PENGUKUHAN GURU BESAR BIDANG ILMU TEKNOLOGI PANGAN

Penguatan ketahanan pangan dan derajat kesehatan masyarakat bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun tanggung jawab dari setiap pribadi sebagai masyarakat di Indonesia. Adanya Revolusi Industri 4.0 harus menjadi momentum untuk meningkatkan sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, pelaku industri dan masyarakat untuk mewujudkan pertumbuhan dan peningkatan daya saing berbagai pangan lokal. Inovasi pangan yang dilakukan harus berorientasi dan berdaya saing global tanpa tercabut dari akarnya, yaitu selalu berpijak pada kearifan potensi lokal Indonesia, serta menjadi konsumen yang mampu memilih dan  memilah pangan lokal  yang berdampak positif bagi kesehatan sebagai pilihan utama, sehingga minimal kita dapat mendudukkan pangan berbasis potensi lokal menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri. Demikian dikatakan Prof. Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Pangan pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul ‘Pengembangan Produk Berbasis Tepung Lokal Untuk Penguatan Ketahanan Pangan dan Derajat Kesehatan Masyarakat Indonesia’ itu dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Ruang Sidang Utama Rektorat UNY, Sabtu (15/2). Mutiara Nugraheni adalah guru besar UNY ke-150.

Wanita kelahiran Bantul, 31 Januari 1977 tersebut mengatakan, dari segi potensi  ketersediaan, Indonesia  memiliki  keunggulan dengan  sumber daya pangan  yang  sangat besar, baik nabati maupun hewani yang dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Saat ini, Indonesia termasuk negara terbesar nomor 3 di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati dan hewani. Keanekaragaman hayati yang terdiri dari 100 jenis tumbuhan, umbi, dan serealia sebagai sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan dan hewani. “Namun sayangnya, belum semua potensi yang ada di Indonesia dapat dimanfaatkan menjadi pangan yang dibutuhkan semua orang” kata Mutiara Nugraheni. Data pola konsumsi masyarakat masih menunjukkan rendahnya keanekaragaman, dan terkonsentrasi pada sumber karbohidrat berupa padi-padian. Pola makan yang kurang beragam dan bergizi seimbang ini menjadikan adanya beberapa permasalahan terkait dengan status gizi dan kesehatan.

Doktor bidang Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM tersebut memaparkan, potensi Indonesia yang besar dalam hal sumber karbohidrat dan protein (umbi, serealia, dan kacang-kacangan) belum membuat Indonesia memiliki ketahanan pangan yang cukup berbasis pangan lokal. Hal itu dapat diketahui dari meningkatnya konsumsi  gandum yang merupakan bahan pangan impor dari tahun  ke tahun. Peningkatan  impor  gandum tersebut dipicu oleh semakin pesatnya perkembangan jenis dan pengolah- an pangan berbasis tepung yang mengandung gluten. Perlu upaya untuk menghasilkan tepung yang dapat digunakan untuk berbagai produk pangan sebagai pengganti gandum, namun harus dikembangkan berbasis potensi lokal (umbi, serealia, dan kacang-kacangan). Salah satu upayanya adalah membuat tepung bebas gluten berbasis potensi lokal, namun mengandung pati, lemak dan protein yang cukup untuk mendukung pembentukan sifat sensoris mirip produk olahan berbasis gandum.

Warga Wiyoro Kidul, Baturetno, Banguntapan, Bantul tersebut mengemukakan, dominasi ketergantungan pada jenis pangan tertentu harus dikurangi dengan diversifikasi pangan berbasis karbolokal nonberas, salah satunya dengan mengembangkan beras analog berbasis potensi lokal Indonesia, yang memiliki kualitas gizi yang baik, memiliki fungsi tertentu terkait dengan pencegahan penyakit degeneratif, dan mendukung ke- tahanan serta kemandirian pangan Indonesia. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan beras analog berbasis potensi lokal dalam rangka mengurangi konsumsi beras. Salah satunya adalah beras analog. Komponen pokok beras analog adalah umbi, serealia, dan kacang-kacangan untuk meningkatkan kandungan protein dan serat dari tepung komposit umbi. Beras analog berbasis tepung lokal diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif sumber karbohidrat yang dapat menguatkan ketahanan pangan berbasis potensi lokal. Indeks glikemik yang rendah hingga sedang serta kemampuan antioksidasinya diharapkan dapat menguatkan derajat kesehatan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang mengalami gangguan dalam manajemen profil glukosa. Pengembangan produk berbasis tepung lokal menjadi salah satu tindakan nyata untuk mengurangi konsumsi tepung terigu dan beras dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada di Indonesia. Inovasi pangan terus dibutuhkan dalam mengembangkan produk dengan melakukan modifikasi proses sehingga dihasilkan produk yang halal, bernutrisi, diterima konsumen, aman, berdampak positif bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya. (Dedy)