Sekolah seharusnya tempat belajar yang menyenangkan, tidak ada paksaan, dan jangan sampai terdapat aturan membatasi imajinasi anak. Selama ini, banyak mata pelajaran yang kaku di sekolah formal, serta guru-guru yang belum menjadi fasilitator untuk mengembangkan potensi anak.
Hal tersebut disampaikan oleh Toto Rahardjo, pendiri Sekolah Anak Alam (SALAM) pada Forum Diskusi dan Karya yang digagas oleh Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Ruang Sidang I, Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, Kamis (7/11/2019).
Di mata Toto Raharjo, pendidikan yang selama ini berkembang di masyarakat tergolong menjemukan. Oleh sebab itu, ia mengajukan sistem sekolah alternatif Sekolah Anak Alam (SALAM). Karena pendidikan formal tidak memfasilitasinya dalam mengimpelementasikan pendidikan ideal ia ajukan, Toto menerapkannya dalam pendidikan berbasis riset, yang dilandasi dari objek yang disukai anak.
“Anak diberi kebebasan dalam memilih mana yang dia sukai. Mata pelajaran di SALAM hanya menulis, yaitu menulis dari riset atau pengamatan yang mereka sukai, misalkan anak menyukai bayam mereka akan belajar bagaimana menanam bayam sampai bagaimana bayam itu tumbuh. Sehingga, anak-akan menulis apa yang nyata dia amati,” ujar Toto.
Nuriyah Hanik Fatikhah, salah satu peserta diskusi tersebut menyatakan bahwa diskusi tersebut membuka wawasannya terkait sistem pendidikan alternatif di Indonesia. “Pendidikan yang diajukan Pak Toto tergolong unik. Kalau di sekolah formal, banyak kewajiban mata pelajaran yang dipaksakan kepada anak. Sedangkan di SALAM, anak-anak diajarkan langsung dengan praktik sehingga mereka menjalaninya dengan sukarela,” ujar Nuriyah. (Muhammad Abdul Hadi/JK)