Tingkatkan Literasi Risiko Ancaman Alam, UNY Sosialisasikan Bahaya Bencana Hidrometeorologi di Karangmojo, Sleman

Di tengah meningkatnya ancaman bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim dan tekanan lingkungan, tim dosen dan mahasiswa dari Departemen Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar kegiatan Sosialisasi Bencana Alam Hidrometeorologi dan Mitigasinya di Dusun Karangmojo, Kalurahan Purwomartani, Kapanewon Kalasan, Sleman, Minggu-Senin (13-14/7/2025).

Bertempat di Perumahan Citra Ringin Mas, wilayah yang berada di sepanjang aliran Sungai Ciro dan dikenal sebagai kawasan rawan bencana, kegiatan ini menghadirkan edukasi komprehensif kepada masyarakat, mulai dari pengenalan jenis-jenis bencana hidrometeorologi, penyebab, dampak, hingga strategi mitigasi yang dapat dilakukan secara mandiri maupun kolektif. Kegiatan ini merupakan program pengabdian kepada masyarakat yang dipimpin oleh Dr. Yusman Wiyatmo bersama tim dosen pelaksana lainnya, yaitu Dr. Sukardiyono, Dr. Febrina Siska Widyaningtyas, Dr. Tsania Nur Diyana, Pramudya Wahyu Pradana, M.Pd., dan Roma Widiyansari, M.Sc. Adapun mahasiswa pelaksana yang terlibat adalah Theodorus Given Vide dan Dicky Kurniawan Saputra.

Dr. Yusman Wiyatmo selaku ketua tim pelaksana menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari pengabdian masyarakat untuk membangun kesiapsiagaan warga terhadap risiko bencana. “Kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana hidrometeorologi perlu ditingkatkan agar mereka tidak hanya menjadi korban, tetapi juga mampu menjadi agen mitigasi di lingkungannya,” ujar Yusman.

Dipilihnya Dusun Karangmojo bukan tanpa sejarah bencana. Pada 2012, angin puting beliung memorakporandakan puluhan rumah dan fasilitas umum. Empat tahun kemudian, tanggul Sungai Ciro jebol, menimbulkan banjir besar yang merusak tanggul depan masjid dan infrastruktur lingkungan.

Dr. Sukardiyono membuka sesi sosialisasi dengan pengantar mengenai konsep dasar hidrometeorologi. “Hidrometeorologi adalah bencana yang dipengaruhi oleh faktor atmosfer dan hidrologi, seperti hujan ekstrem, angin kencang, kekeringan, dan suhu panas yang ekstrem,” jelasnya. Ia menegaskan bahwa perubahan iklim memperbesar intensitas dan frekuensi kejadian ini, terutama di wilayah dengan tata kelola lingkungan yang lemah.

Menurut Sukardiyono, banjir bandang adalah bentuk banjir paling merusak. “Sering kali masyarakat tidak menyadari bahwa aktivitas pembalakan hutan di hulu sungai akan memperbesar potensi banjir bandang di wilayah bawah,” ujarnya. Ia menambahkan, mitigasi banjir harus dimulai dari hulu melalui konservasi hutan dan pembangunan early warning system berbasis komunitas.

Dalam sesi berikutnya, Dr. Tsania Nur Diyana membahas bencana tanah longsor yang kerap terjadi di wilayah perbukitan dan tepi sungai. “Tanah yang jenuh air dan kehilangan vegetasi pengikat sangat rentan longsor,” ungkapnya. Menurut Tsania, mitigasi dapat dilakukan melalui reboisasi, pemasangan terasering, dan pembuatan saluran drainase yang baik. Ia juga mendorong adanya peta kerentanan bencana di tingkat dusun.

Sesi selanjutnya, Dr. Febrina Siska Widyaningtyas menguraikan tentang bahaya angin kencang yang kerap muncul saat pergantian musim. “Ketika terjadi perbedaan tekanan udara yang ekstrem, berbagai wilayah bisa menjadi jalur lintasan angin puting beliung,” jelasnya. Ia mengimbau warga untuk melakukan langkah mitigasi sederhana seperti memperkuat atap rumah dan memangkas pohon-pohon rawan tumbang.

Roma Widiyansari, M.Sc., menyoroti bahaya kekeringan yang kerap dianggap bukan bencana karena tidak datang secara tiba-tiba. “Padahal kekeringan sangat merusak, terutama pada sektor pertanian dan ketahanan air bersih,” tegasnya. Ia menyarankan pembangunan embung mikro dan penampungan air hujan sebagai solusi lokal. “Adaptasi sosial juga penting, misalnya dengan pola tanam yang menyesuaikan musim,” tambahnya.

Pramudya Wahyu Pradana, M.Pd., memperkenalkan bahaya heatwave atau gelombang panas.“Gelombang panas bisa memicu dehidrasi, serangan jantung, bahkan kematian, terutama pada kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak,” jelasnya. Pramudya menekankan pentingnya ruang terbuka hijau dan ventilasi yang baik dalam mitigasi jangka panjang.

Selain penyampaian materi, kegiatan ini juga mencakup sesi diskusi dan ajakan membentuk Kelompok Siaga Bencana berbasis dusun. Warga juga dilatih untuk menyusun peta kerawanan sederhana yang memuat titik-titik rawan banjir, longsor, dan zona evakuasi. “Mitigasi bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau akademisi, tetapi juga masyarakat. Literasi risiko harus tumbuh dari bawah,” pungkas Yusman.

Kegiatan yang berlangsung hingga sore ini menandai sinergi nyata antara dunia akademik dan masyarakat dalam membangun ketahanan terhadap bencana berbasis komunitas. Sebab, dalam menghadapi alam yang tak menentu, pengetahuan bisa menjadi pelindung pertama yang menyelamatkan nyawa.

Penulis
Dr. Tsania Nur Diyana
Editor
Dedy
Kategori Humas
IKU 3. Dosen Berkegiatan di Luar Kampus
IKU 5. Hasil Kerja Dosen Digunakan oleh Masyarakat