PENGEMBANGAN KURIKULUM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI PENGUATAN BASIS PENGETAHUAN GURU

Perubahan kurikulum nasional yang mendasari pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia berkembang sangat dinamis. Perubahan kurikulum tersebut selalu diwarnai dengan perubahan mulai dari tataran paradigma dan filosofis yang mendasari penciptaan kurikulum hingga pada tataran penerapan kurikulum. Perkembangan perubahan kurikulum pengajaran bahasa Inggris tersebut pada akhirnya membawa perubahan peran guru. Kini guru tidak hanya berperan sebagai penerus isi kurikulum, tetapi utamanya berperan sebagai pengembang kurikulum pembelajaran mereka sendiri. Sebagai pengembang kurikulum pembelajaran, berbagai tantangan tentu saja dihadapi oleh guru sebagai akibat dari perubahan kurikulum pengajaran bahasa Inggris dari masa ke masa. Oleh karena itu, penguatan basis pengetahuan guru merupakan hal fundamental yang mendasari kemampuan guru dalam mengembangkan kurikulum pembelajaran dan mengelola pembelajaran bahasa Inggris mereka.

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, kurikulum nasional pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia telah mengalami perubahan lebih dari lima kali (Dardjowidjojo, 2000; Emilia, 2011; Hamied, 2014; Jazadi, 2000) dan telah mengadopsi empat pendekatan yang berbeda yang membentuk karakter dari praktik pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Perubahan pertama terjadi pada tahun 1954 dengan pengadopsian Grammar Translation Method (GTM) yang tercermin dalam Kurikulum Gaya Lama (the Old Framework Curriculum). Kemudian pada tahun 1962, Kurikulum Gaya Lama ini diubah dengan pendekatan lisan (oral approach) dimana sebuah metode yang bernama Audio-Lingual Method (ALM) mendasari kurikulum ini. Kurikulum ini kemudian dikembangkan menjadi Kurikulum Gaya Baru pada tahun 1968 dan Kurikulum Baru yang Disempurnakan pada tahun 1975. Sejalan dengan kritik terhadap teori behaviorist yang mendasari pendekatan tradisional terhadap pembelajaran bahasa Inggris yang mendasari kurikulum-kurikulum ini, pengembang kurikulum bahasa Inggris kemudian mengembangkan perubahan kurikulum yang didasarkan pada pendekatan komunikatif yang tertuang pada Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994.

Sejak saat itu pendekatan komunikatif mewarnai pembelajaran bahasa Inggris. Penerapan kurikulum berbasis pendekatan komunikatif ini mengalami kendala utama, yaitu bahwa praktik pembelajaran bahasa Inggris jauh dari praktik berkomunikasi di dalam pembelajaran (Dardjowidjojo, 2000; Hamied, 2014). Kemudian mulai tahun 2001, pembelajaran bahasa Inggris diselenggarakan berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian tidak lama kemudian pada tahun 2004, KBK dimodifikasi dan direalisasikan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Penerapan KTSP didasarkan pada pendekatan berbasis genre (Genre-based Approach/GBA) yang menuntut guru untuk bertransformasi tidak hanya menjadi pelaksana kurikulum (curriculum transmitters), tetapi juga menjadi pengembang kurikulum (curriculum makers/developers). Penerapan GBA dilanjutkan sebagai pendekatan yang melandasi Kurikulum 2013. Salah satu faktor pendorong lahirnya Kurikulum 2013 ini adalah degradasi nilai-nilai moral di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, Kurikulum 2013 tidak hanya berbasis kompetensi yang perlu dikembangkan oleh peserta didik, tetapi juga berbasis karakter (Hamied, 2014).

Pada awal penerapan, Kurikulum 2013 telah dilaksanakan secara bertahap oleh sekolah-sekolah di Indonesia, sampai pada akhirnya saat ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah menetapkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum Merdeka. Saat ini sekolah-sekolah di Indonesia diberikan tiga pilihan penerapan kurikulum, yaitu penerapan: 1) Kurikulum 2013 secara penuh, 2) Kurikulum 2013 yang disederhanakan, dan 3) Kurikulum Merdeka. Meneruskan penerapan GBA pada Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka mendorong guru untuk menerapkan pembelajaran berbasis genre disamping menekankan penerapan pembelajaran inovatif dan partisipatif, yaitu pembelajaran berbasis proyek dan kasus.

Seperti yang telah dikemukakan dalam perkembangan kurikulum pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, pendekatan berbasis genre (genre-based approach) telah diadopsi sejak diberlakukannya Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Walaupun penerapan pendekatan berbasis genre yang direalisasikan kedalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis genre/teks (genre/text-based teaching) telah disertai oleh panduan penerapan pembelajaran berbasis genre/teks pada saat diberlakukannya KTSP, penggunaan panduan penerapan yang detil seperti ini nampaknya tidak diteruskan di masa pemberlakuan Kurikulum 2013 hingga saat ini. Walaupun Kurikulum 2013 mengamanatkan pembelajaran berbasis teks seperti yang tercantum dalam Kompetensi Dasar Kurikulum 2013, metodologi dari pembelajaran berbasis genre/teks tidak secara eksplisit direkomendasikan sebagai metode yang sebaiknya digunakan oleh guru bahasa Inggris dalam membelajarkan teks. Pun Kurikulum Merdeka saat ini, sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 56 Tahun 2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam rangka Pemulihan Pembelajaran (Kurikulum Merdeka), mengamatkan guru untuk memahami prinsip-prinsip pembelajaran yang relevan dengan konteks pembelajaran mereka, termasuk prinsip-prinsip pembelajaran berbasis genre/teks.

Pembelajaran berbasis genre merupakan sebuah metode pembelajaran yang diturunkan dari pendekatan berbasis genre. Dalam bidang ilmu pengajaran bahasa Inggris, pembelajaran berbasis genre diadopsi dan diadaptasi menjadi pembelajaran berbasis teks yang diinisiasi di Australia sebagai bagian dari the National Adult Migrant Education Program (AMEP) curriculum framework (Feez, 1999). Tujuan dari pembelajaran berbasis genre pada awal masa kemunculannya di Australia yaitu untuk menetapkan kebutuhan belajar menulis dari siswa sekolah dasar dan menengah. Tujuan tersebut beritikad untuk mengakomodasi digunakannya teks-teks tulis yang seyogyanya dikuasai oleh siswa di sekolah dan diluar sekolah (Martin & Rose, 2008). Untuk mengembangkan kurikulum pembelajaran bahasa Inggris sesuai dengan tuntutan perkembangan perubahan kurikulum, guru dituntut untuk terus mengembangkan basis pengetahuan mereka. Basis pengetahuan guru merupakan sumber dari kemampuan guru dalam merasionalkan praktik pembelajaran mereka (Shulman, 1986, 1987). Basis pengetahuan guru tersebut terdiri dari tujuh kategori pengetahuan, yaitu: (1) content knowledge (CK), (2) pedagogical content knowledge (PCK), (3) curricular knowledge, (4) general pedagogical knowledge (PK), (5) knowledge of aims and purposes, (6) knowledge of learners, dan (7) knowledge of educational contexts, settings, and governance (Gudmundsdottir & Shulman, 1987; Shulman, 1986, 1987).

Berakar dari konsep basis pengetahuan guru yang diusung oleh Shulman (1986, 1987), penelitian-penelitian di area pengetahuan guru bahasa asing sebagai bahasa kedua (second language teacher knowledge) telah mengkonfirmasi kemampuan guru dalam mengkonseptualisasikan basis pengetahuan mereka untuk mengembangkan praktik pembelajaran mereka (misalnya, Atay et al., 2010; Gatbonton, 2008; Johnston & Goettsch, 2000; König et al., 2016; Mullock, 2006; Myhill et al., 2013; Richards, Li, & Tang, 1995; Sanchez & Borg, 2014). Guru yang berpengalaman dan mempunyai keterampilan mengajar yang baik dilaporkan mampu mengkonseptualisasikan interaksi multidimensional pengetahuan dalam basis pengetahuan guru mereka. Sedangkan guru dengan pengalaman mengajar yang belum lama berpotensi untuk dapat mengembangkan konseptualisasi mereka terhadap basis pengetahuan mengajar mereka seiring dengan upaya pengembangan profesi mereka. Berikut ini adalah kategorisasi basis pengetahuan guru yang teridentifikasi dalam penelitian saya yang terkait dengan basis pengetahuan dari calon guru (pre-service teachers) yang tentunya berlaku juga untuk basis pengetahuan guru.

Menilik kembali realita perubahan kurikulum pembelajaran bahasa Inggris yang berubah cepat dan dinamis, peran guru sebagai pengembang kurikulum perlu diperkuat dengan secara berkelanjutan mengelola sistem pendukung peningkatan basis pengetahuan guru sebagai representasi kompetensi guru dalam mengembangkan kurikulum pembelajaran mereka. Berbagai pihak yang terlibat dalam peningkatan kompetensi guru bahasa Inggris berkewajiban menjamin kepastian bahwa guru mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum pembelajaran mereka. Seperti yang ditekankan oleh Wedell (2003) bahwa kunci keberhasilan dari perubahan kurikulum adalah seberapa cukup guru, sebagai pemain inti dari perubahan kurikulum, dipersiapkan dan didukung. Sistem pendukung guru tersebut perlu merencanakan aspek-aspek perubahan kurikulum yang perlu dikuasai oleh guru, kapan dan berapa lama guru perlu dipersiapkan untuk menerapkan perubahan kurikulum. Sistem pendukung tersebut juga perlu memetakan seberapa kuat basis pengetahuan guru telah membentuk kompetensi guru dalam menterjemahkan perubahan kurikulum ke dalam pengembangan kurikulum pembelajaran mereka. Dengan demikian, perubahan kurikulum ditandai dengan keterlibatan aktif guru dalam mengembangkan kurikulum pembelajaran mereka ke arah yang diharapkan sehingga perubahan kurikulum bukan semata-mata kekuatan mandat perubahan eksternal yang menandai tindakan kemenangan simbolis (Goodson, 2001), tetapi sebagai sistem pendukung yang mendorong guru untuk mendayagunakan basis pengetahuan guru mereka untuk melaksanakan perubahan kurikulum.

Prof. Anita Triastuti, M.A., Ph.D
Perubahan kurikulum nasional yang mendasari pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia berkembang sangat dinamis. Perubahan kurikulum tersebut selalu diwarnai dengan perubahan mulai dari tataran paradigma dan filosofis yang mendasari penciptaan kurikulum hingga pada tataran penerapan kurikulum.