Sebagai sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922, Sekolah Tamansiswa yang pada saat ini berpusat di Balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Tamansiswa Yogyakarta, sudah memiliki 129 cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Dalam menentang penjajahan, Ki Hajar Dewantara tidak memilih jalur politik dengan mendirikan partai politik, namun mencoba memilih lewat jalur pendidikan dan kebudayaan lewat didirikanya sekolah Tamansiswa, dengan adanya sekolah Taman Siswa, Ki Hajar mencoba melawan deskriminasi pendidikan yang dirasakan kaum pribumi pada masa penjajahan Belanda.
Ikatan Alumni UNY yang ingin lebih mengenalkan sejarah dan peran Tamansiswa dalam pendidikan di Indonesia, menyelenggarkan seminar dengan Tajuk “ Tamansiswa Pendidikan Kebangsaan Berbasis Budaya” pada Selasa 16 November 2021 secara virtual dengan dihadiri Prof. Suyanto, Ph.D., ( Ketua IKA UNY), Prof. Sumaryanto, M.Kes. (Rektor UNYdan jajaran pimpinan UNY serta anggota IKA yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Hadir pula Narsumber terkemuka, para Begawan pendidikan Tamansiswa, antara lain, Prof Edi Swasono, Ph,D ( Ketua Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), Ki Dr. Saur Panjaitan ( Panitera Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa) dan Ki Drs. Sutikno (Praktisi Pendidikan Tamansiswa) dengan moderator yaitu Dr, Supardi, M.Pd. ( Dosen FIS UNY)
Profesor Suyanto dalam sambutanya mengatakan bahwa dengan adanya seminar ini, kita dapat lebih memahami kiprah Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan dengan prinsip fundamentalnya yaitu Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang menjadi pedoman bagi para guru hingga saat ini.
Rektor UNY, Profesor Sumaryanto menyambut baik seminar ini karena dengan lebih mengenal Tamansiswa yang sangat menjunjung tinggi nasionalisme serta kebudayaan maka dapat membangkitkan semangat cinta produk dalam negeri serta dapat lebih menghargai karya anak bangsa.
Pengajaran bagi para siswa harus menumbuhkan rasa kebangsaan dan nasionalisme agar makin terpupuk rasa cinta tanah air, demikian yang disampaikan Profesor Edi Swasono ketika menyampaikan paparanya. “ Jika salah dalam mendidik siswa, maka dikemudian hari justru dia bisa menjadi musuh bagi bangsa ini sendiri, “ tambah Edi Swasono. Jika kita berhasil menumbuhkan rasa cinta tanah air kepada para siswa maka kelak mereka akan mengabdi kepada ibu pertiwi.
Tamansiswa yang memiliki misi untuk mengembangkan budaya nasional berupaya untuk senantiasa menyisipkan pendidikan karakter nasionalistik kepada para siswa melalui para pamong dan dosen. Jika kita sudah memiliki sistem pendidikan yang tepat maka selain dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dapat pula menghilangkan rasa minder atau tidak percaya diri yang ada pada setiap siswa, Karena kecerdasan sejatinya harus sejalan dengan adanya rasa percaya diri. Ki Saur Panjaitan menjelaskan, bahwa konsep “Pendidikan Untuk Semua” yang dianut oleh Tamansiswa , mengandung arti bahwa seharusnya pendidikan bisa bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara dengan tetap menyemai keluhuran budaya. Saur Panjaitan juga menambahkan, Ki Hajar Dewantara sendiri selalu terbuka pada kemajuan adab tidak pernah menolak adanya budaya asing bahkan diyakini dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, namun perlu juga diingat agar jangan sampai kehilangan kewaspadaan terhadap model penjajahan baru berupa penundukan pola pikir budaya sendiri.
Pada kesempatan ini Ki Sutikno menerangkan bahwa dalam dunia pendidikan, emosi dan intelektualitas haruis berjalan seiringan. Penting juga agar selalu diingat bahwa sebaik- baiknya manusia adalah yang dapat merawat negaranya sendiri. Ki Sutikno juga kembali mengingatkan kita akan ajaran Ki Hajar Dewantara yang fenomenal hingga sekarang yang bisa dijadikan panutan dalam kehidupan sehari- hari yaitu ngerti, ngroso, nglakoni serta niteni, nirokke, nambahi. (Khairani Faizah)