Pendahuluan
Permasalahan literasi sering diabaikan oleh banyak orang karena orang lebih cenderung memilih jalan pintas dan seakan tidak lagi memperhatikan kebutuhan akan baca dan tulis. Literasi bukan sekedar kemampuan seseorang untuk mampu memahami baca dan tulis semata, melainkan kemampuan seseorang untuk mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan mampu mengendalikan diri dan tidak hanya sekedar menuruti kemauannya tanpa memperhitungan akibat yang dapat ditimbulkannya. Fenomena munculnya hoax di media sosial yang justru malah diviralkan secara masif oleh sekelompok komunitas tertentu menandakan rendahnya pemahaman masyarakat pada budaya literasi. Pada umumnya, mereka tidak mengganggap pentingnya mengedepankan budaya literasi. Malah justru sebaliknya, mereka kurang memahami budaya literasi itu sendiri.
Literasi, pada mulanya, dimaknai keberaksaraan dan selanjutnya dimaknai melek atau keterpahaman. Pada langkah awal, melek baca dan tulis ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal atau disebut multiliterasi. Menurut Deklarasi Praha pada tahun 2003 literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (Widarti, 2017). Berdasarkan pada KBBI online, literasi memiliki tiga makna, pertama secara sederhana adalah kemampuan membaca dan menulis. Kedua, literasi bermakna pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. Ketiga, kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dari makna literasi tersebut nampak bahwa literasi tidak hanya terkait dengan membaca saja. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Unesco mengenai literasi. Unesco menjelaskan bahwa literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Pemahaman seseorang mengenai literasi akan dipengaruhi oleh kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nila-nilai budaya serta pengalaman.
Pada perkembangannya jenis literasi yang dikembangkan oleh Kemdikbud RI dalam Gerakan Literasi Nasional terdapat enam jenis literasi yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, literasi budaya dan kewargaan (Anonim, 2020). Menurut pakar pendidikan (Anonim, 2020) bahwa literasi ialah kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “membaca, berbicara, menyimak dan menulis” dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Jika didefinisikan secara singkat, definisi literasi yaitu kemampuan menulis dan membaca (Sulzby, 1991; Teale & Sulzby, 1986). Literasi ialah suatu kemampuan dalam diri seseorang untuk menulis dan membaca (Graff, 1982, 1996; Street & Graff, 1988). Literasi ialah suatu kemampuan seseorang dalam membaca dan juga menulis (Collin, 2013; Goody & Watt, 1963). Berdasarkan kamus online Merriam–Webster, literasi ialah suatu kemampuan atau kualitas melek aksara di dalam diri seseorang dimana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual. Menurut UNESCO literasi ialah seperangkat keterampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Bahasa Jerman
Bahasa Jerman sering kali sulit dipahami oleh orang yang mempelajarinya. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai aturan yang sangat rinci dan yang tidak dimiliki oleh orang yang bukan penutur bahasanya. Bahasa Jerman adalah bahasa fleksi. Pembelajar bahasa Jerman berasal dari berbagai jenis bahasa seperti berasal dari Indonesia, di mana bahasa Indonesia termasuk bahasa aglutinasi. Bahasa fleksi mengedepankan aturan yang jelas seperti tempus, kasus, genus, dan numerus. Tempus adalah sistem bahasa yang mengatur perubahan tensis akibat perbedaan kala sehingga pemerkahannya bersifat morfologis, paradigmatis, dan derivasional. Kasus yaitu hubungan antara nomina dan unsur lain dalam kalimat yang saling berkaitan. Hubungan ini menyebabkan adanya perubahan bentuk nomina yang mengalami perubahan. Perubahan ini disebut deklinasi. Genus diambil dari bahasa Latin yang berarti gender (grammatical gender) karena semua nomina bahasa Jerman memiliki gender yaitu: maskulin, feminin, dan neutral. Numerus yaitu penanda jumlah karena untuk menandai bentuk singular dan plural.
Kekuranganpahaman pembelajar untuk memahami bahasa Jerman yang dipelajarinya dapat disebabkan oleh adanya ketidaklengkapan pemahaman akan bahasa fleksi seperti bahasa Jerman karena dalam pikirannya sudah tertanam penguasaan akan bahasa aglutinasi seperti bahasa Indonesia. Pola pikir demikian, sangat menghambat akan penguasaan bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa fleksi membutuhkan penguasaan pada struktur atau pola kalimat, dan tatanan gramatikal yang sangat teratur. Hal ini sering kali tidak disadari oleh si pembelajar yang barasal dari bahasa aglutinasi sehingga mereka kesulitan dalam menguasi dan memahmi bahasa asing yang ia pelajarinya tersebut. Akan tetapi, dengan pemahaman akan literasi budaya dan bahasa asing dapat meminimalisir kesalahan. Bahasa Jerman pada konteks tertentu juga tidak tersedia leksikon yang dapat dipadankan dengan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Jawa. Kesepadanan makna hanya dapat diuraikan dengan berbagai penjelasan dan dideskripsikan berdasarkan kumpulan kata-kata seperti mendefinisikan sebuah istilah. Barulah akan dimengerti makna kata yang dimaksudkan. Hal ini dapat diberikan contoh untuk mendeskripsikan istilah yang digunakan pada sapaan kekerabatan dalam bahasa Jerman yang hanya ditemukan enam keturunan atau generasi seperti: der Vater/die Mutter 'bapak/ibu', das Kind 'anak', der Engkel/die Engkelin 'cucu', der Urengkel/die Urengkelin 'cicit', der Urenkel seines Sohnes 'piut', dan der Ur-Großenkel/-in 'anggas'. Berbeda dengan bahasa Jawa yang justru kaya akan leksikon yang terkait dengan kekerabatan tersebut seperti: bapak/ibu, anak, putu, buyut, canggah, wareng, udeg-udeg, gantung siwur, gropak senthe, debog bosok, galih asem, gropak waton, cendheng, giyeng, cumpleng, ampleng, menyaman, menyo-menyo, dan tumerah yang secara berturut-turut bermakna keturunan pertama hingga ke-19 keturunan.
Dalam berbagai buku pembelajaran bahasa Jerman untuk tema Essen und Trinken 'makan dan minum' juga memunculkan berbagai perbedaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kosa kata yang digunakan untuk mengungkap tema makan dan minum. Penggunaan alat makan berbeda. Kebiasaan orang Jerman untuk melakukan aktivitas makan memerlukan piring besar, piring kecil, sendok besar, sendok kecil, garpu besar dan garpu kecil, mangkuk, pisau makan dsb. Adapun bagi orang Indonesia ada yang tidak menggunakan peralatan makan secara lengkap seperti orang Jerman. Tradisi makan dan minum bagi kebanyakan orang Jerman berbeda dengan orang Indonesia. Orang Indonesia pada umumnya dapat melakukan aktivitas makan dengan baik walaupun tanpa menggunakan peralatan makan sebanyak dan sebanyak yang digunakan orang Jerman. Ini menandakan bahwa budaya, tradisi, dan kebiasaan makan dan minum secara turun temurun di alami oleh orang Indonesia tanpa mengunakan peralatan makan secara lengkap. Orang Jerman pada saat duduk di meja makan harus tersedia peralatan makan dan minum dengan lengkap. Jika tidak, maka tidak lengkap pula hidangan yang dapat dinikmatinya. Seperti halnya, untuk mengungkapan makna negasi dalam bahasa Jerman terdapat 26 macam (Triyono dkk., 2020), sedangkan dalam bahasa Indonesia hanya 12 macam yaitu tidak, bukan, tak, selain itu, kecuali itu, menyangkal, jangan, tidak ada, tidak pernah, kalau tidak, jika tidak, dan mengingkari.
Ketidaksamaan jumlah varian negasi antara bahasa Jerman dan Indonesia, tidak menyulitkan si pembelajar. Hal ini disebabkan oleh cara pandang dan cara penyampaian maksud yang memang perbeda di antara kedua bahasa itu. Ketidaksamaan jumlah negasi merupakan keterbatasan jumlah leksikon yang dimiliki oleh bahasa Indonesia. Namun demikian, si pembelajar bahasa Jerman, langsung dapat menyesuaikan pemikirannya dan langsung dapat beradaptasi untuk mengungkapkan istilah negasi dalam bahasa Jerman. Belajar bahasa asing, si pembelajar wajib beradaptasi untuk memasuki konteks budaya bahasa asing tersebut. Jika tidak, mereka akan kesulitan karena jumlah leksikon dalam bahasa Indonesia yang dimiliki tidak sama dengan jumlah leksikon dalam bahasa target.
Perbedaan varian kata yang terdapat di dalam beberapa buku pelajaran bahasa Jerman yang mengajarkan tema makanan dan minuman, juga ditemui adanya perbedaan. Andai kita menyebutkan proses tanaman padi hingga menjadi nasi, dalam bahasa Jerman sering diulang-ulang istilah yang digunakannya untuk memaknai istilah yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya kata Reis dalam bahasa Jerman yang digunakan untuk memaknai kata padi, gabah, beras, nasi, dan sekam. Hal yang menyulitkan pembelajar Indonesia yang mempelajari bahasa Jerman adalah sama bentuk leksikalnya tetapi beda maknanya. Misalnya kata padi disebut Reis, gabah Reis, beras Reis, nasi Reis, dan sekam Reis. Konteks yang berbeda menyebabkan perbedaan istilah yang digunakan. Untuk mengungkapkan kata Reis itu bermakna padi dan bukan beras, maka diperlukan penjelasan yang memadai agar pembelajaran bahasa Jerman tidak bingung. Penyebutan ketika mencari kosa kata dalam kamus disebutkan bahwa berbagai makna kata Reis karena pembelajar akan makan nasi Reis. Lalu akan memilih Reis yang mana? akahkan makan padi atau makan gabah atau makan beras dan bukan makan nasi. Untuk memahami konteks dalam tema makan dan minum dibutuhkan pemahaman akan konteks budaya. Belajar bahasa asing harus mempelajari budayanya karena bahasa dan budaya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Intercultural competence menjadi satu kesatuan karena bahasa fungsinya untuk mengekspre-sikan, menampilkan, dan menyimbolkan realitas budaya. Pengalaman budaya disimbolkan oleh bahasa (Knowles & Kramsch, 1995; Kramsch, 2011). Itulah sebabnya membangun literasi dalam berbagai aspek mulai dari unsur terkecil hingga terbesar dalam konteks pembelajaran bahasa asing dan budayanya menjadi sangat penting. Pemahaman secara komprehensif dalam belajar bahasa asing tersebut dapat dipahami secara menyeluruh dalam konteks budaya dan adat istiadanya. Oleh karena itu, konteks dalam sebuah wacana menjadi sangat penting untuk membantu mempermudah pemahaman makna yang tepat dari bentuk padanan yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda atau sebaliknya.
Penutup
Pemahaman yang baik pada sebuah wacana lisan maupun tulisan diperlukan pemahaman literasi yang baik pula. Literasi yang baik diperlukan pembudayaan tidak sekedar pembudayaan menguasai kemampuan baca dan tulis saja, melainkan pemahaman akan keseluruhan aspek mulai dari teks, koteks, dan konteks yang berkembang secara pesat di masyarakat. Literasi memiliki peran penting untuk mempermudah pemahaman seseorang pada semua aspek karena literasi adalah keberaksaraan yang dapat digunakan untuk memahami konteks secara mikro dan makro dengan baik. Literasi merupakan kemampuan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, dapat berpikir lebih kritis, memiliki gagasan cepat dalam menyikapi konten yang tidak baik, serta dapat berkomunikasi secara efektif yang dapat digunakan untuk mengembangkan potensi untuk berpartisipasi dalam bermasyarakat secara luas.