PENGEMBANGAN PRODUK BERBASIS TEPUNG LOKAL UNTUK PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAN DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA

Pendahuluan

UU Pangan No. 18 Tahun 2012 menjelaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.

 

Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012 tersebut, maka pangan akan selalu ada dan harus selalu tersedia dan terpenuhi bagi negara sampai dengan perseorangan. Tuntutan ini tidak sebatas kuantitas pangan yang ada, namun juga kualitasnya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dalam UU No. 18 Tahun 2012, kondisi ini disebut sebagai ketahanan pangan Indonesia termasuk salah satu negara yang berpenduduk besar.  Saat ini, tahun 2020 Indonesia diperkirakan memiliki 271 juta orang dan mendudukkan Indonesia pada peringkat keempat negara berpenduduk besar, yaitu Tiongkok (nomor 1), India (nomor 2), dan Amerika Serikat (nomor 3) (Bappenas, 2013). Jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah tiap tahunnya, sehingga perlu dipikirkan salah satu kebutuhan dasar utama yang harus dipenuhi untuk hidup adalah pangan. Dari segi potensi ketersediaan, Indonesia memiliki keunggulan, bahwa Negara Republik Indonesa diberkahi dengan sumber daya pangan yang sangat besar, baik nabati maupun hewani yang dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Saat ini, Indonesia termasuk negara terbesar nomor 3 di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati dan hewani. Keanekaragaman hayati yang terdiri dari 100 jenis tumbuhan, umbi, dan serealia sebagai sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan dan hewani (Badan Ketahanan Pangan, 2019). Namun sayangnya, belum semua potensi yang ada di Indonesia dapat dimanfaatkan menjadi pangan yang dibutuhkan semua orang.

 

Data pola konsumsi masyarakat masih menunjukkan rendahnya keanekaragaman, dan terkonsentrasi pada sumber karbohidrat berupa padi-padian. Pola makan yang kurang beragam dan bergizi seimbang ini menjadikan adanya beberapa permasalahan terkait dengan status gizi dan kesehatan. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa di Indonesia status gizi buruk balita 3,9% dan status gizi kurang 13,8%. Status Gizi balita sangat pendek dan pendek sebesar 30,8%. Status gizi balita kurus 10,2%, dan status gizi gemuk 8,0%. Proporsi kurang energi kronis pada wanita  usia subur hamil 17,3% dan wanita usia subur tidak hamil sebesar 14,5% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018). Kondisi status gizi berdasarkan data Riskesda 2018 tersebut memberikan gambaran bahwa kita masih memiliki masalah terkait status gizi dan kesehatan.

 

Data Riskesdas 2018 juga menunjukkan masih tingginya kejadian beberapa penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pola makan. Prevalensi kanker berdasarkan diagnonosis dokter 1,8 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis dokter 10,9 per mil. Prevalensi Diabetes Melitus berdasarkan diagnosis dokter untuk semua penduduk usia ≥15 tahun 10,9%. Prevalensi jantung semua umur sebesar 2%. Proporsi berat badan lebih pada dewasa >18 tahun sebesar 13,6% dan proporsi obesitas pada dewasa >18 tahun sebesar 21,8% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018). Berdasarkan data Riskesdas 2018 tersebut, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk meminimalkan dan mengatasi status gizi dan beberapa penyakit yang salah satunya disebabkan oleh pola makan.

 

Masalah Pangan

Makanan adalah hak asasi manusia sehingga harus dipenuhi untuk semua orang dan dalam kondisi apapun. Memberikan makanan sehat  yang mencakup berbagai macam makanan halal, bernutrisi dan aman bagi setiap orang adalah hal yang sangat penting. Makanan yang bernutrisi dan sehat belum dapat diakses oleh banyak orang. Hal ini dapat menjadi faktor risiko untuk kematian akibat non-communicable disease (NCDs), termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes, dan kanker. Oleh karena itu, penyediaan makanan yang halal, beragam, bergizi, seimbang dan aman tidak terbatas pada penyediaan kuantitas makanan yang banyak, namun juga pada kualitas makanan yang dikonsumsi oleh orang-orang.

 

Kondisi Konsumsi Pangan

Kualitas konsumsi pangan nasional yang ditunjukkan dengan keanekaragaman pangan termasuk dalam kategori masih rendah. Hal ini dapat diketahui dari perkembangan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang menunjukkan sumber energi masih didominasi beras.

 

mutiara1

Gambar 1. Capaian dan Target Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Sumber BKP, Kementrian Pertanian, 2018

 

Gambar 1 menunjukkan Skor PPH meningkat setiap tahun pada periode 2015-2018, melebihi taget RPJMN. Namun demikian, sumber karbohidrat masih terkonsentrasi pada salah satu jenis bahan pangan, yaitu padi-padian.

 

Gambar 2 menunjukkan bahwa pemenuhan pangan tahun 2014- 2017 masih ada yang dalam kondisi berlebihan, yaitu padi-padian, minyak dan lemak, serta gula. Sedangkan pemenuhan yang kurang dari anjuran kecukupan adalah pangan hewani, kacang-kacangan, sayur dan buah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman konsumsi pangan masih rendah.

 

mutiara2

Gambar 2. Capaian Pemenuhan Pangan Tahun 2014-2017 Sumber BKP, Kementrian Pertanian 2018

 

Konsumsi sumber karbohidrat saat ini masih terkonsentrasi pada padi-padian. Pada tahun 1954, komposisi karbohidrat dalam struktur menu bangsa kita menunjukkan proporsi beras hanya 53,5%. Sisanya dipenuhi dari ubi kayu (22,6%), jagung (18,9%), dan kentang (4,99%). Kondisi tersebut mulai berubah pada era orde Baru. Di awal akhir tahun 80-an, proporsi beras semakin dominan mencapai 81,1%, sisanya ubi kayu (10,02%) dan jagung (7,82%). Beras semakin didorong untuk menjadi bahan pangan utama di seluruh Indonesia, meskipun saat itu ada kearifan pangan lokal, seperti jagung di NTT dan Sulawesi, sagu di Maluku dan Papua, dan ubi jalar di Papua. Penyeragaman konsumsi beras di Indonesia membuat makanan pokok lokal terabaikan.

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2017), tingkat konsumsi beras per kapita menunjukkan angka yang sangat tinggi. Konsumsi beras Indonesia sebesar 114,6 kg per kapita per tahun, jauh di atas konsumsi penduduk konsumen beras dunia yang rata-rata hanya 60 kg per kapita per tahun. Bahkan, sejak tahun 2010, pangsa pangan nonberas nyaris hilang, tetapi digantikan dengan konsumsi terigu yang mencapai 17 kg per kapita per tahun, atau naik sebesar 500% dalam kurun waktu 30 tahun.

 

Perkembangan Situasi Ketahanan Pangan Indonesia

Permasalahan utama di bidang pangan adalah belum tercapainya swasembada pangan secara nasional, dan untuk menjamin ketahanan pangan, pemerintah melakukan kebijakan impor. Tahun 2018 masih ada ketergantungan pada 10 komoditas unggulan di sektor pertanian dan perkebunan yaitu beras, jagung, kedelai, biji gandum, garam, bawang merah, bawang putih, kakao, kentang, dan ubi kayu. Kondisi ketahanan pangan yang demikian ini bisa rentan dan rapuh karena adanya faktor ketergantungan dari pihak luar.

 

Kondisi ketahanan pangan di Indonesia berdasarkan Peta Ketahanan Pangan dan Kerentanan Pangan tahun 2015-2018 menunjukkan ada perbaikan, dengan menurunnya jumlah kabupaten rentan pangan dan meningkatnya jumlah kabupaten tahan pangan (Gambar 3).

 

mutiara3

Gambar 3. Peta Ketahanan Pangan Indonesia 2015 dan 2018 Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2018)

 

Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai indikator untuk menentukan ketahanan pangan rumah tangga atau  masyarakat.  Rumah  tangga  dengan  proporsi  pengeluaran   pangan ≥60% termasuk kategori rawan pangan. Sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan <60% dikategorikan tahan pangan (Melgar- Quinonez   et   al,   2006;   Soekirman,   2000).   Gambar   4   menunjukkan pengeluaran pangan <60% baik di daerah di pedesaan maupun di perkotaan sehingga dikategorikan tahan pangan.

 

mutiara4

Gambar 4. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Daerah Tempat Tinggal Sumber: BPS, Susenas Maret 2018

 

Daerah yang saat ini tahan pangan tidak dijamin selamanya dalam kondisi tahan pangan jika tidak ada strategi dan upaya yang dilakukan oleh pengambil kebijakan yang didukung oleh masyarakat dan sektor swasta secara berkelanjutan. Tantangan pencapaian ketahanan pangan dan gizi nasional dihadapkan pada dua sisi, yaitu supply dan demand. Dari sisi supply dihadapkan pada perubahan iklim, skala pertanian yang masih  kecil, serta tingginya kehilangan dan limbah di bidang pangan dan pertanian yang merupakan tantangan untuk produksi pangan yang berkelanjutan. Dari sisi demand, dihadapkan pada beberapa hal, di antaranya adalah jumlah penduduk yang tinggi, perubahan pola konsumsi pangan, akses pangan yang belum merata, serta double burden malnutrition (gizi kurang dan overweight/obesitas) yang menunjukkan peningkatan permintaan pangan, baik dalam hal jumlah, ragam, kualitas, gizi, keamanan, dan kesehatan (Hendriadi, 2018).

 

Pencapaian keberhasilan penyediaan pangan di masa mendatang akan dipengaruhi oleh inovasi penyediaan makanan dan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Indonesia 2020 diperkirakan 271,066 juta jiwa dan pada tahun 2035 diproyeksikan akan meningkat menjadi sekitar 305,652 juta jiwa (Bappenas, 2013). Bonus demografi ini menjadi salah satu tantangan besar bagi penciptaan kondisi ketahanan pangan dan jaminan sosial yang kondusif, mengingat hingga saat ini ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan pokok impor masih besar, sehingga perlu kebijakan yang kuat untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan di masa-masa yang akan datang. Dukungan terhadap penguatan ketahanan pangan nampak pada Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045, Sustainable Development Goals (SDGs), dan Making Indonesia 4.0.

 

Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 menekankan bahwa penelitian dan pengembangan teknologi pasca panen yang berupa penguatan agroindustri berbahan baku sumber daya lokal sangat dibutuhkan, salah satunya adalah inovasi teknologi pengolahan pangan lokal non beras dan non terigu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan inovasi terkait diversifikasi pengolahan pangan yang dapat diarahkan pada pengembangan produk nonterigu dan nonberas untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu dan beras. Namun demikian, pengembangan produk nonterigu dan nonberas ini harus diselaraskan dengan preferensi konsumen sehingga tidak mengalami kegagalan ketika masuk ke pasar (Moors & Donders, 2018).

 

Agenda pembangunan global pasca MDGs 2015 yang tertuang dalam tujuan ke-2 dan ke-3 dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang secara implisit menekankan pemenuhan pangan berbasis potensi lokal yang diarahkan untuk mengakhiri kelaparan, meningkatkan gizi, mendukung pertanian berkelanjutan dan menjamin kehidupan sehat bagi semua masyarakat pemenuhan pangan berbasis sumber daya lokal untuk mencapai ketahanan pangan. Tujuan ke-2 menyebutkan komitmen masyarakat internasional untuk mengakhiri kelaparan mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi dan mendukung pertanian berkelanjutan. Tujuan ke-3 adalah menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia.

 

Program Making Indonesia 4.0 yang dicanangkan oleh Dewan Riset Nasional menunjukkan bahwa bidang makanan dan minuman merupakan top 5 sector yang salah satunya adalah mengembangkan produksi makanan dengan inovasi produk, dan memodernisasi proses serta meningkatkan standar produk dengan memanfaatkan potensi lokal menuju eksport produk yang berkualitas (Atmawinata, 2018).

 

Berdasarkan beberapa hal di atas, maka perlu sinergisitas pengembangan produk dengan mengedepankan inovasi produk berbasis potensi lokal Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan terigu.

 

Inovasi Produk dan Preferensi Konsumen

Pengembangan inovasi dalam mewujudkan ketahanan  pangan harus diselaraskan dengan preferensi konsumen. Meskipun harga dan rasa masih menjadi hal terpenting bagi konsumen saat memilih makanan, namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika melakukan inovasi produk. Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam trend preferensi konsumen terkait produk makanan (Moors & Doonders, 2009; Agriculture and Agri-Food Canada, 2015, Food Future Panel, 2016; FAO, 2017; BKP, 2019).

 

Pertama, adanya pergeseran demografi, penuaan baby boomers, meningkatnya daya beli millenials, dan peningkatan keragaman etnis berkontribusi terhadap perubahan preferensi makanan. Faktor ini mempengaruhi tren terhadap peningkatan nutrisi produk makanan, pilihan makanan yang berkaitan dengan etika (perdagangan yang adil, keamanan pangan), makanan yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan, serta profil rasa baru dan kombinasi rasa. Faktor kualitas dan keamanan pangan menjadi fokus dalam mengembangkan produk. Kedua, konsumen ingin makanan yang cepat atau siap untuk di konsumsi. Ketiga, generasi  milenial cenderung mencari informasi dan semakin terfokus pada pengelolaan lingkungan. Konsumen prihatin tentang dampak praktek pertanian dan pengolahan lingkungan (misalnya, penggunaan pestisida, transportasi, kemasan berlebihan, dan limbah makanan). Keprihatinan ini telah menyebabkan terjadinya peningkatan pilihan terhadap produk yang dianggap ramah lingkungan (seperti organik, dan kemasan biodegradable atau didaur ulang), dan mendorong untuk membeli pangan lokal. Keempat, adanya peningkatan keinginan untuk mendapatkan informasi tentang makanan, termasuk proses produksi yang digunakan serta isi makanan. Selain komposisi gizi, konsumen juga ingin tahu bagaimana suatu makanan akan meningkatkan kinerja mereka atau meningkatkan kesehatan mereka. Mereka mencari informasi gizi yang dapat membantu membuat pilihan yang lebih baik untuk kesehatan pribadi pada saat pembelian, sehingga dalam setiap pengembangan produk, pelibatan konsumen yang menjadi target untuk uji sensoris mutlak dibutuhkan untuk menghindari kegagalan produk di pasaran.

 

Modifikasi Proses pada Pembuatan Tepung Berbasis Potensi Lokal

Pengembangan inovasi produk olahan yang dibuat dari tepung umbi, serealia, dan kacang-kacangan dapat diarahkan dua hal sekaligus, yaitu pada pemenuhan nutrisi sekaligus berdampak positif bagi kesehatan. Untuk mendukung hal tersebut, dilakukan modifikasi proses pembuatan tepung berbasis potensi lokal. Modifikasi proses dapat dilakukan dengan beberapa tujuan, di antaranya untuk meningkatkan sifat fungsionalnya: meningkatkan kadar pati tahan cerna tipe 3, meningkatkan kandungan senyawa bioaktif (kadar phenol, flavonoid dan senyawa bioaktif yang lain), meningkatkan aktivitas antioksidan, menurunkan off-flavor dan senyawa anti nutrisi (tripsin inhibitor, asam fitat, pentosan dan tanin).

 

Modifikasi proses untuk meningkatkan sifat fungsional dapat diarahkan pada peningkatan kadar pati tahan cerna tipe 3. Pati tahan cerna tipe 3 adalah pati ter-retrogradasi yang diproses dengan pemanasan autoclave (121oC) dan dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu rendah (4oC) sehingga mengalami retrogradasi. Retrogradasi pati terjadi melalui penyusunan kembali amilosa setelah proses pemanasan autoclave. Pati tahan cerna tipe 3 dapat diperoleh dalam gel pati, tepung, adonan, produk yang dipanggang yang mengalami retrogradasi. Modifikasi proses dapat dilakukan dengan melakukan siklus pemanasan-pendinginan. Proses pemanasan dan pendinginan dapat dilakukan beberapa siklus (Raigond et al., 2015; Kingman dan Englyst, 1994). Pembuatan tepung umbi yang dimodifikasi dilakukan dengan mengeringkan gel pati atau tepung yang telah melalui siklus autoclaving cooling → pengeringan → penggilingan → pengayakan → tepung siap digunakan. Proses siklus pemanasan- pendinginan berulang dapat meningkatkan kadar pati tahan cerna tipe 3 (Yuliwardi et al., 2014; Dundar & Gocmen, 2013).

 

Modifikasi proses untuk menghasilkan tepung serealia dan kacang- kacangan yang diharapkan dapat meningkatkan kandungan senyawa bioaktif dan aktivitas antioksidan serta menurunkan off flavor serta menurunkan kadar senyawa anti nutrisi (tripsin inhibitor, asam fitat, pentosan dan tanin) dapat dilakukan melalui beberapa metode, di antaranya adalah proses perkecambahan (Zhang et al., 2015; Shara, et al., 2016). Proses perkecambahan pada kacang-kacangan dan serealia dapat meningkatkan sifat fungsionalnya sehingga dapat meningkatnya senyawa bioaktif (Gan et al., 2017; Rusydi et al., 2011; Lopez-Martinez et al., 2017); meningkatkan aktivitas antioksidan (Khang et al., 2016; Xue et al., 2016) dan pencegahan kanker kolon (Shin et al., 2015; Busambwa et al., 2015), dapat menurunkan profil glukosa dan lipida pada hewan coba diabetes, profil lipida pada diet tinggi lemak (Aslani et al., 2015; Aslani et al., 2015, Liyanage et al., 2018; Asrullah et al., 2016).

 

Proses dan kondisi perkecambahan untuk masing-masing jenis serealia dan kacang-kacangan berbeda-beda, namun secara umum dapat dijelaskan bahwa proses perkecambahan diawali dengan pencucian → pemilihan yang berkualitas → perendaman (perbandingan bahan dan air 1:3) → penirisan → proses perkecambahan dalam ruang gelap (36-60 jam) →    pemanenen    →    pengeringan    →    penggilingan    →    pengayakan menggunakan ayakan tyler mesh 80 → tepung serealia dan kacang- kacangan siap untuk digunakan dalam inovasi pengembangan produk.

 

Pengembangan Produk Berbasis Tepung Lokal yang Dimodifikasi untuk Menguatkan Ketahanan Pangan dan Derajat Kesehatan Masyarakat

Pengembangan produk nonterigu dan nonberas merupakan hal yang sangat memerlukan perhatian serius. Fokus kegiatan Badan Ketahanan Pangan salah satunya adalah meningkatkan program diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Untuk menguatkan ketahanan pangan, maka ketersediaan pangan harus dilakukan, di antaranya adalah peningkatan produksi pangan yang beragam. Perlu upaya nyata dalam pengembangan industri pangan dengan memanfaatkan pangan lokal dan mendukung upaya kewajiban penyertaan komponen pangan lokal pada industri pangan olahan berbasis tepung-tepungan. Hal lain yang perlu diperhatikan juga upaya pengurangan kehilangan dan limbah bahan pangan dan makanan.

 

Penyediaan pangan yang aman sangat penting dilakukan karena Indonesia masih menduduki rangking 84 dari 113 negara. Pemberdayaan petani dan pelaku usaha pangan dalam menerapkan Good Handling Practices (GHP), Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufac- turing Practices (GMP) untuk menjamin kualitas dan keamanan dan meningkatkan kelas mutu produk pangan harus dilakukan.

 

Pengembangan produk juga harus selaras dengan tuntutan dalam UU Pangan No. 18 Tahun 2012, bahwa makanan harus tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Salah satu hal yang bisa ditekankan adalah bahwa pengembangan produk olahan makanan juga mengedepankan sisi kehalalan produk. Setiap produsen berkewajiban untuk menjamin bahwa seluruh bahan penyusun, proses pembuatan, dan pengemasan memenuhi standar kehalalan. Hal ini sejalan dengan adanya kewajiban produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan benda- benda lain untuk diberi sertifikat halal sesuai amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sehingga berbagai produk wajib bersertifikat halal per 17 Oktober 2019. Hal ini merupakan jaminan dan perlindungan konsumen serta menjadi peluang bisnis bagi industri, sebab adanya label halal tentu akan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap suatu produk.

Hal yang dituangkan dalam tulisan ini dikhususkan pada pengembangan produk berbasis tepung pangan lokal, baik tepung alami maupun yang telah melalui proses modifikasi untuk mencukupi makronutrien dan mikronutrien dalam rangka menguatkan ketahanan pangan dan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

 

1. Inovasi Pengembangan Produk dengan Melakukan Subtitusi Tepung Terigu dengan Tepung Berbasis Potensi Lokal

Pengembangan produk dapat dilakukan dengan melakukan subtitusi tepung terigu menggunakan tepung lokal. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melakukan substitusi penggunaan tepung terigu dengan berbagai tepung lokal. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah pembuatan crackers dengan mengganti sebagian tepung terigu dengan tepung kentang hitam (Coleus tuberosus) yang dimodifikasi dengan autoclaving- cooling 3 siklus.

 

Pembuatan crackers ini memerlukan tahapan yang berbeda dibandingkan crackers berbasis terigu. Proses pengembangan adonan memerlukan waktu yang lebih lama dengan komposisi bahan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa crackers ini diterima oleh konsumen dan memberikan efek positif terhadap kesehatan, yaitu memperbaiki profil glukosa dan lipida pada hewan uji yang menderita diabetes mellitus, dan memiliki indeks glikemik rendah (40.88±6.42) dibandingkan cracker tepung terigu (76.08±5.36) dilakukan dengan relawan manusia (Nugraheni et al., 2018).

 

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa substitusi tepung terigu dapat dilakukan menggunakan tepung lokal yang dimodifikasi dengan kadar persentase tertentu, dapat dimanfaatkan sifat fungsionalnya dan menghasilkan produk yang memiliki nutrisi yang baik dan memiliki dampak dalam menjaga kesehatan konsumen. Dalam hal ini menghasilkan produk berindeks glikemik rendah yang dapat dikonsumsi bagi masyarakat yang mengalami masalah dengan profil glukosa dan lipida. Dengan adanya pengembangan produk dengan substitusi tepung terigu dengan tepung pangan lokal baik tepung alami maupun dimodifikasi dapat menguatkan ketahanan pangan serta berdampak pada penguatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

 

2. Inovasi Pengembangan Produk Nonterigu

Potensi Indonesia yang besar dalam hal sumber karbohidrat dan protein (umbi, serealia, dan kacang-kacangan) belum membuat Indonesia memiliki ketahanan pangan yang cukup berbasis pangan lokal. Hal itu dapat diketahui dari meningkatnya konsumsi gandum yang merupakan bahan pangan impor dari tahun ke tahun. Peningkatan impor gandum tersebut dipicu oleh semakin pesatnya perkembangan jenis dan pengolahan pangan berbasis tepung yang mengandung gluten. Konsumsi tepung terigu di Indonesia terus meningkat sejalan dengan tumbuhnya konsumsi mie instan, roti, biskuit, dan cookies. Hampir 95% makanan berbahan baku tepung terigu sebenarnya adalah jenis makanan “introduksi”, bukan makanan asli Indonesia. Gandum atau terigu, yang masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an sebagai bantuan pangan secara gratis lewat program bantuan PL-480, kini telah berubah menjadi kebutuhan pokok “wajib” yang harus diimpor dari pasar internasional dengan harga mahal.

 

Perlu upaya untuk menghasilkan tepung yang dapat digunakan untuk berbagai produk pangan sebagai pengganti gandum, namun harus dikembangkan berbasis potensi lokal (umbi, serealia, dan kacang-kacangan). Salah satu upayanya adalah membuat tepung bebas gluten berbasis potensi lokal, namun mengandung pati, lemak dan protein yang cukup untuk mendukung pembentukan sifat sensoris mirip produk olahan berbasis gandum. Tepung bebas gluten dikenal dengan nama gluten free flour mix (GFF).

 

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa protein gandum dapat berperan sebagai pencetus diabetes mellitus tipe 1 (Hogg-Kollars et.al., 2014; Filbert, 2013), di sisi lain konsumsi gluten free flour mix (GFF) dapat memberikan efek positif pada penderita diabetes mellitus tipe 1 (Kupper et al., 2007). Namun demikian, jumlah penderita DM tipe 1 (10-15%), sedangkan DM tipe 2 (85-90%). Dengan demikian perlu upaya agar GFF tidak hanya untuk mencegah terjadinya DM tipe 1, namun juga DM tipe 2, dengan cara memodifikasi proses pada komponen karbohidratnya sehingga bisa mengandung serat dan pati tahan cerna yang cukup tinggi, sebab memiliki dampak positif yaitu memperbaiki sensitivitas insulin (Robertson et al., 2005), dan mencegah kanker kolon dan diare, serta dapat meningkatkan mikroflora usus, sehubungan dengan tingginya kadar asam lemak rantai pendek yang merupakan produk akhir utama dari degradasi serat pangan dan pati resisten oleh bakteri anaerob pada usus besar. Asam propionat mampu menurunkan sintesis asam lemak dan kolesterol, asam asetat dapat menurunkan glukosa darah (Cummings, 1989).

 

Beberapa penelitian menujukkan bahwa kandungan serat dan pati tahan cerna tipe 3 dapat memperbaiki profil glukosa dan lipida hewan yang menderita diabetes mellitus akibat injeksi alloxan (Nugraheni et.al., 2010; Nugraheni et al., 2013). Gluten free flour mix dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes mellitus tipe 1 (Soares et al., 2012; Parrish, 2013). Pengembangan tepung bebas gluten yang diperkaya pati tahan cerna tipe 3 dilakukan dengan mengkombinasikan potensi lokal yang ada di Indonesia, umbi, serealia, dan kacang-kacangan. Tepung bebas gluten yang telah dikembangkan ada empat jenis yaitu all purpose, high fiber, high protein dan self rising. Peranan Teknologi Pangan sangat diperlukan dalam pengembangan lebih lanjut dari tepung bebas gluten untuk menjadi produk siap konsumsi, sebab diperlukan pengetahuan terkait karakteristik tepung bebas gluten dan karakteristik produk akhir yang harus dihasilkan. Karakteristik sensori dari produk akhir harus diidentifikasi sehingga dapat dilakukan penambahan, pengurangan atau penggantian bahan sehingga spesifikasi produk akhir yang diinginkan dapat dicapai dan menghasilkan karakteristik sensoris yang dapat diterima oleh konsumen (Conte et al., 2019). Di sinilah peranan teknologi pangan diperlukan dalam memformulasi bahan penyusun melalui penyesuaian karakteristik bahan penyusun dengan karakteristik produk jadi.

 

Beberapa hal perlu kecermatan dalam memecahkan masalah terkait karakteristik sensoris produk yang mempengaruhi penerimaan konsumen. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan pengurangan bahan penyusun atau penambahan bahan lain atau penggantian bahan penyusun.

 

Penelitian lebih lanjut terkait aplikasi empat jenis tepung bebas gluten yaitu all purpose gluten free flour, high fiber gluten free flour, high protein gluten free flour, dan self rising gluten free flour menjadi cookies menunjukkan bahwa cookies yang dikembangkan selain mengandung nutrisi yang baik, juga memiliki dampak positif untuk kesehatan.

 

Penelitian Nugraheni (tahun 2015-2018) menunjukkan bahwa cookies yang dibuat menggunakan empat jenis tepung bebas gluten dapat memperbaiki profil glukosa dan lipida (trigliserida, total kolesterol, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL)) pada hewan coba yang menderita diabetes mellitus dan memperbaiki profil lipida (trigliserida, total kolesterol, High Density Lipoprotein (HDL), dan Low Density Lipoprotein (LDL)) pada hewan hiperkolesterolemia, memiliki indeks glikemik bervariasi (menggunakan relawan manusia). Cookies yang dibuat dari all purpose GFF memiliki indeks glikemik rendah 35,78±5,12, cookies yang dibuat dari high fiber GFF memiliki indeks glikemik rendah sebesar 25,58 ±5,58, cookies yang dibuat dari high fiber GFF memiliki indeks glikemik rendah yaitu sebesar 50,07±8,12, dan cookies yang dibuat dari self rising GFF memiliki indeks glikemik sedang yaitu sebesar 64,59±5,76.

 

Hasil penelitian tersebut memberikan bukti bahwa penggunaan tepung lokal alami maupun yang telah dimodifikasi merupakan salah satu tindakan nyata dalam penguatan ketahanan pangan. Dampak positif yang diperoleh dari konsumsi cookies berbasis tepung bebas gluten berbasis tepung lokal terhadap profil glukosa dan lipida yang telah melalui serangkaian uji coba pada hewan coba diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, serta relawan manusia diharapkan menjadi salah satu langkah untuk dapat menguatkan derajat kesehatan masyarakat.

 

3. Inovasi Pengembangan Produk Nonberas

Kondisi konsumsi dan status gizi dan kesehatan di Indonesia, jika dicermati terjadi pergeseran pola makan di 33 provinsi di Indonesia ke beras dan tepung terigu. Konsumsi beras Indonesia per kapita/tahun lebih tinggi daripada negara di Asia. Tahun 2017 konsumsi beras di Indonesia 117 kg/kapita/tahun, Korsel 40 kg, Jepang 50 kg, Malaysia 80 kg, dan Thailand 70 kg. Beras masih menjadi komponen utama energi dalam pola makan masyarakat Indonesia, sehingga kekurangan beras akan menimbulkan kerawanan pangan dan kekurangan gizi. Kedua, perubahan pola makan kurang beragam, bergizi, seimbang dan aman dapat menyebabkan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif. Kondisi status gizi dan kejadian penyakit degeneratif di Indonesia masih didominasi: jantung koroner, kanker, respirasi kronis, dan diabetes.

 

Dominasi ketergantungan pada jenis pangan tertentu harus dikurangi dengan diversifikasi pangan berbasis karbolokal nonberas, salah satunya dengan mengembangkan beras analog berbasis potensi lokal Indonesia, yang memiliki kualitas gizi yang baik, memiliki fungsi tertentu terkait dengan pencegahan penyakit degeneratif, dan mendukung ketahanan serta kemandirian pangan Indonesia. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan beras analog berbasis potensi lokal dalam rangka mengurangi konsumsi beras. Salah satunya adalah beras analog, dimana kita dapat menambahkan beberapa nutrisi yang diinginkan, atau mengurangi beberapa nutrisi yang tidak diinginkan, sehingga diperoleh produk yang sesuai. Namun demikian, hal yang harus dicermati ketika mengembangkan beras analog adalah produk yang dihasilkan tidak hanya memiliki nutrisi yang baik dan diterima secara sensoris oleh masyarakat, namun juga memiliki dampak bagi kesehatan orang yang mengkonsumsi.

 

Komponen pokok beras analog adalah umbi, serealia, dan kacang- kacangan untuk meningkatkan kandungan protein dan serat dari tepung komposit umbi. Tepung umbi yang digunakan bisa beragam, di antaranya adalah tepung kentang hitam (Coleus tuberosus), garut (Maranta arundinacea), uwi (Dioscorea alata), ubi ungu (Ipomea batatas L), ubi putih (Ipomea batatas L), dan tepung mocaf yang mengandung kadar pati resisten tipe 3 yang cukup tinggi dengan metode autoclaving-cooling 3 siklus.

 

Upaya meningkatkan kandungan protein, serat ,dan memiliki indeks glikemik rendah dapat dilakukan dengan menggunakan beragam serealia dan kacang-kacangan lokal. Penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa serat kedelai 6,7 -10,7% dan protein 35,35-39,80% (Ciabotti et al., 2016). Kacang tolo: serat 5-67,5% dan protein 25-30,7% (Devi et al., 2015; Sai-Ut S, et al., 2009). Kacang merah: serat 7,86% dan protein 17,37% (Sai-Ut et al., 2009). Kacang hijau: serat 4,57% dan protein 23.8% (Dahiya et al., 2015). Shorgum: protein 10,62% dan serat 6,7% (Subagyo dan Aqil, 2014). Jagung kuning dan putih: protein 7,1% dan serat 13, 5% (Beloshapka et al., 2016); Millet: protein 11,2% dan serat: 5,2% (Saleh, et al., 2013).

 

Proses pembentukan beras analog dilakukan dengan mengkombinasikan umbi, sereal, dan kacang-kacangan, minyak nabati, GMS, air dan hidrokoloid. Formulasi yang tepat di antara semua bahan dan didukung dengan proses esktrusi yang tepat dapat menghasilkan beras analog yang baik. Pembentukan beras analog dilakukan dengan proses ekstrusi untuk membentuk butiran seperti beras dan meningkatkan kadar pati tahan cerna yang memiliki sifat fungsional untuk menurunkan kolesterol dan indeks glikemik, memperbaiki sensitivitas insulin, memiliki efek positif bagi usus besar dan mencegah kanker kolon (Jyoshna et al., 2017; Bindels et  al., 2017; Nugraheni et al., 2017; Yulianto et al., 2018; Keenan et al., 2015; Amini, et al., 2016). Pengembangan beras analog berbasis karbolokal nonberas dilakukan dengan menggunakan tepung yang telah melalui proses modifikasi yaitu tepung kecambah serealia dan kacang-kacangan serta tepung umbi melalui proses autoclaving-cooling 3 siklus ditujukan untuk meningkatkan kadar pati tahan cerna.

 

Berdasarkan penelitian Nugraheni, dkk (2019), beras analog yang dikembangkan dengan mengkombinasikan tepung umbi yang dimodifikasi melalui proses autoclaving-cooling 3 siklus, tepung serealia dan kacang-kacangan yang dimodifikasi melalui proses perkecambahan dapat dihasilkan empat beras analog yang memiliki indeks glikemik bervariasi, 3 jenis beras analog berada pada kategori indeks glikemik rendah 38.40±6.86- 42,55±7,21 dan satu beras analog berada pada kategori indeks glikemik sedang 63,19 ±10,34. Kandungan protein bervariasi 7,62-11,24%, kadar serat 17.55-22,59%. Beras analog menunjukkan kemampuan sebagai antioksidan yang dievaluasi dengan metode DPPH, FTC dan TBA.

 

Beras analog berbasis tepung lokal diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif sumber karbohidrat yang dapat menguatkan ketahanan pangan berbasis potensi lokal. Indeks glikemik yang rendah hingga sedang serta kemampuan antioksidasinya diharapkan dapat menguatkan derajat kesehatan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang mengalami gangguan dalam manajemen profil glukosa.

 

Pengembangan produk berbasis tepung lokal menjadi salah satu tindakan nyata untuk mengurangi konsumsi tepung terigu dan beras dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada di Indonesia. Inovasi pangan terus dibutuhkan dalam mengembangkan produk dengan melakukan modifikasi proses sehingga dihasilkan produk yang halal, bernutrisi, diterima konsumen, aman, berdampak positif bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya.

 

Tantangan dan Peluang Pengembangan Produk Berbasis Tepung Lokal

Tantangan dalam pengembangan produk berbasis tepung lokal di antaranya adalah produktivitas sektor pertanian masih rendah, food loss masih cukup tinggi, rantai suplai belum efisien yang berdampak pada ketersediaan dan harga tepung lokal yang masih cukup tinggi jika dibandingkan tepung terigu. Tantangan yang lain adalah diperlukan lebih banyak lagi inovasi produk berbasis pangan lokal yang sesuai dengan preferensi konsumen sehingga akan lebih banyak pilihan bagi konsumen untuk menikmati pangan berbasis potensi lokal Indonesia.

 

Tantangan tersebut telah menjadi salah satu perhatian pemerintah dan dituangkan dalam roadmap terkait pengembangan inovasi produk berbasis potensi lokal dalam Making Indonesia 4.0 ataupun Rencana Induk Riset Nasional. Program yang dijalankan adalah peningkatan penyediaan infrastruktur dan produktivitas serta produksi pangan yang beragam  sesuai dengan potensi lokal, peningkatan produksi pangan melalui pengembangan industri pangan dengan memanfaatkan pangan lokal dan kewajiban penyertaan komponen pangan lokal pada industri pangan olahan berbasis tepung-tepungan.

 

Tantangan terkait kuantitas dan kualitas inovasi produk menjadikan sebuah peluang bagi instansi pemerintah ataupun perguruan tinggi di Indonesia, termasuk Universitas Negeri Yogyakarta umumnya, dan Program Studi Pendidikan Teknik Boga khususnya yang memiliki komitmen dan kepedulian terhadap masalah pangan, yaitu dengan merancang kurikulum dan sistem pembelajaran praktik yang mendorong pada kreativitas dan inovasi produk baru berbasis potensi lokal, dapat diterima oleh masyarakat, dan memiliki keunggulan dari sisi nutrisi. Hal ini merupakan salah satu langkah nyata yang ditujukan untuk ikut ambil bagian dalam penguatan ketahanan pangan dan derajat kesehatan serta mendorong generasi muda untuk memiliki tanggung jawab, dan peduli terhadap masalah pangan di Indonesia.

 

Sinergisitas yang baik dari pemerintah, perguruan tinggi, pelaku industry, dan masyarakat dalam implementasinya harus terus ditingkatkan sehingga akan selalu dihasilkan inovasi produk berbasis tepung/pangan lokal yang dapat menjadi salah satu alternatif pilihan makanan yang halal, bernutrisi, dan berdampak positif bagi kesehatan masyarakat menuju penguatan ketahanan pangan dan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

 

Sumber: 

Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.S, sebagai guru besar dalam bidang ilmu Teknologi Pangan pada Fakultas Teknik UNY, dengan judul “Pengembangan Produk Berbasis Tepung Lokal untuk Penguatan Ketahanan Pangan dan Derajat Kesehatan Masyarakat Indonesia,” Sabtu, 15 Februari  2020. 

 

Prof. Dr. Mutiara Nugraheni, S.T.P., M.Si.
mutiara