Perubahan masyarakat berlangsung dengan cepat, yang membawa perubahan pendidikan. Sebaliknya, perkembangan pendidikan akan membawa perubahan pada kehidupan masyarakat. Tarik-menarik dan dorong-mendorong antara keduanya menjadikan perubahan masyarakat berlangsung semakin cepat. Begitu cepat perubahan berlangsung, menyebabkan warga masyarakat tidak sadar bahwa merekapun mengalami perubahan.
Demikian pernyataan awal Prof. Zamroni, Ph.D., guru besar Fakultas Ekonomi UNY dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY di ruang sidang Abdullah Sigit FIP UNY. Selanjutnya, mantan Direktur Pembinaan SMA Departemen Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa pendidikan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kebudayaan karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses pembudayaan. Sultan Hamengku Buwono X, sebagaimana dikatakan Prof Zamroni, dengan lugas memperingatkan, “Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan steril dari kekayaan budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam masyarakat.”
Dihadapan sivitas akademikia FIP dan undangan lainnya, pakar pendidikan ini memaparkan perkembangan dunia pendidikan Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan dunia pendidikan di Amerika Serikat. Sekolah-sekolah di Indonesia yang mendasarakan kebangsaan atau kebudayaan, seperti sekolah Taman Siswa, mengalami nasib yang sama dengan sekolah-sekolah agama. Prinsip-prinsip dasar dimana sekolah didirikan juga tergerus oleh tuntutan modernitas. Alhasil, perkembangan dunia pendidikan, lebih tepatnya dunia sekolah membawa dua problem utama. Pertama, terjadi proses industrialisasi sekolah yang memiliki watak liberalistis dan kapitalistis. Akibatnya, jiwa pendidikan tergusur oleh perhitungan-perhitungan dan kepentingan ekonomi. Kedua, sekolah telah menghasilkan lulusan yang tercabut dari akar budaya. Karena sekolah menawarkan budaya urban, maka lulusan sekolah berbudaya urban tidak betah tinggal di desa, maka berbondong para generasi muda terdidik bermigrasi ke kota-kota. Pernyataan indah “Think globally, act locally” hanya jadi mitos. Realitas adalah “think globally, act globally as well”.
Oleh karena itu, lanjutnya, dibutuhkan strategi khusus pendidikan berbasis budaya lokal sehingga di tengah tuntutan zaman, wajah pendidikan tidak bisa melepaskan diri dari jati diri bangsanya. Bangsa Indonesia telah memiliki common values, beliefs, attitudes dan norms yang telah digagas dan diwariskan oleh para foundings father, yakni Pancasila. Pendidikan berbasis budaya berarti pendidikan berbasis budaya yang berakar pada Pancasila. Nafas dan dinamika pendidikan mesti didasari oleh values, beliefs, norms dan attitudes yang ditumbuh-kembangkan dari Pancasila. Semuanya itu akan terefleksikan pada visi, misi, nilai-nilai, orientasi dan strategi serta kebijakan pendidikan nasional yang menjadi pedoman bagi praktik pendidikan di tanah air.
Berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila, Presiden pertama Indonesia, Bung Karno penggali Pancasila suatu ketika pernah menyatakan bahwa Pancasila manakala diperas tuntas bisa berujud Eka Sila, yakni Gotong Royong. Politik bangsa dan negara waktu itu tengah berada pada situasi dan kondisi konfrontasi antara kekuatan komunis atheist dengan kekuatan agamis. Dari kalangan agamis keberatan dengan gagasan Bung Karno tersebut, karena memeras Ketuhanan Yang Maha Esa dimasukan menjadi bagian bagian gotong royong, karena dianggap sebagai langkah menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara, sebagaimana dituntut oleh kaum komunis.
Namun kalau dikaji dan direnungkan secara secara jernih lagi mendalam, gagasan Bung Karno tidaklah salah. Bukankah gotong royong bekerjasama untuk kebaikan merupakan perintah semua agama? Bukankah untuk bisa gotong royong yang hakiki memerlukan kemanusian, dimana kehormatan dan martabat manusia mendapatkan penghargaan dan tempat yang tinggi? Bukankah gotong-royang yang hakiki akan terlaksana manakala setiap warga memiliki kebebasan? Bukankah gotong royong yang hakiki hanya akan terlaksana manakala warga memiliki semangat dan kemauan untuk bersatu padu? Bukankah gotong royong yang hakiki hanya akanberlangsung manakala terdapat keadilan?
Oleh karenanya, mantan Direktur Profesi Pendidik Ditjen PMPTK, Kemdiknas, sepakat dengan gagasan Bung Karno, namun, Prof. Zamroni tetap memisahkan agama dari Gotong Royong. Bahwa dari Pancasila dapat dikembangkan dua pilar budaya, yang merupakan dimana sistem dan praktik pendidikan Indonesia diselenggarakan. Dengan demikian pendidikan berbasis budaya merupakan suatu sistem dan praktik pendidikan yang berdasarkan Pancasila, yang menumbuhkan dua pilar budaya, yakni Theo-centris dan Gotong Royong, dengan tujuan jangka panjang untuk mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Untuk mewujudkan gagasan-gagasan besar di atas, dibutuhkan strategi dalam pendidikan, salah satunya adalah melalui konsep pendidikan populis berbasis budaya. Pendidikan populis merupakan pendidikan yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan sekolah dan proses pembelajaran, yang dilaksanakan dengan suasana kepengasuhan. Keadilan dan kesetaraan merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk mewujudkan prestasi ekselens untuk semuanya. Ekselensi tidak sekedar diukur dengan standar seberapa jauh materi yang disajikan di kelas sudah dikuasai oleh peserta didik, melainkan juga perlu dievaluasi bagaimana manfaat keberadaan siswa dengan penguasaan ilmu terhadap orang lain. Lebih jauh lagi perlu juga dievaluasi seberapa jauh hasil pendidikan telah berdasarkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sehingga pencapaian tujuan pendidikan bukan menjadi hal yang sukar. (ld/pewara dinamika)