PEMBELAJARAN STEAM TERINTEGRASI ETNOSAINS MUSIK GAMELAN DAN AOGS DALAM PENGEMBANGAN HOTs MENUJU SDGs BIDANG PENDIDIKAN

Ini merupakan refleksi dari proses Tri Darma Perguruan tinggi selama menjadi ASN Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta ini. Proses pelaksanaan Tri Darma ini melibatkan banyak kolega dosen di Jurusan Pendidikan IPA dan Jurusan Pendidikan Fisika, FMIPA UNY. Tidak ada satupun karya penelitian dan pengabdian yang dilakukan secara mandiri, karena itu roadmap pengembangan pembelajaran dan penilaian sains menuju SDGs 2030 ini adalah gambaran kegiatan secara kolaboratif baik dalam wadah Kelompok Bidang Keahlian maupun kerjasama dengan kolega dosen dan tenaga kependidikan di dua jurusan tersebut dan di FMIPA. Secara visual, berikut gambaran tentang roadmap kegiatan Tri Darma dapat dilihat pada Gambar 1.

dadan1

Gambar 1. Roadmap Pengembangan Pembelajaran STEAM Terintergrasi Etno Sains

 

Judul ini didasari oleh perjalanan Tri Darma penulis selama ini karena sering terlibat sebagai inisiator dan anggota tim penelitian dan pengabdian yang terkait dengan bidang kajian Gelombang dan Bunyi, yang fokus pada dua tema utama yaitu analisis variabel fisis dari musik gamelan dan teknologi Audio Organic Growth System (AOGS). Sesuai dengan bidang keahlian penulis, yaitu penelitian dan evaluasi pendidikan, dua tema ini kemudian diimplementasikan dalam penelitian bidang pendidikan sebagai ajar yang kontekstual dan berbasis hasil penelitian. Pembelajaran STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) terintegrasi etnosains menjadi pilihan utama karena secara nyata memberikan kerangka untuk memadukan berbagai bidang kajian yang menjadi fokus utama berbagai kegiatan Tri Darma dari penulis.

 

Tujuan dari penerapan STEAM terintegrasi etnosain dalam desain pembelajaran IPA, khususnya pada matakuliah Biofisika, adalah untuk mengembangkan High Order Thinking Skills (HOTS). Hal ini didasari juga oleh pengalaman penulis yang terlibat dalam penyiapan guru nasional dalam menghadapi survey internasional PISA 2018 dan pelatihan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang pada tahun 2020 ini di modifikasi menjadi asesmen pengganti Ujian Nasional (UN), yaitu AKM (Asesmen Kompetensi Minimal) yang telah di rilis oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sebagai upaya pemetaan kualitas pendidikan di Indonesia.

 

Melalui roadmap kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi ini, penulis berupaya untuk memberikan peran minimal dalam upaya besar Bangsa Indonesia dalam mencapai target Sustanaible Development Goals (SDGs) 2030 bidang pendidikan. Target ini tertuang dalam dokumen pada Tujuan 04, yaitu memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua. Karena, itu tema pidato ini ini relevan dengan Tujuan 04, Target 1 yaitu pada tahun 2030, memastikan bahwa semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan pendidikan primer dan sekunder yang gratis, setara dan berkualitas, yang mengarah pada hasil belajar yang relevan dan efektif.

 

SDGs merupakan kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs), yang disepakati oleh negara anggota PBB pada tahun 2000 dan berakhir pada akhir tahun 2015 (Wahyuningsih, 2017). SDGs disepakati pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 70 pada bulan Setember 2015 di New York, Amerika Serikat (Theresia, 2018). Isinya adalah agenda pembangunan universal baru yang tertuang dalam dokumen berjudul Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development, yang berisi 17 Tujuan dan 169 sasaran yang berlaku mulai tahun 2016 hingga tahun 2030. Berdasarkan survey internasional, Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi kesepakatan tersebut kondisinya saat ini masih memprihatinkan. Terlepas dari polemik tentang teknik sampling yang merugikan Indonesia karena kondisi geografis yang menghambat pemerataan akses pendidikan secara nasional, tetapi hasil survey internasional bidang pendidikan tetap menjadi perhatian serius kita termasuk Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Hasil survei baru dari OECD Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan bahwa pelajar di Indonesia menduduki posisi terendah dibandingkan negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Hasil menunjukkan bahwa pelajar Indonesia memiliki kemampuan literasi dengan skor 371 di tahun 2018 dengan berkurangnya 21 poin jika dibandingkan dengan jumlah poin tahun 2015, sedangkan rata-rata hasil survery OECD secara keseluruhan adalah 487. Karena itu, diperlukan langkah strategis oleh kita sebagai kalangan akademisi yang fokus pada bidang pendidikan agar sejalan dengan target dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencapai skor PISA 500 pada tahun 2025.

 

Karena seluruh asesmen survey internasional mengukur HOTs, maka tentu saja upaya peningkatan kualitas pendidikan itu juga harus mengarah pada peningkatan HOTs peserta didik Indonesia. Pembelajaran HOTs bertujuan meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik pada level yang lebih tinggi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir secara kritis dalam menerima berbagai jenis informasi, berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta membuat keputusan dalam situasi-situasi yang kompleks (Saputra, 2016). Menurut Newman dan Wehlage (Widodo & Kadarwati, 2013) dengan high order thinking peserta didik akan dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas, berargumen dengan baik, mampu memecahkan masalah, mampu mengkonstruksi penjelasan, mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas.

 

Untuk mengembangkan HOTs dalam pembelajaran sains perlu didukung oleh sistem pembelajaran yang mampu mengakomodasi pesatnya teknologi sering perkembangan jaman. Kondisi ini menjadi indikasi yang kuat agar dunia pendidikan mereformasi strategi pembelajaranya. Salah satu reformasi yang dilakukan adalah penerapan model pembelajaran STEAM dimana peserta diajarkan untuk belajar berproses dalam kegiatan mengamati, bermain, mengenali pola dan berlatih keterampilan berfikir kreatif serta keterampilan kolaborasi dan komunikasi dalam menyelesaikan suatu tugas (Guyotte, dkk., 2014). Pembelajaran STEAM terkait juga dengan kemampuan untuk memecahkan masalah di dunia nyata (Kofac, 2017).

 

Dalam pembelajaran STEAM peserta didik dilatih untuk berani menyampaikan ekspresi diri baik berupa kritikan maupun pendapat, sehingga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi verbal dan nonverbal serta adanya keterbukaan terhadap persepsi orang lain maupun pemahaman terhadap hal-hal baru melalui refleksi dari pengalaman dan emosi diri mereka sendiri (Seidel, dkk., 2009). STEAM juga dapat mengembangkan potensi anak untuk membuat koneksi antara bahan pembelajaran, desain pembelajaran serta lingkungan disekitarnya (Sochacka, dkk., 2016). Peserrta didik yang belajar di dalam kelas dengan menggunakan metode STEAM tidak mengetahui bahwa mereka akan menemukan berbagai informasi yang tumpang tindih sehingga dengan adanya hal ini akan menuntut anak untuk berfikir kreatif dan kritis terhadap hal-hal baru yang di terima oleh anak. Selain itu, mereka juga didorong untuk memecahkan masalah bersama guru dan teman sebayanya (Michaud, 2014). STEAM juga mendorong anak untuk mengembangkan rasa ingin tahu, keterbukaan pengalaman (Perignat & Buonincontro, 2019) dan mengajukkan pertanyaan untuk membangun pengetahuan dengan mengeksplorasi, mengamati, menemukan, dan menyelidiki sesuatu disekitarnya (Munawar, 2019).

 

Fokus pada pengembangan desain STEAM terintegrasi ethnosains ini adalah pada upaya mendorong peserta didk menciptakan yaitu bahan kajian baru atau produk ilmiah di akhir dan proses pembelajaran sains (best practice penerapan music gamelan dan AOGS dalam kajian gelombang bunyi). Proses pembelajaran lebih penting dibanding produk akhir karena di dalam prosesnya terdapat aspek eksplorasi, pemikiran kreatif, desain teknik, ekspresi kreatif, evaluasi, dan desain ulang (Perignat & Buonincontro, 2019).

 

Munculnya kata Arts dalam model STEAM di aplikasikan dalam rancangan pembelajaran sains ini dalam bentuk Ethnosains. Etnosains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat oleh suatu suku bangsa atau kelompok sosial dan sebagai bentuk kearifan lokal (Aikenhead, 2002). Etnosains dapat dianggap sebagai system of knowledge and cognition typical of a given culture. Berbagai jenis kajian etnosains yang berhasil diteliti oleh para ahli antropologi dan bidang sains melahirkan hakikat etnosains, yaitu suatu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, yang berupa: (1) klasifikasi-klasifikasi lewat bahasa lokal atau istilah lokal dan kategori budaya local; (2) aturan atau nilai-nilai moral berdasarkan kategori budaya loka; dan (3) pelukisan sistem pengetahuan asli (indegenous Science) yang terdapat pada budaya warga masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu (Sudarmin, dkk., 2014).

 

Untuk menuju masa depan Indonesia yang jaya maka pendidikan sains memiliki peranan penting, karenanya telah dilakukan pengembangan model pembelajaran STEAM terintegrasi etnosains musik gamelan dan AOGS sebagai bahan kajian gelombang bunyi untuk pengembangan HOTS menuju SDGs 2030 dalam pembelajaran sains, dengan kerangka pikir seperti pada Gambar 2.

 

dadan2

Gambar 2. Model STEAM terintegrasi Etnosains 

 

Musik gamelan pertama kali diteliti pada tahun 2012, yang mengimplementasikan nada gamelan pada instrumen musik modern (organ) sebagai upaya meningkatkan apresiasi kalangan remaja (Kuswanto, H., dkk., 2012). Selanjutnya dilakukan upaya pengembangan ensklopedi ilmiah gamelan jawa (Suyoso, dkk., 2014). Dan terus dikembangkan sampai sekarang dalam bentuk elektronik ensiklopedi untuk musik gamelan berdasarkan karakteristik fisisnya.

 

Gamelan (gongso) merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 15 set ansambel gamelan pusaka, hampir semuanya dalam kondisi yang baik dan biasa digunakan dalam acara resmi keraton. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Gongso yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan gamelan pusaka Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan mempunyai nilai historis yang sangat tinggi, karena merupakan peninggalan dari Sultan Hamengku Buwono I, Sultan Hamengku Buwono V, Sultan Hamengku Buwono VII, Sultan Hamengku Buwono VIII dan Sultan Hamengku Buwono X.

 

Upaya pelestarian gongso-gongso pusaka di atas dilakukan dengan merawat gongso-gongso tersebut secara fisis. Hal ini tentu saja memiliki kelemahan, mengingat tidak ada material yang benar-benar bisa bertahan melawan berjalannya waktu, karena itu sangat diperlukan upaya pelestarian yang salah satunya adalah dengan membuat saintifik ensiklopedi dan audio yang secara spesifik dapat mendokumentasikan karakteristik warna suara dari masing masing gamelan adi luhung tersebut. Dengan mengembangkan saintifik ensiklopedi, maka pelestarian menjadi lebih nyata, mudah dipublikasi dan dapat dimodifikasi sehingga dapat diminati generasi muda.

 

Bentuk aplikasinya dalam pembelajaran Biofisika berbasis Etnosains, besaran fisis dari bunyi gamelan baik intensitas maupun frekuensinya diukur secara langsung dengan aplikasi Audiocity. Audiocity adalah aplikasi untuk mengedit file audio yang dapat dijalankan di komputer dengan operating system mac, windows, dan linux. Audiocity merupakan aplikasi gratis tidak berbayar dan dapat diunduh dari laman resminya audiocityteam.org. Aplikasi Audiocity digunakan untuk mengukur frekuensi bunyi dari sumber bunyi berupa seperangkat musik gamelan yang lengkap.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan pengukuran frekuensi bunyi menggunakan sofware Audiocity sebagai berikut.

 

1. Menghidupkan audiocity dan merekam suara sumber bunyi gamelan (dibandingkan antara bunyi gamelan jawa kuno dan gamelan lainnya) yang akan diukur frekuensinya dengan mengeklik tombol merah pada aplikasi (Gambar 3).

 

dadan3

Gambar 3. Proses merekam bunyi berbagai gamelan (Jawa Kuno dan Gamelan lainnya)

2. Memilih menu analysis pada menu bar, kemudian pilih spektrum plot (baris kedua) seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses Menganalisis Spektrum Bunyi Gamelan

dadan4

3. Hasil analisis dari sepktrum plot seperti Gambar 5.

dadan5

Gambar 5. Hasil Analisis Spektrum Bunyi Gamelan

4. Contoh hasil analisis spektrum gelombang bunyi gamelan di atas diperoleh bahwa pada puncak pik tertinggi menghasilkan frekuensi 273 Hz dengan taraf intensitas bunyinya yaitu 23,2 dB

Dengan teknik analisis ini, peserta didik dapat membandingkan kualitas suara dari berbagai gamelan, yang akhirnya didapatkan kesimpulan bahwa gamelan pusaka yang direkam di Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat ternyata memiliki kualitas fisis gelombang bunyi yang istimewa dan unik, berbeda dengan karakteristik bunyi gamelan lainnya. Hal ini terkait dengan kualitas material bahan gamelan dan teknik pembuatannya yang penuh penghayatan spiritual serta presisi dan akurasi yang sangat tinggi. Dari sini maka apresiasi terhadap benda budaya yang termasuk langka tersebut diharapkan meningkat dikalangan generasi muda.

 

Berawal dari percakapan ringan dengan petani di Bantul pada saat kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat pada tahun 2011, yang menyampaikan fakta menarik tentang meningkatnya produksi tanaman bila pada musim tanam itu banyak terdengar bunyi garengpung  (dundubia manifera), maka kami mulai melakukan penelitian tentang AOGS secara konsiten. 

 

Penelitan Hibah Bersaing tahun 2012 telah berhasil menerapkan teknologi AOGS untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman kentang sampai 87%, dan tanaman bawang merah sebesar 57% (Kadarisman, dkk., 2012). Dengan teknologi ini dilakukan optimasi variabel fisis audio, yaitu frekuensi dan intensitas bunyi untuk membuka stomata sehingga menghasilkan tanaman yang mampu menyerap nutrisi dan energi matahari secara optimum sehingga dihasilkan tanaman yang “rakus” sehingga berdampak pada peningkatan produktivitas dan kualitas tanaman (Rosana, dkk., 2017). Hasil penelitian KP4S (disponsori Kementrian Pertanian RI), dimana penulis terlibat di dalamnya, di dapatkan hasil peningkatan produktivitas tanaman padi yang signifikan mencapai 216,8% (Suryadarma, dkk., 2018). Data ini diperoleh dari hasil penerapan di lahan seluas 8,5 meter x 30,0 meter (255 m2) untuk masing-masing tanaman padi yang mendapatkan pemaparan bunyi dari AOGS dan yang tidak mendapatkan pemaparan bunyi. Tanaman padi yang mendapatkan pemaparan dari bunyi AOGS menghasilkan 228,5kg sedangkan untuk tanaman yang tidak mendapatkan pemaparan bunyi hanya menghasilkan 105,4 kg (lihat Gambar 6). Frekuensi bunyi yang digunakan paling maksimal adalah 4000Hz, dan taraf intensitas bunyi garengpung (dundubia manifera) yang terukur menggunakan sound level meter berada dalam interval (62,1-79,4) dB.

 

dadan6

Gambar 6. Perbandingan Hasil Panen Padi antara Lahan yang Menggunakan AOGS dan yang tidak (Luas Lahan Masing-masing 255 m2) (Sumber: Suryadarma, dkk., 2018)

 

Variabel lain yang diamati dalam penelitian adalah laju pertumbuhan tanaman yang juga mengalami peningkatan yang signifikan. Contoh di Gambar 7 ini adalah rata-rata tinggi tanaman padi pada umur 70 hari untuk tanaman yang di beri paparan bunyi AOGS mencapai tinggi 80,16 cm sedangkan yang tidak diberi paparan bunyi tingginya normal yaitu 77,52 cm.

 

dadan7

Gambar 7. Grafik Tinggi Tanaman Padi pada Umur 70 Hari (Sumber: Suryadarma, dkk., 2018)

Penjelasan singkat dari teknologi AOGS sehingga efektif untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan adalah sebagai berikut. Prinsip kerja AOGS pada dasarnya adalah memanfaatkan frekuensi audio pada frekuensi dan intensitas tertentu (dimodifikasi menggunakan sounforge), baik bunyi binatang alamiah seperti yang telah dikembangkan selama ini (garengpung, jangkrik, dan lainnnya) ataupun bunyi gamelan untuk membuka stomata sehingga tanaman menjadi rakus karena dapat menyerap nutrisi lebih banyak.

Stomata sering ditemui di kedua permukaan daun (atas dan bawah) walaupun lebih banyak terdapat di bagian bawah daun (Salisbury & Ross, 1995). Bentuk sel penutup daun pada tanaman monokotil masing-masing ujung dinding selnya tipis, sedangkan dinding atas dan bawahnya tebal (Sutrian, 2011). Stomata bekerja dengan caranya sendiri karena sifat khusus yang terletak pada anatomi submikroskopik dinding selnya. Sel dapat bertambah panjang, terutama dinding luarnya, hingga mengembang ke arah luar. Dinding sebelah dalam kemudian tertarik oleh mikrofibril yang mengakibatkan stomata membuka (Gambar 8).

 

dadan8

Gambar 8. Mekanisme membukanya Stomata (Salisbury & Ross, 1995)

 

Getaran yang dihasilkan AOGS dengan frekuensi bunyi tertentu yang sesuai dengan tekanan turgor mengakibatkan terjadinya mekanisme membuka dan menutupnya stomata. Tekanan turgor adalah tekanan dinding sel oleh isi sel, banyak sedikitnya isi sel berhubungan dengan besar kecilnya tekanan pada dinding sel. Semakin banyak isi sel, semakin besar tekanan dinding sel (Gambar 9).

 

dadan9

Gambar 9. Penampang Stomata Antara Yang Mendapatkan Pemaparan Bunyi AOGS dan Yang Tidak

 

Penelitian menunjukkan bahwa setiap jenis tanaman memiliki karakteristik frekuensi bukaan stomata paling maksimal yang unik, berkisar pada rentang frekuensi 3500 Hz sampai 4500 Hz. Intensitas bunyi paling optimal antara 60 sampai 80 dB. Waktu paling optimal adalah pagihari antara jam 06.00 sampai 09.00 WIB, karena kalau terlalu siang tanaman rusak karena membukanya stomata mengakibatkan penguapan yang banyak sehingga tanaman kekeringan. Variabel waktu ini juga sangat penting diperhatikan, karena teknologi AOGS diterapkan saat proses fotosintesis berlangsung, sehingga memainkan peran penting dalam transportasi karbohidrat, pembentukan protein, mengendalikan keseimbangan ion, regulasi stomata tanaman dan aktivasi penggunaan air enzim tanaman dan proses lainnya (Sawy, dkk,. 2000; Tantawy, dkk., 2009). Desain dari teknologi AOGS yang dikembangkan dapat dilihat di Gambar 10.

 

dadan10

Gambar 10. Blok Diagram AOGS

 

Model AOGS yang telah dikembangkan tim peneliti selama ini ada tiga model. Model pertama menggunakan sumber energi Baterai, model kedua menggunakan sumber energi Accu, dan model ketiga menggunakan sumber energi matahari (Gambar 11).

 

dadan11

Gambar 11. Teknologi AOGS yang sudah dikembangkan di FMIPA UNY

Dari kajian tersebut tampak bahwa STEAM menjadi model pembelajaran yang tepat untuk memberikan kompetensi yang holistik bagi peserta didik dalam rangka menyiapkan tantangan masa depan yang didominasi oleh pemanfaatan teknologi, tetapi tetap mengapresiasi budaya tradisional secara proporsional. Pengembangan model STEAM diawali dengan analisis definisi konseptual tentang variabel yamg perlu dikembangkan dalam konteks science, technology, engineering, arts and mathematics. Penelitian diawali dengan need analysis, dan temuan secara empirik dari proses pembelajaran yang telah dilaksanakan selama ini. Hasil analisis konseptual ini kemudian ditingkatkan menjadi definisi operasional berupa draft model STEAM terintegrasi etnosains musik dengan pemanfaatan AOGS dalam pengembangan HOTS menuju tercapainya SDGs 2030 bidang pendidikan. Draf awal yang telah disusun kemudian dikritisi oleh para pakar melalui teknik Delphi terdiri dari tim peneliti dan pakar di bidang evaluasi. Hasil dari Delphi menjadikan komponen dari draf awal banyak mengalami peruban terutama isi dari komponen model, bentuk kegiatan pembelajaran, jenis evaluasi pembelajaran, ketepatan model dengan karakteristik pembelajaran dan karakteristik peserta didik, serta masalah konstruksi kebahasaan.

 

STEAM digunakan untuk fokus pada pemahaman tentang sifat terintegrasi dari disiplin sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika serta pentingnya mereka dalam keberhasilan akademik jangka panjang anak-anak, kesejahteraan ekonomi (Quigley & Herro, 2016) dan pengembangan masyarakat (Han, dkk., 2016). Pendidikan STEAM mencakup nilai dari prasekolah hingga tingkat pascadoktoral dan pengaturan pembelajaran formal (misal ruang kelas) dan pendidikan informal (misal Program afterschool) (Gonzalez & Kuenzi, 2012). Sebagai gambaran, pendidikan STEAM telah diakui di AS sebagai reformasi pendidikan yang penting dan digambarkan sebagai pendekatan instruksional untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi ekonomi global abad ini (Yakman & Lee, 2012).

 

dadan12

Gambar 12. Sintaks Pembelajaran STEAM

 

Rata-rata nilai keterampilan proses sains dasar berada pada ketegori tinggi. Melakukan observasi memiliki nilai tertinggi karena melalui penyelidikan atau percobaan dapat melatih siswa untuk memperoleh keterampilan proses sains (Reiss, 2000). Sedangkan indikator keterampilan proses sains terpadu masih berada pada kategori sedang. Faktor penyebab masih belum tingginya keterampilan proses sains terpadu seperti merumuskan hipotesis, disebabkan mahasiswa belum terbiasa melakukan keterampilan terpadu tersebut termasuk merumuskan pertanyaan penelitian dengan baik. Hal ini sesuai dengan penelitian (Kartimi, Gloria, & Aryani, 2013), saat dosen meminta mahasiswa menyatakan pendapatnya tentang permasalahan, mahasiswa tidak bisa menjawab apa yang diminta oleh dosennya. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian dari (Ratnasari, Sukarmin, & Suparmi, 2017, p.174), yang menyatakan bahwa indikator keterampilan proses sains memiliki persentase kemunculan rendah adalah pada indikator menyusun hipotesis.

 

Contoh kemampuan HOTS yang berkembang saat dilakukan pembelajaran Biofisika dengan STEAM terintegrasi etnosain adalah berpikir kritis mahasiswa. Pikket & Foster (1996) menyatakan berpikir kritis adalah jenis berpikir yang lebih tinggi yang bukan hanya menghafal materi tetapi penggunaan dan manipulasi bahan-bahan yang dipelajari dalam situasi baru. Berpikir kritis lebih lanjut melibatkan jenis pemikiran reflektif, yaitu, berpikir tentang aktivitas yang kita lakukan (Dantas-Whitney, 2002). Menurut Scrivan (Fisher, 2011) berpikir kritis sebagai aktivitas ‘keahlian’ menginterpretasikan, meng- evaluasi hasil observasi dan komunikasi, informasi dan argumen. Fisher (2011) mendefinisikan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk menginterpretasikan, menganalisis, dan mengevaluasi ide dan argumen. Kemampuan berpikir kritis saat ini sudah dianggap sebagai kemampuan dasar yang sangat penting untuk dikuasai seperti halnya kemampuan membaca dan menulis. Berpikir kritis melibatkan tujuan, goaldirected berpikir dalam proses pembuatan keputusan berdasarkan bukti dan bukan menebak dalam proses pemecahan masalah ilmiah (Nugent dan Vitale, 2008). Menurut Glazer (2001), berpikir kritis matematis memuat kemampuan dan disposisi yang dikombinasikan dengan pengetahuan awal, kemampuan penalaran matematik, dan strategi kognitif untuk mengeneralisasikan, membuktikan, mengakses situasi matematik yang tidak biasa secara reflektif.

 

Indikator berpikir kritis dari mahasiswa belum berkembang secara optimal. Hanya indikator kemampuan menafsirkan (71,26%) dan menganalisis (70,92%) yang masuk dalam kategori tinggi, sedangkan indikator lainnya berada dalam kategori sedang. Hal ini terjadi karena butuh waktu yang cukup lama untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis secara optimal. Berpikir kritis tidak mudah dikembangkan karena melibatkan penalaran logis, kemampuan untuk fakta terpisah dari pendapat, memeriksa hal-hal sebelum menerima mereka dan mengajukan pertanyaan diri sendiri sepanjang waktu (Wood, 2002). Selain itu, menurut Ennis (1981) dan Langrehr (2003) menjelaskan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir evaluatif yang melibatkan penggunaan kriteria yang relevan dalam menilai infor- masi, keakuratannya, relevansinya, realibilitasnya, konsistensinya, dan biasnya.

 

Karena keterbatasan naskah pidato ini, komponen HOTS yang lain, seperti berpikir kreatif, kemampuan analisis dan evaluasi juga telah dilakukan penelitian oleh penulis. Gambaran singkatnya bisa dilihat di judul-judul penelitian dan publikasi yang telah dilakukan.

 

Dari paparan ini semoga bisa terlihat bagaimana pentingnya memadukan antara Sains, Teknologi, Enginerring, Seni/Budaya, dan Matematika dalam upaya mempersiapkan peserta didik agar dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, sehingga dapat bersaing di masa depan. Beberapa manfaat yang dapat langsung terlihat dari model pembelajaran STEAM terintegrasi etnosains yang terus dikembangkan sampai saat ini adalah (1) adanya dampak langsung dari pembelajaran terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat petani; (2) ada contoh nyata (best practice) memadukan antar komponen STEAM dalam pembelajaran; (3) adanya tahapan yang nyata dalam mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai suatu upaya menuju tercapainya SDGs 2030.

 

Hasil pemikiran dan aktivitas Tri Darma yang sederhana ini, masih jauh dari kata sempurna. Ini hanyalah kontribusi kecil yang diharapkan dapat menjadi model best practice bagaimana menerapkan STEAM dalam pembelajaran sains. Paling tidak, aktivitas dan pemikiran ini sejalan dengan kebijakan baru Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan segera menerapakan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM), yang berisi literasi dan numerasi. AKM ini menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi. Semoga apa yang sudah dilakukan ini dapat menjadi mozaik yang hilang berupa proses pembelajaran yang efektif sebagai pelengkap dari diberlakukannya sistem asesmen berupa AKM tersebut.

 

Sumber:

Pidato Pengukuhan Guru Besar  Prof. Dr. Dadan Rosana, M.Si. sebagai guru besar dalam bidang ilmu Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta, dengan Judul ”Pembelajaran Steam Terintegrasi Etnosains Musik Gamelan dan AOGS Dalam Pengembangan HOTs Menuju SDGs Bidang Pendidikan,” Sabtu, 21 November 2020

Prof. Dr. Dadan Rosana, M.Si.
dadan