PENGUKUHAN GURU BESAR BIDANG ILMU SASTRA MODERN

2
min read
A- A+
read

Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum

Sebagai salah satu ilmu humaniora, ilmu sastra juga harus berperan dalam mengatasi berbagai macam permasalahan hidup manusia, termasuk masalah ketidakadilan gender dan degradasi lingkungan hidup. Dengan kemampuan pengetahuannya yang diperoleh melalui proses penelaahan ilmiah, ilmuwan sastra diharapkan mampu menempatkan masalah yang dihadapi masyarakat pada proporsi yang sebenarnya, memberikan perspektif yang benar: untung ruginya, baik buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Bagaimana ilmu sastra dan ilmuwan sastra ikut berperan dalam memahami dan memecahkan masalah sosial, terutama ketidakadilan gender dan degradasi lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita, dua hal tersebut saling berkaitan karena ketidakadilan gender dapat menimbulkan degradasi lingkungan hidup. Sebaliknya degradasi lingkungan hidup yang disebabkan  oleh ketidakadilan gender akan lebih memarginalkan perempuan. Ilmu sosial humaniora yang berkecimpung dalam kedua masalah tersebut dikenal dengan dengan istilah feminisme dan ekofeminisme. Demikian dikatakan Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sastra Modern pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul “Peran Sastra dalam Upaya Penyadaran Keadilan Gender dan Keadilan Ekologis: dari Feminisme ke Ekofeminisme” dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat di Auditorium UNY, Sabtu (7/11). Wiyatmi adalah guru besar UNY ke-164.

Warga Wedomartani Ngemplak Sleman tersebut mengatakan, feminisme merupakan salah satu aliran pemikiran dalam ilmu sosial humaniora yang mencoba memahami mengapa di dalam masyarakat terjadi ketidakadilan gender, apa yang menyebabkan, dan apa akibat yang ditimbulkannya. Di Indonesia semangat feminisme tampak pada pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya untuk para sahabatnya di Belanda yang akhirnya dikumpulkan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Dari kajian kritik sastra feminis terhadap fenomena sastra Indonesia, tanpak adanya peran sastra untuk menyuarakan dan mengritisi ketidakadilan gender yang ada di masyarakat. “Dalam disertasi yang saya tulis sebelumnya telah dikaji sampel 23 judul novel Indonesia yang terbit antara 1920 sampai pertengahan 2000-an, yang mengangkat isu keterdidikan dan peran perempuan dalam masyarakat” papar Wiyatmi. Dari kajian tersebut tampak bahwa ilmu sastra telah ikut berperan dalam memahami dan menjelaskan kepada masyarakat pembaca mengenai persoalan keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan dan peran perempuan di ranah domestik dan publik di Indonesia sejak prakemerdekaan sampai 2000-an yang direpresentasikan dalam novel yang ditulis oleh para sastrawan.

Wanita kelahiran Purworejo, 10 Mei 1965 tersebut menyampaikan, melalui penelitian sastra dengan menggunakan kritik sastra ekofeminisme dapat dipahami berbagai masalah lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita, yang digambarkan kembali oleh para sastrawan yang menulis sastra hijau. Ekofeminisme adalah suatu aliran pemikiran dan gerakan dalam feminisme yang menghubungkan dominasi patriarki atas alam sama dengan penindasan terhadap perempuan yang memandang bahwa alam dan perempuan dalam masyarakat patriarki, dianggap sebagai objek dan properti yang layak dieksploitasi. Ekofeminisme lahir sebagai gerakan sosial yang menentang eksploitasi atas alam dan perempuan yang diperkenalkan oleh d’Eaubonne melalui buku berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) yang terbit pertama kali 1974. Ekofeminisme ber- usaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk penindasan manusia, khususnya perempuan, dan alam. Dalam hal ini ekofeminisme memandang bahwa perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam. Ada hubungan konseptual, simbolik,  dan linguistik antara feminisme dengan isu ekologis.

Menurut doktor bidang Ilmu Sastra UGM tersebut hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran materi kritik sastra ekofemis merupakan perspektif baru yang belum dikenal sebelumnya. Selain itu juga belum tersedia buku dan materi pembelajaran yang  mendukung. Oleh karena itu, melalui penelitian tersebut dikembangkan model pembelajaran kritik sastra ekofeminis dan buku ajarnya. Melalui pembelajaran tersebut, mahasiswa dan dosen tidak hanya memahami kerangka konseptual ekofeminisme dan mampu menerapkannya dalam praktik kritik (penelitian) sastra, tetapi secara pelan-pelan juga memiliki kesadaran pentingnya ikut ambil bagian sebagai generasi yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu lingkungan hidup yang terjadi di sekitarnya. Dari paparan tersebut tampak bagaimana ilmu sastra telah ikut perperan dalam gerakan kesetaraan gender dan penyelamatan lingkungan hidup. Melalui publikasi hasil penelitian baik melalui jurnal ilmiah, seminar, pembelajaran di kelas, maupun pengabdian kepada    masyarakat dapat dilakukan sosialisasi pentingnya kesetaraan gender dan penyelamatan lingkungan hidup dalam relevansinya dengan ilmu sastra. Melalui sosialisasi terus menerus, secara pelan-pelan semoga dapat ditumbuhkembangkan kesadaran pentingnya kesetaraan dan keadilan gender, serta etika lingkungan pada masyarakat, terutama para generasi muda. (Dedy)