa sumber makanan pokok, bahkan juga menjaga alam, seperti lautan dan memimpin makhluk lainnya. Motif cerita nenek moyang yang berasal dari langit yang ditemukan dalam sejumlah folklore di Indonesia, menurut Sunarti (2018:77) merupakan salah satu bentuk atau upaya untuk menaikkan kehormatan sebuah suku dalam masyarakat tradisional. Kisah-kisah nenek moyang yang berasal dari langit dan kemudian raib kembali ke langit setelah memiliki anak di bumi, seperti dalam “Jaka Tarub dan Nawangwulan,”dan “Mitos Nyi Rara Kidul,” berfungsi untuk meninggikan asal usul masyarakat kolektif dari sebuah suku yang dalam perspektif kritik sastra feminis menempatkan sosok perempuan dalam tempat yang terhormat.

 

Berdasarkan sejumlah temuan tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa kajian terhadap karya-karya sastra lama, termasuk folklore dengan perspektif feminisme akan membuka kembali identitas kaum perempuan dalam masyarakat di masa lampau, yang ternyata telah berperan aktif sebagai subjek sejarah peradaban. Temuan tersebut juga menunjukkan bahwa sebelum muncul dan berkembang feminisme di Barat di Nusantara telah hidup feminisme, yang dapat disebut sebagai feminisme Nusantara, yaitu feminisme yang tidak hanya memberikan hak dan suara kepada kaum perempuan di ranah domestik, tetapi juga di ranah publik, sebagai seorang raja yang diakui kekuasaannya.

 

Melalui penelitian sastra dengan menggunakan kritik sastra ekofeminisme dapat dipahami berbagai masalah lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita, yang digambarkan kembali oleh para sastrawan yang menulis sastra hijau. Ekofeminisme adalah suatu aliran pemikiran dan gerakan dalam feminisme yang menghubung- kan dominasi patriarki atas alam sama dengan penindasan terhadap perempuan (Bianchi, 2012:2; Cumono, 2002:1; Gaard, 1993:13; 2001:159; Warren, 2011:104; Warren & Chaney, 1991:179; Henderson, 1997:130; Tong, 2013:359). Ekofeminisme memadukan pemikiran ekologi dengan feminisme. Oleh karena itu, sebelum meng- gunakan istilah ekofeminisme, Warren & Chaney (1991, 179) meng- gunakan istilah ecologycal feminism. Ekofeminisme memandang bahwa alam dan perempuan dalam masyarakat patriarki, dianggap sebagai objek dan properti yang layak dieksploitasi (Warren & Chaney, 1991, 180; Candraningrum, 2013, 4).

 

Ekofeminisme lahir sebagai gerakan sosial yang menentang eksploitasi atas alam dan perempuan (Warren & Chaney (1991:180. Harvester & Blankinsop, 2010:122, Candraningrum, 2013:4). Istilah ekofeminisme yang diperkenalkan oleh d’Eaubonne melalui buku yang berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) yang terbit pertama kali 1974 (Tong, 2006:366). Sepuluh tahun berikutnya (1987) istilah tersebut dipopulerkan oleh Karen J. Warren melalui tulisannya yang berjudul “Feminis and Ecology” yang dipublikasikan melalui Enviromental Review 9 (1) (1987). Ekofeminisme berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk penindasan manusia, khususnya perempuan, dan alam. Dalam hal ini ekofeminisme memandang bahwa perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam. Ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminisme dengan isu ekologis (Tong, 2006:350).

 

Bermula dari kajian feminis yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dan akademisi di Indonesia, pertengahan 2000-an sejumlah peneliti dan akademisi mulai memberikan pehatian secara khusus pada kajian ekofeminisme. Pusat Kajian dan Studi Gender Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga bekerja sama dengan penerbit Jalasutra pada 2013 menerbitkan sejumlah tulisan hasil kajian ekofemisme dengan judul Ekofeminisme, Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah (Dewi Candraningrum, ed., 2013) dan Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya¸(Dewi Candraningrum, editor, 2013). Pada edisi 80, dengan judul “Tubuh Perempuan dalam Ekologi” (Februari 2014) Jurnal Perempuan menerbitkan sejumlah tulisan dengan tema khusus ekofeminisme. Di Indonesia perhatian terhadap alam dan lingkungan telah merambah berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu sastra. Timbulnya gerakan sastra hijau, yang di Indonesia antara lain digagas oleh komunitas Raya Kultura yang dipelopori oleh novelis Naning Pranoto menunjukkan adanya per- hatian yang serius sejumlah sastrawan dan pecinta sastra terhadap alam dan lingkungan (www.rayakultura.net). Dalam tulisannya mengenai sastra hijau yang disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta, 28 November 2014, Naning Pranoto (2014:3) menyatakan bahwa kehadiran sastra diharapkan dapat berperan besar dalam penyelamatan eksistensi bumi.

 

Contoh kajian ekofeminisme dalam sastra Indonesia lainnya dilakukan Wiyatmi, Nurhadi, dan Santosa (2020) yang mengkaji naskah drama Kisah Perjuangan Suku Naga (W.S. Rendra, 1975). Melalui kajian kritik sastra ekofemnisme terungkap bahwa drama Kisah Perjuangan Suku Naga yang ditulis W.S. Rendra dan dipentaskan oleh Bengkel Teater lahir sebagai salah satu sastra perlawanan yang mengritisi rencana eksploitasi Suku Naga sebagai sebuah kampung adat di Tasikmalaya sebagai area tambang tembaga yang dikelola investor asing. Dalam drama ini digambarkan bagaimana Suku Naga berperang melawan kapitalisme patriarkal yang didukung oleh Ratu dan Menteri Pertambangan dengan bekerja sama dengan wartawan asing (Carlos) dan surat kabar asing untuk memberitakan bencana yang akan menimpa suku Naga jika proyek pertambangan dibuka di permukiman mereka. Selain itu, resistensi terhadap kekuatan kapitalisme patriarki juga didukung oleh sistem nilai tradisional masyarakat yang masih dipegang teguh, terutama berkenaan dengan status tanah adat yang dikonfirmasi oleh peraturan yang melarang penjualan tanah dengan orang-orang di luar desa. Kehadiran tokoh perempuan yang menjadi dalang, juga Setyawati dan Bibi Supaka yang ikut menentang rencana eksplorasi pertambangan di desa mereka menunjukkan adanya nilai-nilai ekofeminisme yang digunakan melawan kekuatan kapitalisme patriarki.

 

Penelitian tersebut berhasil mengungkapkan bahwa perlawanan Suku Naga terhadap rencana pembukaan perusahaan tambang tembaga tampaknya terinspirasi dari kontroversi masuknya kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport. Kontrak karya ini ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU nomor 11 tahun 1967 untuk masa 30 tahun terakhir. Kontrak karya yang ditandatangani pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto diberikan kepada Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 Km persegi. Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan  untuk  61.000  hektar (Nefi,  dkk.,  2018:3;  Astuti, 2018: 548).

 

Mengapa sastrawan dan orang-orang yang peduli terhadap kelestarian lingkungan mengritisi beroperasinya perusahaan tambang multinasional seperti Freeport? Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat dan penghidupan telah menjadi masalah yang terus-menerus di wilayah tambang PT. Freeport dan telah banyak didokumentasikan di media nasional dan internasional, di antaranya yaitu deforestasi dan polusi akibat limbah dibuang langsung ke Sungai Agabagong lalu menyusut ke Sungai Aikwa dan kemudian ke Laut Arafura. Deposisi limbah tambang langsung ke Sungai Aikwa menyebabkan banjir yang menghancurkan sebagian besar hutan dataran rendah dan mengancam kota Timika (Astuti, 2018:549). Itulah yang dikhawatirkan akan menimpa Suku Naga apabila proyek pertambagan dibuka di Bukit Seloka, maka Suku Naga terancam digusur, selain itu kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari.

 

Agar bencana alam dapat dihentikan dan diatasi, eksploitasi alam yang berlebih-lebihan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan harus diperbaiki. Proyek pembukaan ladang baru yang di- gambarkan dalam Kisah Perjuangan Suku Naga dan kesadaran kembalinya para pemuda yang telah belajar di luar kota (negara) (Kisah Perjuangan Suku Naga) menunjukkan adanya upaya menghentikan dan memperbaiki kerusakan lingkungan. Drama menunjukkan bahwa pembukaan proyek tambang di Perkampungan Suku Naga berhasil digagalkan, namun tidak demikian dengan proyek pariwisata. Sampai saat ini Suku Naga masih eksis sebagai salah satu kampung adat di Tasikmalaya. Seiring dengan perkembangan zaman, Suku Naga tidak terlepas dari proses pembangunan. Penelitian terhadap Kampung Naga yang dilakukan oleh Nugroho, dkk (2018:203-218) menunjukkan bahwa pada kurun 1975-2010 Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya telah melakukan pembangunan pariwisata di Kampung Naga dengan tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Namun, masyarakat Kampung Naga melakukan respons negatif terhadap pembangunan tersebut. Respons negatif tersebut disebabkan adanya perbedaan pemaknaan terhadap konsep pariwisata. Bagi masyarakat Kampung Naga, pariwisata bermakna silaturahmi yang bertujuan mempererat persaudaraan, sedangkan bagi pemerintah adalah aset untuk mendapatkan keuntungan finansial. Masyarakat Kampung Naga tetap menjaga kesucian kampungnya dengan tiga tuntunan hidup yang diajarkan dan diwariskan oleh leluhurnya, yaitu papagon hirup, pamali, dan patilasan, yang sering dilupakan dalam pengem- bangan wisata (Nugroho, dkk., 2018:214). Apa yang terjadi di Kampug Naga saat ini ternyata telah dibayangkan oleh Rendra melalui naskah drama yang ditulisnya tahun 1975.

 

Kajian ekofemnisme terhadap novel-novel karya Ayu Utami pernah dilakukan oleh Wiyatmi, Suryaman, dan Sari (2016). Dari penelitian yang mengkaji Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa, dan Maya terungkap bahwa ketiga novel tersebut menggambarkan perjuangan tokoh dalam melawan kuasa patriarki atas alam, lingkungan, dan perempuan yang terjadi di kawasan taman bumi Sewugunung dan situs candi Calwanarang di era Orde Baru. Perlawanan tersebut dilakukan oleh Parang Jati, Suhubudi, Marja Manjali,  Mbok Manyar. Kuasa patriarki yang dilawan oleh tokoh-tokoh tersebut adalah praktik panjat tebing yang merusak alam, penambangan kapur, batu, penebangan pohon secara besar-besaran, pemaksaan menanam padi jenis tertentu, pengebiran terhadap komunitas tertentu, dan marginalisasi perempuan mantan anggota Gerwani. Perlawanan tersebut diawali dengan pertemuan Parang Jati dengan Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang telah berhasil menjalankan ekspedisi di sejumlah tebing di Jawa Barat dan merambah ke Sewugunung. Praktik panjat tebing yang selama ini dilakukan oleh Sandi Yuda dan kawan-kawannya, ternyata menyalahi aturan panjat tebing yang seharusnya. Dengan menggunakan alat bantu panjat berupa bor, paku, dan pasak untuk memaku dan mengebor tebing yang akan dipanjat, ternyata mereka sudah melakukan kekerasan yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran tebing. Parang Jati menganggap praktik panjat seperti itu sebagai panjat kotor, karena melukai dan memperkosa alam. Dalam hal ini Parang Jati menganggap alam sebagai simbol femininitas, sehingga memanjat tebing sambil melukainya, sama dengan memperkosa perempuan.

 

Penelitian ini juga menjunjukkan bahwa lokasi Sewugunung yang menjadi latar cerita dalam serial novel Bilangan Fu merupakan lokasi fiksional yang mengacu pada Gunungsewu Geopark yang ada di dekat pantai selatan perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terutama Gunung Kidul dengan Jawa Timur (Pacitan) (www.gunungsewugeopark.org). Selama bertahun-tahun, lokasi ini telah menjadi area penambangan karst oleh warga setempat  dan para pengusaha. Hal ini menimbulkan keprihatinan para aktivis lingkungan. Bahkan Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) DIY, Suparlan menyatakan bahwa penambangan karst jelas merupakan tindakan yang menghancurkan kawasan lindung geologis secara sistemik. Karst sebagai potensi wisata Gunung Kidul tidak mungkin diperbaiki apabila mengalami kerusakan.  Oleh karena itu, pihaknya telah mengeluarkan surat pernyataan dukungan kepada Pemkab Gunung Kidul bernomor 178/B-II/WY/ED/VII/- 2011 yang dikirim kepada bupati tentang upaya pengelolaan dan penyelamatan karst dari eksploitasi para penambang (www.antara- news.com/berita/266060/). Kerusakan ekosistem karst Gunung- sewu juga telah mendorong para aktivis lingkungan, instansi terkait, dan akademisi untuk mengatasi mengatasi masalah tersebut. Pada  27 November 2007 Kementerian Negara Lingkungan Hidup memfasilitasi lokakarya penyusunan Renstra Konservasi dan Pengendalian Kerusakan Kawasan Karst Gunungsewu, yang melibatkan instansi pusat, pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan kelompok masyarakat dari tiga kabupaten terkait yang diselenggarakan di Wisma Magister Managemen Universitas Gadjah Mada (www.- menlh.go.id/). Dalam novel Bilangan Fu peristiwa ini digambarkan pada kegiatan yang diikuti Parang Jati sebagai salah satu orang yang terlibat aktif dalam upaya konservasi dan pengendalian kerusakan kawasan karst Sewugunung (Gunungsewu) (Utami, 2008:451). Kepala desa Sewugunung, Pontiman Sutalip, tidak hanya menjadi agen patriarki yang menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan hidup di desanya, tetapi juga melakukan kekerasan karena melarang warganya menanam padi varietas pribumi dan memaksanya mengganti dengan padi IR yang dianggap sebagai kualitas unggul. Parang Jati menjadi saksi bagaimana ayahnya, Suhubudi dan salah seorang pegawai kepercayaannya, Bandowo tetap mempertahankan menanam padi pribumi di sawahnya.

 

Untuk mewujudkan tanggung jawab ilmuwan terhadap masyarakat, dalam hal ini menumbuhkan kesadaran pentingnya keadilan dan kesetaraan gender dan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, hasil kajian kritik sastra feminis dan ekofeminis dapat implementasinya di pembelajaran di kelas. Hal ini telah dilakukan oleh Wiyatmi, Suryaman, dan Sari 2019) dalam pembelajaran Kritik Sastra dan Metode Penelitian Sastra di Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Sebelas Maret pada 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran materi kritik sastra ekofemis merupakan perspekrif baru yang belum dikenal sebelumnya. Selain itu juga belum tersedia buku dan materi pembelajaran yang mendukung. Oleh karena itu, melalui penelitian tersebut dikembangkan model pembelajaran kritik sastra ekofeminis dan buku ajarnya. Melalui pembelajaran tersebut, mahasiswa dan dosen tidak hanya memahami kerangka konseptual ekofeminisme, mampu menerapkannya dalam praktik kritik (penelitian) sastra, tetapi secara pelan-pelan juga memiliki kesadaran pentingnya ikut ambil bagian sebagai generasi yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu lingkungan hidup yang terjadi di sekitarnya.

 

Dari paparan tersebut tampak bagaimana ilmu sastra telah ikut perperan dalam gerakan kesetaraan gender dan penyelamatan lingkungan hidup. Melalui publikasi hasil penelitian baik melalui jurnal ilmiah, seminar, pembelajaran di kelas, maupun pengabdian kepada masyarakat dapat dilakukan sosialisasi pentingnya kesetaraan gender dan pentelamatan lingkungan hidup dalam relevansinya dengan ilmu sastra. Melalui sosialisasi terus menerus, secara pelan-pelan semoga dapat ditumbuhkembangkan kesadaran pentingnya kesetaraan dan keadilan gender, serta etika lingkungan pada masyarakat, terutama para generasi muda.

 

Sumber:

Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sastra Modern pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, dengan judul “Peran Sastra Dalam Upaya Penyadaran Keadilan Gender dan Keadilan Ekologis: Dari Feminisme ke Ekofeminisme”, Sabtu, 7 November 2020

Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum.
wiyatmi