Lebih dari satu tahun belakangan ini, eksistensi manusia terusik dan dibuat kalang kabut oleh adanya pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease-19) yang memberi gejala demam, nyeri seluruh tubuh, sesak nafas, kurang bisa mengecap dan membau. SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2) sebagai penyebab Covid-19 sejatinya belum cukup untuk dikatakan sebagai organisme hidup karena hanya terdiri atas seuntai rantai tunggal RNA (Ribo Nucleic Acid) yang dilindungi oleh lapisan lemak, dan glikoprotein yang membentuk paku-paku (spike) di permukaannya. Coronavirus masuk ke tubuh melalui mata, hidung atau mulut, dan setelah berhasil masuk ke sel tuan rumah ia akan mengubah kode genetik di sel untuk keperluan penggandaan dirinya. Karena bukan organisme hidup, ia tak dapat dimatikan dengan antibiotik, meskipun sebenarnya ia sangat rapuh. Busa sabun, alkohol, dan klorin dapat meluruhkan lemak yang melapisinya dan merusak protein didalamnya. Ia juga tidak tahan terhadap lingkungan yang hangat, kering, dan terang. Ia mudah mati, namun sekaligus mudah hidup sehingga sangat menular. Penularan utama melalui droplet penderita, sehingga anjuran sederhana untuk menggunakan masker, sering mencuci tangan, dan menjaga jarak cukup efektif untuk memutus rantai penularan. Kesederhanaan virus yang membuatnya gampang dirusak, tapi sekaligus sulit dibasmi, memicu kita untuk meningkatkan daya sembuh melalui sistem kekebalan tubuh. Demikian diungkapkan Prof. Dr. dr. BM Wara Kushartanti, M.S. dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang Pendidikan Olahraga Kesehatan pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta belum lama ini.
Dalam pidato pengukuhan berjudul ‘Olahraga dan Kekebalan Terhadap Covid-19’ tersebut Wara Kushartanti mengatakan bahwa Coronavirus dibentuk oleh seuntai rantai tunggal RNA, dan termasuk dalam genus Betacoronavirus, garis keturunan B dan subgenus Sarbecovirus. “Semua Coronavirus tersebut menimbulkan gangguan utama Pneumonia dengan radang pada kantong udara (alveolus) yang merata sehingga menyebabkan sindrom gangguan pernafasan akut” paparnya. Sistem kekebalan tubuh manusia, baik yang bawaan maupun yang adaptif akan melawan masuknya virus tersebut, dan terjadi ‘peperangan’ antara virus dengan sistem kekebalan tubuh. Corona virus yang sesederhana, dan bahkan belum cukup untuk dianggap sebagai makhluk hidup, dipersenjatai juga dengan kemampuan menyelamatkan diri, dengan mengeluarkan enzim sehingga bisa menembus penghalang fisik. Strategi lain dilakukan dengan cepat bermutasi dan mengubah protein pada selubung virus dan paku (spike). Ada juga strategi menutup antigen dengan molekul inang sehingga tidak terdeteksi oleh sistem kekebalan dan tidak dianggap sebagai benda asing.
Wanita kelahiran Yogyakarta 16 Mei 1958 tersebut menjelaskan, meskipun data tentang jenis olahraga untuk meningkatkan respons imun terhadap Covid-19 masih terbatas, namun ada bukti bahwa tingkat kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) dan kematian akibat ISPA lebih rendah pada mereka yang melakukan olahraga secara teratur. Latihan fisik dengan intensitas sedang akan meningkatkan aktivitas anti-patogenik dan sirkulasi makrofag, imunoglobulin dan sitokin anti-inflamasi, sehingga mengurangi beban patogen dan kerusakan pada paru. Selama olahraga rutin, terjadi penurunan respon peradangan dan hormon stres, serta peningkatan limfosit, sel NK, sel B imatur dan monosit, sehingga mencegah infeksi, termasuk Covid-19. Olahraga rutin dengan intensitas sedang akan merangsang pertukaran sel darah putih antara sistem peredaran darah dan jaringan sehingga mengurangi morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) akibat infeksi pernapasan akut. Sebaliknya, olahraga berat justru akan bertindak sebagai imunosupresi, sehingga akan memperparah penyakit. Latihan fisik yang berlebihan akan memberi dampak buruk karena berlimpahnya oksigen aktif (oksidan) pada keadaan normal, tubuh memproduk enzim penawar oksigen aktif yaitu Superoksida Dismutase (SOD). Olahraga berat justru akan bertindak sebagai imunosupresi, sehingga akan memperparah penyakit (Gleeson, 2011). Latihan fisik yang berlebihan akan memberi dampak buruk karena berlimpahnya oksigen aktif (oksidan) pada keadaan normal, tubuh memproduk enzim penawar oksigen aktif yaitu Superoksida Dismutase (SOD).
Doktor bidang ilmu kedokteran Universitas Airlangga tersebut menyimpulkan bahwa menjaga fisik tetap aktif di saat isolasi sosial harus dilakukan oleh semua orang, karena aktivitas/latihan fisik terbukti dapat mencegah terkena infeksi Covid- 19, mengendalikan sistem kekebalan saat terinfeksi, dan memulihkan dengan cepat pasca infeksi. Peran Olahraga adalah mengurangi sitokin pro inflamasi dan meningkatkan sitokin anti inflamasi, sehingga badai sitokin dan peradangan parah tidak terjadi. Lebih dari itu, olahraga juga akan mengencerkan darah dan mencegah koagulasi darah sehingga mencegah terjadinya penyumbatan aliran darah yang menjadi penyebab kematian utama pada infeksi Covid-19. (Pras)