ALUMNI FMIPA UNY KULIAH DI POLANDIA

ALUMNI FMIPA UNY KULIAH DI POLANDIA

Ummi Hani, lulusan Prodi Pendidikan Biologi FMIPA UNY tahun 2015 meneruskan kuliah S2 di salah satu universitas terbaik di Polanda yakni Universitas Jagiellonian jurusan Bioteknologi Molekuler menggunakan Bahasa Polandia.  Ummi kuliah di Polandia dengan mendaftar beasiswa luar negeri yakni beasiswa Ignacy Lukasiewicz dari pemerintah Polandia.

Ummi mengatakan untuk batch pertama ada 7 orang dari UNY yang kuliah di Polandia. batch 2 saya, dan batch 3 yaitu dari alumni Pendidikan Biologi 2 orang, Pendidikan Kimia (1) dan Pendidikan Teknik Otomotif (2). Untuk yang bacth pertama yang sudah lulus ada yang meneruskan S3 di Jerman yaitu Eko Budiyanto alumni Pendidikan Kimia.

“Saya mulai kuliah pada 2017 dengan kuliah bahasa Polandia setahun. Lalu selama dua tahun kuliah Bioteknologi Molekuler. Kuliah bahasa Polandia ini wajib diikuti oleh penerima beasiswa Ignacy Lukasiewicz. Dan saya lulus dari Universitas Jagiellonian pada 28 Juni 2019,” lanjutnya.

Ummi menjelaskan, Bahasa Polandia terkenal sebagai bahasa yang sulit untuk dipelajari. Setiap ganti subjek, kata kerjanya pun ikut berubah bentuk. Dikenal sebagai bahasa paling sesuka hati mengubah bentuk dan banyak pengecualian dalam penggunaan beberapa kata, membuat Bahasa Polandia terasa semakin sulit dicerna bagi mahasiswa asing.

Pada tes wawancara untuk masuk S2 di universitas ini, ada 4 pewawancara mulai dari dekan, koordinator jurusan serta dosen pengampu mata kuliah tertentu. Tes wawancara dilakukan menggunakan Bahasa Polandia dan yang ditanyakan adalah soal-soal terkait dengan mata kuliah.

“Awal masuk kelas, isinya semua orang lokal Polandia dan hanya ada dua orang asing, saya dan satu orang dari ukraina. Awalnya saya sama sekali tidak paham dosen menjelaskan apa. Yang saya tangkap hanya kata per kata, dari rentang 1 sampai 100 % , mungkin hanya sekitar 10 % yang bisa saya tangkap. Di Universitas Jagiellonian terdapat perbedaan kurikulum antara jurusan dengan program Bahasa Inggris dengan program jurusan yang menggunakan pengantar Bahasa Polandia. Kesamaannya hanyalah di mata kuliah pilihan, mahasiswa dari program jurusan Bahasa Polandia diperbolehkan mengambil mata kuliah berbahasa inggris,” katanya.

Ummi mengungkapkan, disamping bahasanya yang sulit dimengerti, materinya pun sangat jauh dari apa yang saya pelajari ketika menempuh pendidikan S1. Dihadapkan dengan beberapa mata kuliah dengan sistem “konwersatorium” semacam diskusi dengan beban 6 ECTS, diberi tugas setumpuk yang harus selesai h-1 sebelum pertemuan di kelas, ditambah dengan harus menyelesaikan kuis di web kampus sekitar 50 butir soal yang kesemuanya menggunakan bahasa Polandia, belum lagi mempersiapkan materi untuk diskusi di setiap pertemuan, jadi menurut saya ini bukan diskusi tapi layaknya tes secara oral dan semua mahasiswa berlomba-lomba tunjuk jari untuk menjawab. Sebelum diskusi dimulai dosen akan memberikan soal tes tertulis dahulu.

Saya tidak tahu teman-teman diskusi sampai mana, semuanya berbicara sangat cepat dan saya sulit memahami. Belum lagi tugas-tugas dan soal tes. Ditambah lagi, mata kuliah ini adalah mata kuliah di winter semester, bagi saya ini membawa pengaruh tersendiri karena malamnya lebih Panjang dari siang sehingga berangkat gelap pulang gelap sampai dormitory masih harus memasak sendiri, belanja sendiri dan lain lain yang lumayan menyita waktu.

“Saya mendatangi setiap dosen untuk meminta penjelasan apa yang tadi dijelaskan untuk diulang lagi, namun tak semua dosen mau menjelaskan. Beberapa dosen memberi keringanan membolehkan saya menjawab menggunakan bahasa Inggris Ada pula dosen yang tak mau tahu, tak mau memberi materi dan tak mau memberikan keringanan. Sampai pada suatu ketika saya takut untuk masuk kelas, saya takut dengan kelas sistem diskusi. Dunia seakan berkebalikan menjadi 180 derajat, di Indonesia saya sangat senang kelas dengan sistem diskusi, disini saya takut untuk berangkat ke kelas. Motivasi dan semangat dari keluarga lah yang menguatkan saya di titik terendah saya,” imbuhnya.

Di awal datang ke kelas, mereka enggan untuk memulai pembicaraan dengan orang asing dan berjilbab. Semakin terasa ketika perkuliahan dengan kelas besar, karena disini terdapat kuliah yang per angkatan dibagi menjadi beberapa grup kecil yang terdiri dari 9-12 mahasiswa dan ada juga kelas besar yang terdiri dari seluruh mahasiswa se-angkatan yakni sekitar 63 mahasiswa. Pelan-pelan saya dekati satu per satu teman hingga pada akhirnya mereka mulai mau bertegur sapa hingga makan bersama. Mereka semua baik, kuncinya adalah sabar.

Ummi juga menceritakan tentang budaya disana dimana seks bebas dimana-mana, alkohol dijual bebas, setiap Jumat malam party- party tentunya sambil minum alkohol. Tak perlu mengikuti budaya mereka, membatasi diri sangat penting supaya tidak terbawa dalam pergaulan bebas. Berusaha berkumpul dengan sesama mahasiswa dari Indonesia dapat memperkuat keyakinan kita supaya tak terbawa arus.

Ada pula di awal kedatangan, masyarakat Polandia terkesan cuek. Misal pada saat di transportasi umum, semua orang pandangan lurus. Sangat berbeda dengan kota dimana saya menempuh Pendidikan sebelumnya yang begitu ramah. Belum lagi di beberapa kota di Polandia masih tergolong rasis, tetapi di beberapa kota yang merupakan kota tujuan wisata, tak ada rasis. Jadi, sebagai mana kita persiapkan mental saja sebelum memutuskan untuk kuliah di luar negeri. Banyak orang mengira kuliah di luar negeri itu cuma enak-enak aja jalan jalan kesana kemari, padahal nyatanya dibalik itu semua kita harus berjuang lebih keras karena keluar dari zona nyaman. (witono)