Masa lampau adalah keniscayaan, masa kini kenyataan, dan masa depan adalah harapan. Hal ini relevan dengan terminologi Nevin yang mengatakan bahwa sejarah adalah jembatan penghubung antara masa lalu dan masa sekarang, dan sebagai petunjuk kearah masa depan. Tugas pembelajaran sejarah menyangkut ketiga dimensi itu, dan oleh karenanya sejarah memiliki peran penting sebagai pendidikan masa depan. Pembelajaran sejarah, terutama pembelajaran sejarah nasional Indonesia, memiliki tugas utama dalam menanamkan semangat berbangsa dan bertanah air. Pembelajaran sejarah berusaha membangkitkan kesadaran empati (emphatic awareness), yakni sikap simpati dan toleransi terhadap orang lain yang disertai dengan kemampuan mental dan sosial untuk mengembangkan imajinasi dan sikap kreatif, inovatif, serta partisipatif. Kemampuan untuk mengidentifikasikan diri secara empatik dengan orang lain itu merupakan kecakapan sosial yang merupakan kemampuan membentuk kebersamaan dan keterikatan atau solidaritas. Kompetensi sosial menilai dengan kritis dengan mengakui perbedaan sebagai salah satu modal untuk menerima ketidaksamaan dalam kemajemukan. Toleransi juga dapat mendidik siswa untuk menanamkan sikap demokratik, berjiwa besar, dalam menghargai dan menghormati pendapat dan pikiran orang lain, disertai landasan tanggung jawab dan komitmen masyarakat bangsa untuk mewujudkan cita-cita nasional.
Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dengan demikian, pendidikan nasional memiliki tujuan yang sangat luas tidak saja terkait dengan kecakapan akademik, melainkan pula kecakapan-kecakapan lain seperti religius, kepribadian, dan sosial. Dalam konsepsi pembelajaran sejarah, tujuan-tujuan itu lebih terwujud secara spesifik seperti kesadaran sejarah, nasionalisme, patriotisme, wawasan humaniora, di samping kecakapan akademik, yang sampai sekarang belum disosialisasikan secara intensif sehingga substansi utama dari kurikulum tersebut kurang mencapai sasaran. Untuk mewujudkan itu semua adalah mutlak diperlukan usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional secara terus-menerus.
Sistem pembelajaran sebagai bagian integral dari sistem kegiatan pendidikan, merupakan fenomena yang harus diperbaiki dan dikembangkan oleh pihak-pihak terkait dan yang berkepentingan. Hal ini menyangkut banyak hal seperti kurikulum, metode, media pembelajaran, materi pembelajaran, kualitas pendidik, asesmen pembelajaran, sehingga tercipta sistem pembelajaran yang baik dan berorientasi ke masa depan. Dengan demikian perlu dikembangkan sistem pendidikan menjadikan peserta didik tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga subjek belajar. Pendidikan tidak lagi berpusat pada lembaga atau pengajar yang hanya akan mencetak para lulusan yang kurang berkualitas, melainkan harus berpusat pada peserta didik sebagai pusat belajar dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersikap kreatif dan mengembangkan diri sesuai dengan potensi intelektual yang dimilikinya.
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan program pembelajaran sejarah yang berorientasi pada masa depan, melibatkan peranan peserta didik secara penuh, dan membangun sikap kritis dalam pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah kritis dan substantif harus segera dilembagakan di sekolah-sekolah, dalam rangka memacu daya intelektualitas siswa menyangkut peristiwa-peristiwa lampau yang dibaca dalam kacamata kekinian. Pembelajaran kritis dan substantif harus menyentuh wilayah intelektual siswa, dan mampu membangun pemikiran interpretatif tentang peristiwa sejarah terutama menyangkut peristiwa-peristiwa yang faktanya masih bersifat lunak. Di samping itu yang lebih penting adalah, bagaimana pembelajaran sejarah dapat menumbuhkan sikap nasionalisme, patriotisme, kesadaran sejarah, wawasan humaniora. disamping yang secara umum tujuan pendidikan untuk meningkatkan kecakapan akademik, sosial, religius, dan kepribadian.
Perlu kita ingat bahwa sejarah tidak hanya sekedar serangkaian peristiwa yang mandeg dan hanya menjadi ceritera pelipur lara, ceritera pembangkit semangat untuk “kebesaran diri”, melainkan lebih dari itu, bahwa sejarah terjadi di dalam “suatu lingkaran waktu yang satu”, yang selalu bergerak tanpa henti. Oleh karena itu waktu dapat dikatakan selalu berada di dalam kekinian. Dalam kekiniannya yang selalu bergerak itulah waktu dapat terbagi menjadi tiga masa: yaitu waktu kini masa lampau, waktu kini sekarang, dan waktu kini yang akan datang (Anhar Gonggong, 1996). Sejarah sebagai bagian masa dari gerak waktu tanpa henti, memiliki dinamika yang menggerakkan. Generasi yang hidup dalam “waktu kini-sekarang” mempunyai kedudukan strategis. Kedudukan strategis yang dimaksud adalah generasi dalam “waktu kini-sekarang”, adalah membangun kelangsungan hidup dirinya dengan mengacu kepada “waktu kinimasa lampau” dan sekaligus berperan dalam merancang kehidupan generasi yang hidup di dalam “waktu kini-yang akan datang”.
Dalam terminologi Ibn Khaldun, sejarah dapat dipahami oleh orang terpelajar ataupun awam. Pada tingkat kalangan terpelajar, penulisan sejarah melibatkan spekulasi dan upaya menemukan kebenaran, penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan asal-usul dari kenyataan yang ada, serta pengetahuan mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa terjadi. Ibn Khaldun mengritik para sejarawan yang amat tekun mencatat pelbagai kejadian bersejarah tetapi mencampur-adukkan fakta dengan gossip atau laporan palsu. Ia mengeluhkan kurangnya upaya serius dan semangat kritis yang menghalangi spekulasi teoritis dalam penulisan sejarah. Sejarah spekulatif teoritis pada dasarnya akan menelisik maknamakna batiniah sejarah dan menggali asal-usul dan sebab-sebab dari apa yang dilaporkan sebagai fenomena permukaan sejarah (Farid Alatas, 2017). Sejarah memiliki dua sisi yang perlu diperhatikan, yakni sisi luar dan sisi dalam. Pada sisi luar sejarah itu tidak lebih dari pada perputaran kehidupan yang silih berganti di masa lampau. Tetapi pada sisi dalam sejarah adalah suatu penalaran kritis (nazar) dan kerja yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi (Maarif, 1997).
Bagi kalangan sejarawan dan pemerhati sejarah, suatu peristiwa harus diterangkan secara lebih jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial, ekonomi, politik, dan juga kulturalnya. Hanya menceritakan bagaimana terjadinya suatu peristiwa, belum memberikan eksplanasi secara tuntas dan lengkap, karena sejarawan adalah wisatawan profesional dalam dunia lampau (Kartodirdjo, 1992). Oleh karena itu, sejarawan sejatinya harus mampu menunjukkan pola-pola perkembangan, konteks dan kondisi peristiwa, serta akibatnya, yang kesemuanya sukar diketahui dan dipahami oleh semua orang yang tidak mengalami sendiri peristiwa-peristiwa itu. Walaupun sejarawan pada umumnya termotivasi oleh rasa cintanya pada masa lampau dengan segala keunikannya serta oleh hasratnya untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih kongkret tentang peristiwa, pelaku, dan situasi sejarah, hasil kerjanya pada dasarnya ditujukan untuk orangorang dari masanya sendiri. Perhatiannya terhadap masa lampau, terutama pada periode yang ditandai oleh perubahan yang pesat dan revolusioner, ketidakpastian yang bersifat konstan, dan krisis, terkait dan sebanding dengan keterlibatan emosional mereka dengan masa kini dan dengan pencarian mereka akan berbagai jawaban terhadap fenomena dan soal-soal yang melingkupi mereka (Soedjatmoko, 1995).
Dalam konteks akademis, sejarah merupakan suatu bidang ilmu atau bidang studi yang memerlukan imajinasi kesejarahan yang kritis dalam pengkajiannya. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan sejarah dalam setting historis yang fenomenologis. Sejarah tidak selalu menyangkut “past event” atau peristiwa-peristiwa masa lampau, tetapi juga berhubungan atau menyangkut peristiwa-peristiwa mutakhir (current events) (Suyatno Kartodirdjo, 2000). Dalam konteks ini, sejarawan yang bertindak sebagai duta dari masa lampau tidak hanya memberikan informasi tentang negeri pada jaman tertentu, tetapi juga kondisi dan situasinya, sistem ekonomi, sosial, dan politik, serta seluruh fenomena kehidupan masyarakat dalam pelbagai aspeknya. Dengan pelbagai pendekatan dalam metodenya, sejarawan menjalankan tugasnya dalam pelbagai lapangan. Hasilnya dapat memperdalam pengertian di bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan (Collingwood, 2001).
Sejarawan harus bisa menjangkau bagian dalam peristiwa sejarah atau pikiran-pikiran yang melatarbelakanginya. Dalam konteks ini, (Collingwood, 1973) menekankan keistimewaan yang dapat dilakukan oleh sejarawan terhadap objeknya yaitu dengan jalan re thinking them in his own mind (memikirkan kembali dalam pikiran sejarawan sendiri). Dengan ini, sejarawan harus mampu meneropong pikiran pelaku sejarah dengan cara mencoba menghidupkan kembali pikiran-pikiran pelaku sejarah tersebut dalam pikirannya sendiri; dengan kata lain secara imajiner sejarawan harus mencoba menempatkan dirinya ke dalam pelaku-pelaku sejarah yang bersangkutan. Ini dianggap merupakan unsur pokok dalam “cara berpikir historis” (historical thinking) yang menjadi dasar dari “cara menerangkan dalam sejarah” (historical explanation). Dengan demikian, (Widja, 1989) sejarawan dianggap perlu memperhatikan prinsip koligasi dalam menerangkan peristiwa yaitu suatu prosedur menerangkan suatu peristiwa dengan jalan menelusuri hubungan-hubungan intrinsiknya dengan peristiwa-peristiwa lainnya dan menentukan tempatnya dalam keseluruhan peristiwa sejarah.
Dalam kajian ilmiahnya, muncullah kontroversi apakah sejarah itu sebagai ilmu atau seni. Mungkin pendirian moderat yang mengatakan bahwa sejarah mengandung kedua dimensi ilmu dan seni pantas untuk dipertahankan. Dari sudut metode pengumpulan dan penafsiran data, sejarah tidak berbeda dengan metode ilmu pada umumnya (Juliet Gardiner, 1988). Tetapi dalam teknik penyusunan laporan, unsur imajinasi sejarawan memegang peranan penting, dan tentu saja bukanlah imajinasi liar. Imajinasi historis adalah imajinasi yang dikontrol oleh hukum-hukum logika berdasarkan fakta. Karena imajinasi inilah karya sejarah dirasakan juga sebagai karya sastra. Kemudian dalam masalah bahasa, bahasa sejarah lebih dekat kepada bahasa novel daripada bahasa teks ilmiah. Hal ini memang diperlukan, sebab bila tidak, siapa yang akan betah membaca karyasejarah. Sekalipun demikian, laporan sejarah senantiasa menuntut akurasi dalam bingkai disiplin historis. Tinggi rendahnya kualitas sebuah karya sejarah akan sangat tergantung kepada akurasi dan disiplin seorang sejarawan dalam membangun laporannya. Dalam historiografi, dikenal istilah sejarah yang baik dan sejarah yang papa (poor history). Perspektif Renier, yang paling repot adalah “sejarah yang terburuk sekalipun tetaplah ia sejarah” (Maarif, 2006).
Seseorang yang mempelajari sejarah, harus memiliki cara pandang yang benar tentang sejarah. Sejarah tidak saja serangkaian fakta yang kering dan mati, melainkan memiliki makna yang dalam bagi kehidupan manusia. Mata pelajaran sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: membangun kesadaran tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan; melatih daya kritis untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan; menumbuhkan apresiasi dan penghargaan terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau; menumbuhkan pemahaman terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang; dan menumbuhkan kesadaran sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. sejarah. Sekalipun demikian, laporan sejarah senantiasa menuntut akurasi dalam bingkai disiplin historis.
Setiap kegiatan, baik pendidikan maupun non pendidikan, seharusnya diikuti dengan kegiatan asesmen. Asesmen dilakukan bertujuan untuk menilai apakah suatu program terlaksana sesuai dengan perencanaan dan mencapai hasil sesuai yang diharapan atau belum. Berdasarkan hasil evaluasi akan dapat diketahui hal-hal yang telah dicapai, apakah suatu program dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Setelah itu kemudian diambil keputusan apakah program tersebut diteruskan, direvisi, dihentikan, atau dirumuskan kembali sehingga dapat ditemukan tujuan, sasaran dan alternatif baru yang sama sekali berbeda dengan format sebelumnya. Agar dapat menyusun program yang lebih baik, maka hasil evaluasi program sebelumnya dapat dijadikan sebagai acuan pokok.
Dalam pada itu, salah satu faktor penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui program pembelajaran, dan evaluasi merupakan salah satu faktor penting program pembelajaran. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tersebut, pelaksanaan evaluasi harus menjadi bagian penting, dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Di samping evaluasi berguna bagi pimpimam sekolah sebagai upaya untuk memotret sistem pendidikan yang menjadi tanggungjawabnya, evaluasi juga dapat menumbuhkan minat, dan motivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi, dan juga untuk mendorong guru agar lebih meningkatkan kinerja dalam berkarya sebagai pendidik profesional. Dengan demikian, evaluasi tidak hanya terfokus pada penilaian hasil belajar semata, melainkan pula perlu didasarkan pada penilaian terhadap input maupun proses pembelajaran itu sendiri. Dalam konsepsi ini, optimalisasi sistem evaluasi mempunyai dua makna, yakni sistem evaluasi yang memberikan informasi yang optimal, dan manfaat yang dicapai dari evaluasi tersebut. Manfaat utama dari pelaksanaan asesmen pendidikan adalah meningkatkan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, dilaksanakannya asesmen terhadap pelaksanaan pembelajaran diharapkan akan meningkatkan kualitas proses pembelajaran berikutnya yang tentunya akan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.
Asesmen kesadaran sejarah dan nasionalisme, menjadi bagian yang sangat penting untuk terus dikembangkan, mengingat tujuan pembelajaran secara substantif adalah tumbuhnya kesadaran sejarah dan nasionalisme di kalangan peserta didik, di samping aspek pengetahuan sejarah. Oleh karena itu, pendidik sejarah harus menempatkan kedua aspek tersebut menjadi bagian asesmen yang tidak terpisahkan baik melalui proses pembelajaran konvensional maupun berbasis LMS. Hasil asesmen mampu memberikan informasi otentik seputar tingkat kesadaran sejarah dan nasionalisme peserta didik. Hasil asesmen menjadi landasan untuk perbaikan metodologi maupun saluran pembelajaran yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, berkembangnya model-model asesmen kesadaran sejarah dan nasionalisme dalam pembelajaran sejarah menjadi sebuah kebutuhan dan juga keniscayaan. Masa lalu adalah sebuah keniscayaan, masa kini adalah kenyataan, dan masa depan adalah sebuah harapan. Pembelajaran sejarah tentu berharap menghasilkan produk yang memiliki kompetensi utuh dalam bidang sejarah.