MEMBEDAH KEMBALI RUU PKS

Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) urgen untuk disoroti dari sisi perlindungan terhadap hak-hak korban. Lutviah Abdurrazak mengajak kita berpikir dalam diskusi “Pro-Kontra RUU PKS”, Jum’at (22/03) di Aula Student Center, UNY untuk fokus pada sisi penting yang kerap diabaikan di ruang publik.

 “Hingga saat ini, korban kekerasan seksual sering disalahkan, memperoleh stigma, didiskriminasi, dikucilkan, bahkan ada yang diasingkan, dan kesulitan mengakses layanan masyarakat pada umumnya,” terang Lutviah.

Media Officer dari LSM Rifka Annisa itu melanjutkan bahwa di banyak daerah Indonesia, layanan korban kekerasan seksual seringkali tidak komprehensif, tidak terpadu, dan belum ditangani pihak berwajib dengan tuntas.

Oleh sebab itu, RUU PKS ini diharapkan sebagai wadah untuk memayungi dan melindungi korban kekerasan seksual. Menurut Lutviah lagi, terdapat lima poin penting yang menjadi nafas RUU PKS yaitu poin pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku. Sedangkan aturan KUHP yang berlaku saat ini masih melindungi tersangka maupun terdakwa, belum mengakomodasi korban kekerasan seksual. “UU yang ada belum sepenuhnya lengkap sebagai dasar menindak kasus kekerasan seksual di lapangan,” tambah Lutviah.

RUU PKS sendiri merupakan rancangan undang-undang yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan dan Forum Penyedia Layanan yang sudah diterima DPR sejak Mei 2016.  Sampai hari ini, RUU PKS terus menuai pro kontra di kalangan masyarakat.

Satria Yudhistira, salah seorang peserta diskusi menyatakan bahwa acara “Pro-Kontra RUU PKS” ini membuka cakrawala berpikirnya terkait isu-isu yang berkembang di masyarakat. “Dengan diskusi ini, saya membaca langsung RUU PKS tersebut, tidak hanya mengandalkan dari berita atau omongan orang lain,” ujar Satria.

Acara “Pro Kontra RUU PKS” ini merupakan diskusi publik yang diadakan BEM KM UNY. Pembicara pada diskusi ini adalah Lutviah Abdurrazak, Media Officer dari LSM Rifka Annisa dan dimoderatori oleh Erlinda Hikmawati, Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan BEM KM 2018. (Muhammad Abdul Hadi/JK)